15 Agu 2020

Tanjungbatu, Saya Rindu: Sepenggal Kisah di Masa Lalu (ke-5)

Oleh: Khairul Amri
Bermastautin di Pekanbaru


AWALNYA merasa terpaksa. Lama kelamaan menjadi biasa. Akhirnya luar biasa mandirinya. Begitulah KEMANDIRIAN terbentuk pada diri saya. 

Banyak sekali ternyata buah manis dari KEMANDIRIAN itu. Mulai dari kehidupan sehari-hari di rumah. Bertetangga dekat rumah. Di sekolah, dan dalam bergaul juga berteman antar sesama teman satu sekolah. Termasuk juga berefek luar biasa pada prestasi, yang secara pelan-pelan membentuk kepribadian saya yang sebenarnya. 

Apa saja prestasi itu?

Selain bintang kelas, saya juga menjadi salah satu bintang di sekolah. Berkat ketekunan menghafal dan mengulang pelajaran, pada saat duduk di bangku kelas 1, sekitar awal tahun 1991, saya terpilih menjadi salah seorang peserta Lomba Cerdas Cermat P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di Tanjungpinang. Saya diutus mewakili Kecamatan Kundur yang beribu kota Tanjungbatu. 

Di Tanjungpinang, kami mengikuti lomba yang dipusatkan di Gedung Olahraga (GOR) Kaca Puri. Waktu itu, tempat ini begitu termashur namanya se-Kepulauan Riau. Selama ini, saya cuma dengar namanya. Sekarang, saya ada di dalamnya.

Wah, senangnya bukan main. Karena di sini berkompetisi semua utusan dari seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Kepulauan Riau (sekarang: mekar menjadi Provinsi Kepri).

Ada cerita lucu saat saya mengikuti lomba ini.

Waktu itu, postur tubuh saya kecil sekali. Sampai-sampai baju batik yang dibelikan untuk dipakai saat lomba, tidak pas dipakai. Baju itu kebesaran. Tepatnya, terlalu dalam untuk ukuran badan saya. Padahal, itu sudah ukuran S, alias paling kecil. Hehehe. 

Pak Umar Djakfar selaku pembimbing kami waktu itu, bersama istrinya tak kehabisan akal. Sambil tertawa yang dibalut rasa sedikit kesal juga: Istri Pak Umar menjahitkan bawahan batik saya itu. Karena terlalu dalam, akhirnya kain lebih di bawah itu dilipat ke dalam, lalu dijahitnya. Dilihat sepintas, batik itu sudah cocok dan tak terlalu kelihatan, kalau ada jahitan bagian bawah dekat sakunya. Dengan pedenya, seragam batik inilah yang saya pakai saat lomba tersebut.

Menang atau kalah?

Waktu itu pesan Pak Umar Djakfar ke kami: menang atau kalah, itu soal belakang. Kalian ikut saja dulu berlomba. Keluarkan semua kemampuan kalian, dan anggap saja semua lawan itu sama seperti kalian. Mereka juga belajar dan tak jauh beda kemampuannya dari kalian.

Kami pun turun belomba tanpa target dan beban apa-apa. Akhirnya, walau tidak menang, kami semua tetap bisa hepi. Bayangkan, dari sekian banyak siswa SLTP se Kecamatan Kundur, sayalah yang menjadi wakil mereka. Karena satu-satunya laki-laki, saya pun tampil waktu itu sebagai juru bicara. 

Kami tetap senang. Walau belum bisa menang. Pak Umar Djakfar pun menjadi tenang. Akhirnya, kami diajak berkeliling kota Tanjungpinang, termasuk berfoto-foto di pinggir Pantai Trikora yang sangat terkenal di sana. 

Momen yang tak akan pernah saya lupakan; saat foto di tugu Keong Mas, persisnya di pinggir laut dekat Pantai Trikora itu. Bukan hanya foto atau swafoto disitu. Saya malah dibolehkan naik ke atas keong-nya, lalu di foto oleh Pak Umar Djakfar. Senangnya... waktu itu. 

Itu semua, sekali lagi: berkat tempaan diri yang berbuah KEMANDIRIAN dari Tanjungbatu. 

Oh,  Tanjungbatu... Saya Rindu. Rindu masa-masa itu. Masa ketika kepribadian ini mulai terbentuk, menjadi cikal bakal kepribadian saya saat ini dan ke depan tentunya.

Tanjungbatu... Saya Rindu. Karena bukan saja prestasi akademis di sekolah yang saya raih. Berkat tekun dan terus belajar, ada banyak lagi prestasi saya yang lain, waktu itu.

Apa lagi, di antara prestasi itu?

Dalam sebuah lomba sholat sunnah Jenazah, kami mewakili sekolah. Perlombaan diadakan di Masjid Raya, Tanjungbatu. Peserta lain tentu hebat2 semua. Karena ini antar kelurahan se-Kecamatan Tanjungbatu.

Mungkin karena saya punya bacaan Alquran sedikit lebih baik, makanya saya diminta jadi imam, saat lomba itu. Sempat juga gemetaran. Tapi, saya yakinkan diri sendiri dan teman-teman yang menjadi makmum: bahwa kita membawa nama sekolah. Kita harus tampil sebaik-baiknya. Soal juara atau tidak, itu soal lain. 

Alhasil, berkat keyakinan bersama. Berlatih juga sebaik mungkin, sebelum ikut lomba. Alhamdulillah tim kami keluar sebagai juara 1 lomba sholat Jenazah tersebut. 

Tentu saya dan teman-teman sangat bangga. Termasuk pihak sekolah dan Paman saya, M Rasyid Nur dan keluarganya. 

Lagi-lagi, kalau mengingat kisah itu, rindu ke kampung halaman kedua itu tak bisa dibohongi. Tanjungbatu, walau bukan tanah kelahiran saya, tetapi rasa cinta dan senang saya pada tempat ini boleh dibilang sama dengan kampung halaman sendiri di Desa Tanjungberulak, Airtiris, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. 

Suatu saat, ingin berlama-lama di Tanjungbatu. Karena rasa rindu tadi. Tanjungbatu... Saya Rindu. Ada masanya nanti, saya akan menapak lagi di sini. Takdir jualah yang akan menjawab itu semua. **
 

Pekanbaru, 13082020
Kamis malam, usai makan malam di meja makan @Rumah kami.


SHARE THIS

Author:

M. Rasyid Nur Pensiunan Guru PNS (2017) dan tetap, mengabdi di pendidikan serta organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan

Facebook Comment

0 Comments:

Silakan Beri Komentar