11 Feb 2021

Kebijakan Menutup 'Tatap Muka' Kembali, Siapa yang Merasakan Ruginya


RADIOAZAM.ID memberitakan, sebanyak 18 (delapan belas) orang santri di salah satu Pondok Pesantren yang berada di wilayah Kecamatan Moro reaktif rapid test covid-19, sehingga sekolah-sekolah yang ada di kecamatan, ini terpaksa diinstruksikan untuk ditutup. Di satu sekolah ada reaktif covid tapi di banyak sekolah harus ikut menerima sanksinya. Mungkin bukan sanksi, tapi lebih kepada berjaga-jaga dalam kewaspadaan tingkat tinggi. Khawatir covid-19 akan saling menularkan antar santri atau murid.

Menurut berita itu lagi, penutupan berlaku bagi semua sekolah di seluruh jenjang pendidikan yang ada di Kecamatan Moro sejak Senin (8/2/2021) kemarin. Radioazam mengutip pernyataan Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Karimun, Ibu Reza Kurnia. Kata Bu Reza, “Semua sekolah di Kecamatan Moro ditutup sampai seminggu ke depan. Langkah ini dilakukan sebagai antisipasi penyebaran wabah virus Covid-19.” Maksud belyau untuk mengantisipasi berjangkitnya virus corona dari satu orang ke orang lainnya di sekolah.

Nantinya kata Bu Reza, akan dilakukan peninjauan kembali jika pemeriksaan lanjutan kondisi kesehatan terhadap 17 (tujuh belas) santri telah selesai. Kalau hasilnya nanti negatif, maka akan kita buka (sekolah) untuk Kecamatan Moro kembali. Tapi jika ada yang positif, akan kita perpanjang penutupan sekolah. Begitu dia menegaskan kepada para pemburu berita.

Bagi kita, orang tua dan atau guru, apalagi para siswa tentu saja kebijakan ini bisa dilihat dengan penilaian berbeda-beda. Langkah penutupan sekolah memang sudah disetujui oleh Bupati Karimun, Aunur Rafiq, dalam koordinasi yang dilakukan Pelaksana Tugas (PLt) Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Karimun. Tapi tidak belajar langsung (tatap muka) lagi setelah baru saja dibuka karena kebijakan prokes selama ini, tentu saja ini menjadi pemikiran tersendiri. Pak Bupati tentu setuju penutupan sementara demi mengutamakan kesehatan. Tapi apakah orang lainnya juga aka mengaminkan?
Tidak mustahil ada orang tua yang sesungguhnya berharap anaknya tetap masuk ke sekolah sepeti biasa. Jika harus mengikuti prokes, orang tua juga akan setuju. Karena ternyata setelah kurang lebih satu tahun sekolah menggunakan PJJ dalam pembelajarannya, orang tua mulai merasakan kesuliatan mengurus anak dalam pembelajaran di rumah. Jadi, kalau boleh memilih hampir semua orang tua siswa ingin anaknya ke sekolah saja dari pada di rumah. Tapi inilah kebijakan.

Lalu siapa merasakan rugi atas kebijakan ini? Sekali lagi, setiap orang bisa memandangnya dari sudut yang berbeda. Dan penilaiannya pun akan bisa berbeda.***

SHARE THIS

Author:

M. Rasyid Nur Pensiunan Guru PNS (2017) dan tetap, mengabdi di pendidikan serta organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan

Facebook Comment

0 Comments:

Silakan Beri Komentar