4 Sep 2020

Tanjungbatu, Saya Rindu: Sepenggal Kisah di Masa Lalu (ke-11)


Oleh: Khairul Amri 

Bermastautin di Pekanbaru


BAGAIMANA saya bisa sampai ke Tanjungbatu. Jauh pergi merantau. Tempat yang sebelumnya tak pernah saya ketahui. 

Saya pernah dapat cerita dari Mak. Dari Nenek pun pernah juga. Keduanya saat ini sudah almarhumah. Cerita mereka, Paman saya tugas jadi guru di Tanjungbatu. Tapi, dimana tempat itu. Seperti apa suasana di sana, sedikitpun tak terpintas di pikiran saya.

Bagaimana mau berpikir akan merantau ke sana. Umur saya saja waktu itu baru mau masuk 12 tahun. Baru tamat SD di kampung: SDN 007 Tanjung Berulak, Airtiris Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar. 

Saya ingat waktu itu.  Tamat SD di kampung, Mak yang lebih banyak di Pekanbaru, tak ada pilihan lain, selain meminta Paman untuk membawa serta saya tinggal bersama dia di Tanjungbatu. Karena cuma Paman waktu itu yang baru sarjana (S1) dan sudah punya kerja tetap, jadi guru. Nenek pun yang tinggal di kampung, mengasuh dan membesarkan saya, mau tak mau ikut pula mendorong agar saya sekolah di Tanjungbatu, sekaligus tinggal bersama Paman.

Sebenarnya, Paman saya ini lebih banyak di rantau. Saya selalu saja dapat nasihat dari Nenek, kalau malas-malas belajar dan malas mengaji, nanti bisa dimarahi Paman. Karena saya tahu Paman berpendidikan, kalau sudah diingatkan Nenek seperti itu pasti ciut juga nyali dibuatnya. 

Kebiasaan urak-urakan dan hidup kurang teratur, misal: pulang sekolah tas entah dimana, seragam sekolah kadang diganti kadang tidak, dan sepatu campak sana dan sini, kalau Nenek bilang: nanti Paman pulang. Pasti saya mikir. Kebiasaan yang tadinya tak teratur, otomatis saja bisa berubah. Karena waktu itu, Paman memang termasuk yang disegani di keluarga.  

Nah, sudah tahu saya tamat SD, waktu itu mendekati pertengahan 1990. Tiba-tiba Paman pulang kampung. Dia katakan, kalau mau lanjut sekolah bisa sama Paman saja. Mak saya dan juga Nenek pun ikut pula mendukung. 

Karena ternyata, setelah saya tanya-tanya, Paman mendapat wasiat dari Abah saya untuk bisa menyekolahkan saya. Adik beradik Mak saya, cuma Paman satu-satunya laki-laki. Makanya, Paman berusaha membujuk saya agar mau ikut dengannya ke Tanjungbatu. 

Tanjungbatu... Saya rindu. Awalnya, tempat ini sangat asing bagi saya. Tapi setelah menjalani hidup selama tiga tahun di sini, justru itu pula yang mengubah pola laku, kebiasaan hidup dan pelan-pelan membentuk watak dan pribadi saya sebenarnya.

Bagaimana tidak rindu? Saya tak bisa membayangkan, jika saja setamat SD Paman tidak berhasil membujuk saya ke Tanjungbatu, tentu jalan hidup saya sekarang belum tentu akan seperti ini. Bisa saja ada kemungkinan lebih baik, atau justru bisa tidak lebih baik.

Ya. Jalan hidup ini tidak ada satu pun kita yang tahu. Dan, sebenarnya jalan hidup saya pun sudah digariskan seperti ini. Tinggal peran saya, Paman, Mak, Nenek dan keluarga lain jadi pendorong mewujudkannya. Karena hidup ini, benarlah: tidak ada yang serba kebetulan. Semua sudah diatur oleh-Nya.

Jalan hidup saya, begitu menanjak remaja bersama Paman dan keluarganya di Tanjungbatu. Walau hanya tiga tahun, tapi kesan dan pengaruhnya ke diri saya pribadi ternyata sangat mendalam.

Kerinduan saya ke Tanjungbatu, adalah rindu pada masa-masa dimana diri saya memulai hidup serba teratur. Dengan bimbingan Paman, banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan. 

Itulah, kenapa saya selalu ingin ke Tanjungbatu. Kerinduan yang akan terus ada. Tak akan pernah hilang. Karena di Tanjungbatu inilah, hidup saya sebenarnya bermula. ***

SHARE THIS

Author:

M. Rasyid Nur Pensiunan Guru PNS (2017) dan tetap, mengabdi di pendidikan serta organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan

Facebook Comment

0 Comments:

Silakan Beri Komentar