31 Mei 2020

KH. ALI MAKSUM MENANGIS SAAT KH. HAMID KAJORAN JELASKAN MAKNA PANCASILA


Oleh: Zastrouw Al-Ngatawi
ADA proses dialog yang intens di kalangan ulama dan tokoh NU sebelum menerima Pancasila sebagai azas tunggal dalam berbangsa dan bernegara. Dialog tidak hanya dilakukan di forum-forum formal ilmiah akademik yang mengeksplorasi argumen dan gagasan rasional, tetapi juga di forum non formal seperti silaturrahim dan anjangsana serta forum mujahadah dan riyadloh yg mengeksplorasi aspek batiniah spiritual.

Salah satu forum tabayyun dan dialog informal mengenai kajian terhadap azas tunggal Pancasila penulis peroleh dari Gus Amin Hamid Kajoran, putra Kyai Hamid Kajoran (alm) yg menjadi saksi sejarah atas peristiwa yg monumental ini.

Diceritakan oleh Gus Amin, pada suatu hari ada beberapa kyai yg sowan menghadap Kyai Hamid Kajoran diantaranya Kyai Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta; Kyai Mujib Ridwan, Surabaya dan Kyai Imron Hamzah, Surabaya. Ada juga waktu itu Kyai Fauzi Bandung yg disopiri oleh Kyai Saeful Mujab, Yogyakarta. Kyai Ali Maksum adalah salah satu anggota tim bentukan PBNU yg ditugasi untuk melakukan kajian mengenai azas tunggal Pancasila. Tim ini diketuai KH. Ahmad Shiddiq dgn anggota Kyai Mahrus Aly Lirboyo, Kyai As’ad Syamsul Arifin Situbondo, Kyai Masykur Malang dan Kyai Ali Maksum Krapyak.

Para kyai ini menyampaikan kepada Kyai Hamid Kajoran bahwa ada upaya pemaksaan dari pemerintahan Soeharto untuk menerapkan Pancasila sebagai azas tunggal. Mendengar pernyataan ini Kyai Khamid langsung menjawab, “Lho, koq pemaksaan? Pancasila itu kan milik kita, hasil ijtihad-nya para ulama dan kyai kita, terutama Hadratusysyekh KH Hasyim Asy’ari. Lha, kalo sekarang mau dijadikan azas tunggal ya Alhamdulillah. Itu artinya dikembalikan ke kita, koq malah kita merasa dipaksa”.

Mendengar jawaban kyai Hamid ini semua tertegun. Kemudian Kyai Ali bertanya, “Ini tafsirnya bagaimana?”.

Atas pertanyaan ini kemudian Kyai Hamid menjelaskan soal sejarah dan tafsir Pancasila menurut ulama NU. Dijelaskan banwa Pancasila merupakan penjelmaan (sublimasi) ajaran Islam yg mentautkan syariah, aqidah dan tasawwuf.

“Oleh karenanya kita bisa menjalankan dua sila saja dari Pancasila secara konsisten dan benar Insya Allah kita bisa menjadi wali,” demikian Kyai Hamid menjelaskan Dua sila tersebut adalah sila Ketuhanan dan Kemanusiaan. Mengamalkan sila Ketuhanan artinya kita memahami dan mengerti Tuhan dgn segala kekuasaan-Nya, perintah dan laranganNya. Sedangkan mengamalkan sila kemanusiaan artinya kita harus “mengerti manusia”, “memanusiakan manusia” dan “merasa sebagai manusia”.

Kemudian Mbah Hamid menjelas tafsirnya secara detail dgn perspektif syariah dan tasawwuf . Ketika penafsiran sampai pada pengertian “merasa manusia”, Kyai Ali Maksum menangis.

Dari penggalan kisah ini dapat terlihat bahwa

Pertama, Pancasila merupakan produk pemikiran (ijtihad) dari para ulama Nusantara sebagai menivestasi atas ajaran dan nilai2 Islam.

Kedua, sikap NU menerima Pancasila sebagai azas bukan merupakan sikap keterpaksaan karena adanya tekanan politik, atau sekedar langkah taktis politik menghadapi tekanan, tetapi merupakan langkah ideologis.

Ketiga, sebagai bagian dari kelompok yg ikut merumuskan Pancasila, NU mengerti sejarah yg menjadi “asbabul wurud” dari Pancasila dengan segenap spirit dan nilai2 yg ada di dalamnya. Oleh karenanya NU memiliki tafsir terhadap sila2 Pancasila yg sesuai dgn syariat dan tasawwuf Islam.

Keempat, penerimaan Pancasila sebagai azas tunggal oleh NU dilakukan setelah melalui berbagai kajian dan upaya riyadloh lahir batin sebagaimana yang dilakukan para masayikh NU saat menerima Pancasila sebagai Dasar Negara. Jadi sama sekali bukan keterpaksaan.

Kelima, NU adalah ormas Islam pertama yang menerima azas tunggal Pancasila. Ini artinya NU menjadi pelopor penerimaan azas tunggal. Secara nalar sikap kepeloporan seperti tidak akan muncul karena terpaksa tapi karena kajian yang matang dan hujjah yang kuat. Dan para kyai yang ikhlas dan alim tak akan mungkin mau dipaksa menerima atau menolak sesuatu apalagi yang terkait dengan masalah agama.

Untuk memperkuat argumen ini bisa dilihat dalam risalah Kyai Ahmad Shiddiq setebal 34 halaman yg dipresentasikan di hadapan Munas Alim Ulama di Situbondo tahun 1983. Di sini disebutkan banwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, secara substansial Pancasila sangat islami. Bahkan butir-butir dari Pancasila adalah wujud dari nilai-nilai Islam. Sila pertamanya mencerminkan tauhid, sedangkan sila-sila lainnya representasi dari syariat. Dalam naskah ini tak ada satupum argumen politis yang mencerminkan keterpaksaan NU menerima azas tunggal Pancasila.

Zastrouw Al-Ngatawi adalah
Budayawan dan Mantan Ketua Lesbumi PBNU

Dikirimkan oleh: H. Zubad Akhadi Muttaqien

SHARE THIS

Author:

M. Rasyid Nur Pensiunan Guru PNS (2017) dan tetap, mengabdi di pendidikan serta organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan

Facebook Comment

0 Comments:

Silakan Beri Komentar