Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

5 Jul 2020

Gara-gara Cinta Literasi, Safro Ditangkap Polisi, Ketahuan Plagiasi

Gara-gara Cinta Literasi, Safro Ditangkap Polisi, Ketahuan Plagiasi

Pentigraf (Cerpen Tiga Pragraf)
Karya M. Rasyid Nur

TIBA-tiba saja Safro cinta literasi sejak ikut pelatihan menulis SakuSabu, yang diselenggarakan Dinas Tenaga Pengarahan Kabupaten. Abah Bedu, itu bertekad akan menulis setiap hari. Satu bulan dedline yang diberikan panitia SakuSabu ingin dia efektifkan untuk menghasilkan 100 halaman buku. "Aku harus bisa. Aku akan tunjukkan ke Minah.” Tekadnya sambil membayangkan cantiknya Minah.

Nama Safro sebagai seorang kuli bangunan kini tiba-tiba jadi viral di Medsos karena ikut pelatihan SakuSabu, Satu Kuli Satu Buku. Tidak ada kuli bangunan berani ikut pelatihan. Ternyata kisah kematian Bedu, hasil cinta kasih dengan Minah yang hanyut terbawa arus deras di parit samping rumahnya, itu yang ditargetkannya sebagai tema bukunya. Gara-gara ikut SakuSabu pula Safro kini minta berhenti bekerja. “Minah pasti akan tergoda untuk rujuk setelah membaca bukuku.” Safro tersenyum sendiri. Ini memoar dahsyat, katanya.

Malam Jumat, rumah Minah di Taman Cempaka Indah penuh manusia. Ada apa? Ramai sekali masyarakat di ujung gang rumah Minah. Tampaknya sibuk sekali. Ada isu arwah Bedu gentayangan malam itu. Ternyata bukan. “Safro ditangkap polisi,” seseorang membisikkan.Ternyata Safro ketahuan mencongkel jendela rumah Minah. Rumah yang dulu tempat tidur bersama. Konon Safro mau membanggakan namanya ke Minah yang viral karena cinta literasi. Naasnya Safro ditangkap polisi karena menjiplak tulisan Minah yang juga ikut SakuSabu dan duluan menyetorkan tulisannya ke Panitia SakuSabu. Safro dituduh plagiasi.***
Dimuat juga di: https://mrasyidnur.gurusiana.id/article/2020/6/gara-gara-cinta-literasi-ditangkap-polisi-ketahuan-plagiasi-2919410

