9 Sep 2020

Tanjungbatu, Saya Rindu: Sepenggal Kisah di Masa Lalu (ke-14)


Oleh: Khairul Amri
Bermastautin di Pekanbaru

MAK saya. Nenek dan seluruh keluarga, apalagi Paman sudah setuju semuanya. Saya harus tinggal sama Paman di Tanjungbatu, dan bersekolah di sana. 

Tapi saat itu, justru saya yang belum mau. Maklum masih anak-anak. Keinginan untuk bermain masih kuat, ketimbang keinginan untuk belajar. Apalagi untuk hidup teratur atau hidup diatur-atur.

Berkali-kali saya dibujuk. Bermacam model bujukan pun datang dari keluarga. Terlebih dari Paman sendiri. Ia terkesan lebih baik dan tak pemarah, kalau sedang membujuk saya. Tak bisa dengan cara ini, dia coba dengan cara itu. Pokoknya, saya harus mau ikut bersama dia ke Tanjungbatu.

Di antara bujukan yang saya ingat, dari Paman: kalau berangkat ke Tanjungbatu itu naik kapal besar. Kata Paman, naik kapal itu enak dan menyenangkan. Apalagi saya memang belum pernah naik kapal. Jangankan naik kapal besar, lihat kapal saja saya belum pernah, hehe.

Di kampung saya, ada juga 'kapal'. Tapi bukan kapal besar bermesin seperti di laut. Karena kampung saya dilewati sungai Kampar, yang sering lewat itu sampan bermotor atau sampan dayung biasa. Sampan bermotor atau ditempeli mesin ini, di kampung saya disebut 'stempel'.

Tentu saja mendengar bujukan Paman, ke Tanjungbatu naik kapal besar, membuat saya mulai tertarik untuk ikut bersama dia. Tapi, waktu itu bujukan Paman ini belum mempan. Saya masih berpikir, nanti kapan-kapan sajalah naik kapal besar. Tak perlu harus ke Tanjungbatu.

Melihat saya belum mau, Paman terus berusaha. Ia tak kehabisan akal, terus membujuk dan memberikan pemahaman baik kepada saya. Kata dia: di Tanjungbatu sekolahnya bagus-bagus. Di sana juga banyak kawan main. Bukan saja orang Tanjungbatu, tapi banyak kawan lain. Pasti main-mainnya akan lebih asik. 

Mendengar ucapan Paman yang ini, mulai saya berpikir lama. Banyak kawan main dan sekolahnya bagus-bagus.  Pikiran saya mulai melayang, dapat kawan baru dan sekolah pula di sekolah yang bagus. Mulai sedikit goyah, tapi saya masih belum mau mengatakan kalau saya bersedia ikut. 

Paman pun nampaknya tak putus asa. Makin saya ragu, makin ada saja bahannya untuk membujuk saya. 

Kali ini Paman membujuk saya dengan mengatakan: Tanjungbatu itu dekat dengan negeri jiran Malaysia dan Singapura. Karena dekat itu, siaran tv (televisi) di sana bagus-bagus. Nanti kalau di Tanjungbatu bisa nonton tv bagus dan siaran pun bagus pula. Kalau di kampung mana dapat siaran seperti itu. 

Ketika itu, pas disebut Paman soal siaran tv bagus-bagus, pendirian saya mulai goyah. Karena memang di kampung saya ketika itu belum ada yang seperti itu. Di kampung, saya sangat senang nonton tv. Tapi karena ekonomi keluarga, kami di kampung belum banyak yang punya televisi. Kalaupun ada tv, itu pun tv hitam putih. Hampir belum ada rumah di kampung saya, ketika itu, yang punya tv berwarna. 

Pikiran saya melayang, membayangkan bersekolah di sekolah yang bagus. Punya teman baru dan banyak pula. Ditambah lagi bisa nonton tv lebih puas, banyak pula siaran bagus-bagus di Tanjungbatu. 

Pendirian mulai goyah. Kemauan yang tadinya keras, tidak mau, pelan2 mulai berubah. Kadar 'iman' dan keyakinan saya untuk tetap melanjutkan sekolah di kampung mulai pudar. Itu semua berganti dengan ajakan Paman dan dorongan keluarga untuk berangkat ke Tanjungbatu, Kundur, Kepulauan Riau.

Hmmm. Dari sangat sulit dibujuk. Menjadi sulit dan sedikit sulit, lalu melunak dan akhirnya goyah juga. Saya akhirnya mau dan meng-iyakan ajakan Paman.

Begitu sulitnya saya mau diajak ke Tanjungbatu, ketika itu. Begitu banyak orang dan bujukan yang disampaikan ke saya, agar mau berangkat. Yang akhirnya, membawa saya merantau jauh ke negeri orang. Sangat jauh dari kampung saya. 

Tanjungbatu... Kalaulah saya tidak mau atau tidak jadi ke sini. Apa saya bisa seperti sekarang? Entahlah. Jalan hidup tak ada seorang pun kita yang tahu. Kita hanya bisa menjalaninya saja.

Itu jualah, cerita seperti ini pulalah yang membuat saya selalu teringat Tanjungbatu. Rindu ke Tanjungbatu, sama dengan rindu pada kisah awal saya menapaki dan memulai hidup saya yang sebenarnya. 

Tanjung batu... Saya rindu. Kerinduan yang harus saya obati, kapan2 saya ada waktu. Saya akan ke sini lagi. **

Siak Sri Indrapura, 08092020
Perjalanan dari Pekanbaru ke Siak @dalam mobil kantor 🤗

SHARE THIS

Author:

M. Rasyid Nur Pensiunan Guru PNS (2017) dan tetap, mengabdi di pendidikan serta organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan

Facebook Comment

0 Comments:

Silakan Beri Komentar