23 Agu 2020

Tanjungbatu, Saya Rindu: Sepenggal Kisah di Masa Lalu (ke-10)


Oleh: Khairul Amri 
Bermastautin di Pekanbaru

SIAPA yang mengira, saya akan sampai ke Tanjungbatu? Saya akan tinggal 3 tahun di negeri yang sama sekali tidak pernah saya ketahui sebelumnya.  

Hidup saya, setamat Sekolah Dasar (SD) dan melanjutkan sekolah ke jenjang MTs di sini, sama sekali baru. Semua benar-benar baru. 

Apalagi diajarkan kebiasaan-kebiasaan baru, yang pelan-pelan membentuk KEMANDIRIAN dalam diri saya. Itulah yang menjadi bekal hidup saya selama di sini. Mandiri dan mengenali potensi diri, menjadikan saya bisa seperti sekarang. Alhamdulillah.

Tanjungbatu... Saya Rindu. Kerinduan itu, bukan saja pada proses terbentuknya KEMANDIRIAN pada diri sendiri, tetapi juga pada jalan hidup keseharian yang saya jalani setiap hari. Hidup sehari2 di rumah, di sekolah dan di masyarakat. Itu semua punya efek dan pengaruh tersendiri. 

Cerita di rumah. Bersama Paman dan keluarganya. Beragam pengalaman dan iktibar/pelajaran hidup yang saya dapatkan.

Nah, cerita di sekolah: MTs Tanjungbatu, jangan dikira mudah dan cepat begitu saja saya bisa beradaptasi. Saya sempat juga kesulitan belajar dan membiasakan diri berbahasa Melayu Kepri. Karena logat bahasa kampung saya di Kampar, sangat jauh beda dengan logat bahasa Melayu di sini. Tapi, pelan2 semua itu bisa saya pelajari dan biasakan.

Beruntunglah, saya punya teman-teman baik di sekolah. Meski berasal dari suku dan adat istiadat berbeda, keberagaman teman-teman saya di MTs Tanjungbatu justru semakin memperkaya wawasan saya tentang ragam suku dan adat istiadat di Provinsi Riau, ketika itu (sekarang sudah mekar; jadi Provinsi Kepri). 

Ada teman sekolah saya yang berasal dari suku Bugis, Jawa, Melayu dan ada juga dari suku Minang. Sedangkan saya berasal dari suku Melayu Riau daratan --Ocu, Kampar. Tapi, kami semua hidup dan berteman baik-baik saja. 

Ada cerita lucu juga kalau diingat-ingat. Kalau saya ingat-ingat cerita ini, kadang suka senyum-senyum sendiri. Hmmm, ckckkck. 

Cerita inilah, salah satunya, yang membuat saya betah dan selalu saja senang berada di sekolah. Padahal, usia kami waktu itu baru belasan. Tapi, mungkin karena saya sudah diajarkan Paman selalu berpikiran lebih dewasa, jadi terbawa-bawa pula sehari-hari. 

Ceritanya begini. ๐Ÿ˜Ž

Saat naik ke kelas 2, seingat saya waktu itu tahun 1991, ada seseorang teman yang saya senangi. Perempuan. Ya, perempuan. Masa senang sama laki2, hahaha. 

Tapi, sekarang saya baru tahu: pastilah waktu itu cuma senang karena berteman saja. Banyak juga yang bilang, kalau suka2 seusia begitu, kadang disebut cinta monyet. Saya mana tahu, apa itu cinta monyet. Yang jelas: karena ada dia, setiap hari senang saja datang ke sekolah. Belajar jadi semangat. Kalau bertemu, senang. Tapi, kalau tak jumpa sehari, rasanya ingin jumpa dan jumpa lagi. Wkwkkwk, sebegitu kuatnya magnet teman perempuan yang satu ini. 

Siapa dia?

Namanya Syarifah Rosyidah. Usianya terpaut dua tahun di atas saya. Saya kelahiran tahun 1978. Dia lahir tahun 1976 --mudah2n tidak salah, hehe.

Kok bisa senang sana yang usianya lebih tua? Manalah saya tahu. Karena waktu itu kami rasanya semua sebaya saja. Hehehe.

Ida, begitu saya nemanggil dia. Kebetulan pula, dia juga tinggal sama keluarga Pamannya. Kampungnya di Sedanau, Natuna sana. Jauh juga dari Tanjungbatu. Tapi, Natuna itu masih masuk ke dalam wilayah Kepri. 

