8 Sep 2020

Tanjungbatu, Saya Rindu: Sepenggal Kisah di Masa Lalu (ke-13)


Oleh: Khairul Amri
Bermastautin di Pekanbaru

Tiba juga masa itu. 

Paman saya makin serius dan makin sering saja pulang kampung. Setiap pulang, Paman pasti membujuk dan menyampaikan ajakannya untuk membawa serta saya untuk tinggal bersamanya, di Tanjungbatu, Kundur, Kepulauan Riau. 

Seingat saya, waktu itu pertengahan 1990. Saya sudah selesai Ujian Akhir Nasional: dulu disebut Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) Sekolah Dasar. Tapi, nilai dan ijazah saya belum keluar. Kelulusan pun belum lagi diumumkan.

Selain Ebtanas, saya juga sekolah agama petang hari di Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang juga sebenarnya setingkat SD. Tapi lebih banyak pelajaran agama Islam. Karena di kampung waktu itu, pagi hari saya sekolah SD, siang hingga petang sekolah MI dan malam hari mengaji di surau. Nilai ujian akhir MI ini pun belum keluar, belum pula tahu kelulusan di MI tersebut. 

Tapi, Paman terus berusaha memberikan pemahaman baik kepada saya. Nanti ketika ijazah sudah keluar, bisa bersekolah lebih bagus dan lebih baik di Tanjungbatu. Kata Paman, di sana juga ada MTs setingkat SLTP. Saya akan dimasukkan ke MTs. Sebab pesan Mak dan Nenek, cucunya harus masuk sekolah agama, agar pengetahuan dasar agamanya kuat. 

Saya waktu itu masih sulit menerima dan belum mau ikut sama Paman. Apalagi dari kecil sudah bersama nenek di kampung. Hidup bersama nenek, dengan hidup bersama Paman pasti akan berbeda.

Apalagi waktu itu saya sudah bisa merasakan, kalau bersama Paman, pasti tidak akan bisa sedekat dengan nenek. Kasih sayang dan manja-manjanya pun pasti akan berbeda. Maklum saja, saya kan cucu pertama. Anak yatim pula. Nenek mana pernah memarahi saya. Kalau bersama Paman, ini yang jadi beban hati saya. 

Ketika itu, tarik-menarik terjadi di dalam hati saya. Antara mau dan tidak. Antara pikiran senang saat ini, akan jadi kurang senang saat bersama Paman. Dua pilihan itu berkecamuk di dalam hati.

Padahal, Nenek dan Mak sudah mendorong dan mendukung saya untuk ikut bersama Paman. Saya tidak tahu: apakah betul Nenek dan Mak tulus melepas saya pergi. Atau mereka sedih juga, karena akan ditinggal cucu satu-satunya, ketika itu.

Tentu saja keputusan tetap di tangan saya. Tanjunbatu adalah tempat baru dan asing bagi saya. Apalagi Tanjungbatu ada di kepulauan sana, bukan lagi di bagian Riau daratan. Pokoknya, Tanjungbatu pastilah akan menjadi sejarah dan cerita baru di dalam skenario hidup saya. 

Bisa dibayangkan, anak kecil seumur saya: belum genap 12 tahun, sudah diminta untuk memilih sebuah pilihan yang cukup berat. Yang ternyata, pilihan itu adalah pilihan yang akan menjadikan dan membentuk watak serta kepribadian saya kedepan.  

Saya tidak bisa membayangkan, jika saja pilihan ke Tanjungbatu  bersama Paman, saya tolak. Entah seperti apa pula cerita dan jalan hidup yang saya jalani saat sekarang. 

Dan, untungnya: pilihan saya akhirnya ke Tanjungbatu juga. Inilah awal saya harus memilih dan menentukan arah hidup saya. Ke Tanjungbatu merantau bersama Paman dan keluarganya. 

Apa tidak akan muncul terus diingatan, masa-masa itu. Ke Tanjungbatu merantau saat itu, bersama Paman  dan keluarganya bukan saja sekadar merantau biasa. Tetapi saya ke Tanjungbatu ternyata menjadi awal yang sangat menentukan fase dan ritme kehidupan saya berikutnya. 

Itulah. Kalau diingat-ingat masa itu, selalu kerinduan pada Tanjungbatu  muncul lagi dan terus muncul. 

Tanjungbatu... Saya rindu. Rindu pada semuanya. Kerinduan yang sudah mendalam, tertanam di lubuk hati. Karena di Tanjungbatu-lah saya bisa merasakan betapa hidup itu penuh perjuangan, usaha dan kerja keras.

Terima kasih Tanjungbatu. Terima kasih Paman dan keluarga. Terima kasih kawan2 saya semua. **


Pekanbaru, 06092020
Ahad siang usai makan siang @ruang tamu rumah kami ☺

SHARE THIS

Author:

M. Rasyid Nur Pensiunan Guru PNS (2017) dan tetap, mengabdi di pendidikan serta organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan

Facebook Comment

0 Comments:

Silakan Beri Komentar