16 Agu 2019

Anak Nakal Penguat Akal: Catatan Guru Berguru


Oleh M. Rasyid Nur
 
Berburu ke padang datar
Dapat rusa belang di kaki
Berguru kepalang ajar
Bagaikan bunga kembang tak jadi
PANTUN itu diajarkan oleh guru-guru kita zaman dahulu adalah untuk mengingatkan agar belajar itu tidak boleh setengah-setengah atau malah setengah hati. Belajar antara iya dengan tidak saja. Bukan
saja tidak menyelesaikan (tamat) satu jenjang tertentu tapi malah tidak mau memahami inti dan meteri pembelajaran itu sendiri. Padahal manusia wajib belajar sepanjang hayatnya.
Sebagai guru atau kalau kita menyebut guru, kita menyebutnya adalah pengajar maka kita wajib tetap belajar. Siapapun yang berpikir tentang guru, ya dia adalah pengajar, pendidik, pelatih atau apapun fungsinya sebagaimana dijelaskan pada Undang-undang Guru dan Dosen yang sekaligus pembelajar. Jika kita pendidik,  berarti kita adalah seorang guru yang wajib bisa mengayomi, membimbing atau apalah namanya kepada peserta didik. Pokoknya wajib bisa menjadi orang yang diteladani. Itulah beratnya menjadi guru, kalau ingin disebut juga berat.

Tapi sebenarnya itu belumlah termasuk kategori berat. Guru wajib menjadi teladan bagi orang lain, apalagi bagi murid-muridnya sendiri, itu sejatinya sudah otomatis. Tidak bisa dielakkan. Justeru yang lebih berat adalah bagaimana guru itu juga harus berposisi sebagai murid pula. Artinya guru itu juga harus belajar lagi dan belajar lagi. Tidak ada kata 'tamat' dalam belajar. Termasuk bagi kita yang sudah berstatus guru.

Coba diingat kembali pesan-pesan guru, dulu. Dengan mengutip ajaran agama, misalnya guru-guru kita memesankan kepada kita bahwa kewajiban belajar atau menuntut ilmu itu adalah kewajiban sepanjang hayat. Sedari kecil (minalmahdi) hingga sampailah kita besar, tua bahkan dekat menjalang mati/ berpulang ke rahmatullah (ilallahdi) kita terus-menerus disuruh (wajib) menuntut ilmu alias belajar.

Jika begitu konsepnya, berarti kita memang terus harus belajar. Tidak boleh lagi ada pandangan bahwa bagi kita (guru) masa belajar itu hanya waktu sekolah atau waktu kuliah saja. Dan setelah diangkat atau dipercayakan menjadi guru (pendidik) lalu tidak lagi belajar, inilah pandangan yang salah. Sekali lagi, konsepnya adalah belajar sepanjang hayat.

Di sekolah, tempat objek belajar guru yang paling baik tentu saja kepada anak-didiknya selain kepada sesama guru atau kepada buku-buku. Anak-didik (siswa) adalah guru yang paling baik sebenarnya bagi gurunya untuk berguru atau belajar. Setiap guru dengan begitu banyak siswanya, dapat dipastikan akan merasakan begitu banyak juga pengalaman. Dengan berbagai karakter siswa, dengan berbagai tingkat kemampuan dan kecerdasan siswanya, para guru akan berkesempatan menambah pengetahuannya dalam melaksanakan fungsi-fungsi keguruannya.

Di sekolah tentu saja banyak karkater dan tingkah polah anak-didik kita. Mungkin ada yang kita sebuat anak nakal, anak baik yang bertingkah-laku baki, anak pendiam dan anak rewel serta bebagai perangai anak yang ditemukan di kelas (di sekolah) misalnya. Itu semua pastilah akan menjadi tantangan dan pengalaman berharga bagi guru. Dan pengalaman itu akan mendatangkan pengetahuan baru ketika guru dan menjadikan pengalaman itu untuk bergerak menentukan strategi dalam menjalankan tugas.

Jadi, belajar kepada anak itu sesungguhnya adalah cara terbaik bagi guru untuk terus-menerus mengembangkan ilmu pengetahuan serta pengalamannya. Menghadapi anak yang kita sebut sebagai anak nakal, itu sudah tentu akan membuat pikiran dan perasaan kita menjadi kuat dan tegar juga. Maka, mari kita belajar kepada anak-anak kita yang beraneka tingkah itu. Jika terhadap anak baik kita akan berkesempatan menguji hal-hal yang baik, kepada anak nakal kita berkesempatan memperkuat akal dan pikiran kita. Dan juga bisa memperkuat (tegar) perasaan kita. Insyaallah.***


SHARE THIS

Author:

M. Rasyid Nur Pensiunan Guru PNS (2017) dan tetap, mengabdi di pendidikan serta organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan

Facebook Comment

0 Comments:

Silakan Beri Komentar