Kebetulannya lagi, Paman dia: Pak Said Usman namanya, bekerja di SMAN 1 Tanjungbatu. Sama pula dengan Paman saya. Mana saya tahu, kenapa semua itu serba kebetulan sama seperti itu. Jadinya, ya kalau bertemu Ida, sering juga cerita2 tentang Paman kita. ๐Ÿ˜Š

Momen bertemu, seringnya di sekolah. Sejak kenal dan dekat, cie... dekat pula, hahaha. Saya jadi makin rajin ke sekolah. Semangat belajar makin bertambah, prestasi saya pun makin bagus. Nah, ini kan positif2 saja. Dekat dan senang sesama teman, justru berefek positif ke prestasi saya. Itu, kan bagus.

Nah, selain di sekolah, selalu saja ada kesempatan saya bertemu Ida di luar. Hampir saja saya lupa bagian cerita ini: saya selalu ajak dia main tenis meja, saat petang hari. Bukan di rumah Paman saya. Bukan pula di rumah Paman Ida. Tapi, di rumah teman satu MTs, yang lokasinya dekat dari rumah Ida, di Jl. Tanahtinggi. 

Kedekatan ini, dan munculnya rasa seperti itu, membuat saya makin betah di Tanjungbatu. Bagian ini pula, salah satunya, yang membuat saya selalu rindu ke Tanjungbatu lagi.

Sebab, suatu waktu, pas pawai baju adat daerah: Hari Sumpah Pemuda, kami malah diduetkan memakai pakaian pengantin. Tak karuan perasaan saya waktu itu. Dan, saya tak pernah tahu, seperti apa pula perasaan Ida, ketika itu. ๐Ÿค—๐Ÿ˜ท

Kok bisa duet? Ya, itu sudah jadi pilihan dari sekolah kami. Mau tak mau, saya dan Ida ikuti saja. Dan, sejak itu pulalah, teman-teman satu sekolah selalu 'ejek-ejek' kami pacaran. 

Mana pula di usia belasan tahun sampai pacaran2, hahaha. Tapi, begitulah saya dan Ida di mata teman2 satu sekolah. Ya, gaya-gaya anak usia belasan, waktu itu. 

Sampai pada suatu waktu, saya harus menerima kenyataan.

Saat kami sudah duduk di kelas 3, di tahun 1993 awal, memasuki semester genap. Ida harus pindah ke Tanjungpinang, karena Pamannya pindah tugas ke sekolah lain. 

Seingat saya, dramatis sekali waktu itu. 

Saat akan berangkat, naik kapal. Saya dan teman-teman MTs ikut mengantar Ida ke dalam kapal. Tak tahulah, hati saya sedihnya waktu itu seperti apa. Tapi, mau bagaimana lagi: kami tak lagi bisa bertemu. 

Masa-masa di MTs Tanjungbatu, memanglah masa ketika saya usia belasan. Masa-masa itu, saya beranjak dari anak-anak ke remaja. Tapi, kenangan dan cerita dibalik perjalanan hidup di Tanjungbatu, sampai kini tak bisa saya lupakan. 

Tanjungbatu... Saya Rindu. Masa-masa mulai belajar mandiri, dan beradaptasi di negeri orang. Jauh dari kampung sendiri. Jauh dari kebiasaan2 lama saat di kampung. 

Saya, di Tanjungbatu... benar2 belajar mengenal diri sendiri. Belajar dan mulai mengenal kehidupan yang benar-benar baru. 

Beruntunglah saya tinggal bersama Paman. Beruntung pula saya sekolah di MTs Tanjungbatu. Dan... tentunya beruntung juga saya mengenal dan sempat dekat dengan seseorang, perempuan yang membuat saya jadi betah di sini. 

Hohoho. 

Kalau diingat-ingat masa-masa itu. Ingatan melayang kemana-mana. Sambil mengingat dan mengenang masa2 itu, kadang senyum-senyum sendiri. 

Paling tidak, rindu ke Tanjungbatu bisa terobati. Goresan-goresan kenangan indah itu, membuat saya seperti kembali ke masa itu. Hehehe. 

Tanjungbatu... Oh, Tanjungbatu. Senang, sudah menjadi bagian dari cerita hidup saya. **

Duduk santai sambil nonton TV @ruang keluarga, rumah kami

SHARE THIS

Author:

M. Rasyid Nur Pensiunan Guru PNS (2017) dan tetap, mengabdi di pendidikan serta organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan

Facebook Comment

0 Comments:

Silakan Beri Komentar