13 Sep 2020

Tanjungbatu, Saya Rindu: Sepenggal Kisah di Masa Lalu (ke-17)


Oleh: Khairul Amri
Bermastautin di Pekanbaru

TALI ikatan kapal satu persatu lepas dari tiang pancang Pelabuhan Pelita Pantai, Pekanbaru. Kapal mulai bergerak pelan meninggalkan sandarannya.

Badan kapal bergeser ke tengah sungai. Haluan yang tadinya mengarah ke barat, pelan-pelan memutar ke arah timur. Kapal besar ini akan bergerak mengikuti arah arus sungai Siak, terasa pelan karena kapal ikut arus sungai. 

Selagi berlayar di sungai Siak, KM. JHONSON tak bisa laju. Karena banyak rintangan, termasuk di kiri kanan sungai, pun banyak rumah warga yang bermukim di sepanjang tepian sungai ini. Khawatir bila terlalu laju, riak gelombang kapal bisa membuat tebing sungai jadi runtuh.

Sungai Siak, adalah sungai terdalam di Indonesia. Makanya sungai ini banyak dilalui kapal-kapal besar. Sejak dulu hingga sekarang sungai Siak menjadi laluan, penggerak ekonomi Kota Pekanbaru dan Provinsi Riau. Belum lagi ada jalan darat, aspal hitam membentang, sungai ini sudah jadi urat nadi tempat lalu lintas perdagangan. 

Suasana di luar kapal. Senja berangsur hilang. Malam pun mulai menjelang.

Dari jauh samar-samar pelabuhan Pelita Pantai mulai tak kelihatan. Seolah-olah hilang ditelan gelapnya senja berganti malam. Kapal besar yang membawa kami menuju Tanjungbatu, Kundur, Kepulauan Riau dalam beberapa menit saja, benar-benar sudah meninggalkan pelabuhan Pelita Pantai. 

Kelamnya malam pun membuat kiri kanan sungai Siak tak begitu jelas terlihat. Kecuali ada lampu atau kilatan cahaya dari daratan, barulah bisa nampak. Itu pun hanya samar-samar, karena malam semakin jauh meninggalkan senja.

Di kapal besar itu, saya dan Paman menempati kamar yang kebetulan dekat ke jendela. Jadi, sambil duduk santai saya sesekali bisa pula menoleh ke luar jendela. Tapi saat berangkat suasananya gelap, dan makin malam suasana semakin gelap.

Kamar-kamar di kapal besar itu, ternyata berbentuk petakan saja. Dibuat berbentuk persegi panjang. Ukurannya cukup, sekitar sebadan orang dewasa. 

Awalnya saya mengira, kamar-kamar di kapal itu seperti kamar di rumah atau ada ruangan tersendiri. Eh, rupanya kamar di kapal ini hanya berbentuk petak, diberi pembatas papan antara satu kamar dengan lainnya. Di situ barang-barang kami tumpuk. Di situ juga kami tidur, merebahkan badan melepas penat dan rasa ngantuk. 

Karena ada tas ransel berisi baju dan kain, saya pun memakainya untuk dijadikan bantal. Saya lihat Paman sudah ahli betul soal yang begituan. Maklum saja, dia-kan sudah biasa hidup merantau. Dalam kondisi apapun Paman sepertinya tak terlalu risau dan bingung lagi.

Nah, ini pula pelajaran pertama bagi saya. Kalau hidup di rantau, kita harus bisa menyesuaikan badan dengan kondisi yang ada. Hidup di rantau harus cepat beradaptasi. Hidup di rantau mesti bisa membawa diri. Jika tidak, alamat hidup tak akan menjadi.

Mata saya tak seperti Paman. Saya belum terbiasa seperti itu. Saya lihat Paman sudah mulai tidur pulas, sementara saya masih belum bisa memejamkan mata.

Posisi badan digerak-gerakkan. Miring kiri, miring kanan. Kadang saya menelentang, menghadap langit-langit kapal. Sesekali mendukungmu. Tapi, tetap saja mata belum bisa tidur. 

Makin larut, hawa udara terasa semakin dingin. Saya diminta Paman untuk menutup jendela dekat kamar kami, karena kata Paman: angin malam bisa bikin badan tidak sehat. Walau jendela sudah ditutup, hawa dingin masih bisa saya rasakan. Untung ada kain sarung. Selain dipakai buat sholat, saat dingin seperti itu juga bisa jadi selimut.

Hmmm. Saya tetap berusaha untuk memejamkan mata. Meski sulit, diusahakan terus supaya bisa tidur pulas. 

Menjelang tengah malam, barulah mata saya bisa terpejam. Saya tertidur pulas di samping Paman, yang kebetulan kamarnya bersebelahan. 

Hiruk pikuk di dalam kapal. Suara kapal yang bising. Suara penumpang yang masih belum tidur. Kadang terdengar tawa dan gurauan, pelan-pelan hilang dari pendengaran saya. Meski sedikit dipaksa, akhirnya saya benar-benar pulas. Tidur pertama saya di atas kapal besar, hanyut dalam mimpi-mimpi yang akan membawa saya ke negeri rantau Tanjungbatu, Kundur, Kepulauan Riau.

Tunggu saya Tanjungbatu. Sampai saya di sana, akan banyak cerita hidup yang baru akan terukir. 

Cerita hidup itu pula yang hingga kini tak pernah bisa dilupakan. Tanjungbatu, saya datang menjemput rindu yang selalu menjadi kenangan. 

Tanjungbatu... Saya benar-benar rindu. **


Pekanbaru, 13092020
Selesai sarapan dan duduk santai @teras rumah, masuk lagi ke ruang tamu 

SHARE THIS

Author:

M. Rasyid Nur Pensiunan Guru PNS (2017) dan tetap, mengabdi di pendidikan serta organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan

Facebook Comment

0 Comments:

Silakan Beri Komentar