23 Des 2019

Cerpen DUKA CINTA DI AWAL CITA

Cerpen DUKA CINTA DI AWAL CITA


BAGAI lingkaran  roda mengitari jagat, begitu pula irama cinta ini kurasakan. Dia begitu patuh pada filsafat rotasi itu. Tapi biarlah. Barangkali sampai kiamat pun kehidupan ini akan tetap mengamalkan aturan tersebut. Sekali ke atas; sekali ke bawah. . ke atas; ke bawah, ke atas lagi ke bawah lagi, dst…..
Entah laut mana lagi yang mesti kuharungi – Entah gunung mana lagi yang harus kudaki dan tantangi – Entah terjal mana lagi yang wajib kujalani – Rasanya, semua derita telah kucoba menelan biar pahit sekalipun – Semua duka telah kurasakan meskipun sakit – Tapi fajar kebahagiaan  kulihat malah kian jauh – Jauuuuuh sekali – Sinar rembulan pun tambah layu di balik hitam awan – Ah cinta – Sebenarnya begitu bening dirimu  – Sayang – Tapi sayang sekali – Jarak menjurang masih menganga – Dan rintangan itu ada antara kau dan aku…. aku berhenti sejenak, dan menatap wajah Yeni yang duduk di sampingku, malam itu. Untaian kalimat itu meluncur begitu saja.
Kulihat Yeni tertunduk mendengar celotehku yang agak cengeng bunyinya itu. Di depan sana, gemerisik dedaunan ditiup angin  malam seperti ikut merasakan kesedihan ini. Sementara di taman langit, bintang–bintang tak lagi indah kulihat. Dan di sini, di bawah rerimbunan flamboyan, dua anak manusia sedang tercenung dan termenung memikirkan sesuatu, sesuatu yang mesti ada dalam setiap remaja. Dua insan itu adalah aku dan Yeni.
Yani memandangku. Pandangan sayu penuh arti, aku kira. Di telaga matanya, kulihat butiran bening mulai mengambang. Tapi di situ masih tetap juga kulihat danau biru yang selama ini menyejukkan hatiku. Pipi itu mulai basah. Rasanya, ingin ku kembali mengecup kening itu seperti hari–hari sebeleumnya. Namun keinginan tersebut harus kusimpan jauh–jauh ke relung jantung yang paling dalam.
Lalu kuusap–lembut bening–bening air yang berderai itu.
“Kenapa, Yen?”
Sebenarnya pertanyaan ini tidak perlu kulontarkan. Aku tahu, Yeni bersedih. Bukankah lewat surat kemarin, telah kuceritakan semuanya. Apa yang ada dalam album cerita cinta kami, semuanya telah kusampaikan. Dan memang bagai tak mungkin menyatukan aku dan dia. Dan malam ini, adalah malam terakhir semua itu Yeni tentu telah mengerti karena sebelumnya telah kujelaskan.
Dia tidak menjawab.
“Seandainya masih ada bumi lain, Yen, aku akan pergi ke sana dan membawa dirimu ke situ. Aku ingin melanjutkan cerita ini hingga kita sampai ke ujung cinta yang sejuk. Tapi bukan di sini”.
Yeni masih bisu.
“Aku merasa di tanah ini tiada lagi tempat buat kita menyemaikan benih cinta. Di sini begitu gersang, rasanya. Aku khawatir, cinta ini kelak akan kering, lalu layu, dan itu berarti lebih getir dan tragis,” diam sebentar. “Dan….engkau marah, Yen?” tanyaku pelan.
Dia memandang ke ujung sana. Sementara mutiara itu masih mengalir di sudut bagian dalam matanya.
“Apakah engkau marah, Yen?” ulangku.
Ia menggeleng, pelan.
Mendadak jantungku berdebar. Aku ragu, apakah makna geleng itu. Apakah itu berarti Yeni memang merelakan kepergianku tanpa setitik pun kesan di jantungnya?. Atau Yeni menggeleng berarti melarangku pergi. Atau…..atau….yaakh…entahlah. Aku belum dapat meraba dan memahami maknanya.
Kembali aku menatapnya. Menikmati wajahnya. Wajah yang telah kukagumi dan menumbuhsuburkan benih cintaku dua tahun ini. Wajah yang kudambakan kelak, membawa cahaya sejuk dalam hidupku. Wajah yang telah kulukis dalam denyut nadiku. Pokoknya, dialah segalanya dalam hidupku. Dialah yang kuharapkan pendamping hidupku kelak jika kami telah menutup lembaran ini dengan selembar surat dari kadi. Itu tekadku sejak pertama aku mendekatinya. Sebab Yenilah yang berhasil mencairkan hatiku yang sejak lama membeku.
Aku masih ingat, sebelum aku menemukan Yeni, dua tahun lamanya aku membenci wanita. Semua wanita kuanggap sebagai yang terlalu menyakitkan. Terlalu kejam. Aku tak tahu kegagalan cinta untuk pertama, adalah soal biasa bagi setiap remaja. Benarlah apa yang dikatakan kakek–nenek, ‘putus cinta soal biasa, putus satu datang seribu’. Untuk itu tak perlu sedih.
Tapi dulu, terus–terang saja, aku memang tidak mengerti. Akibatnya, kepergian Fatmi dari sisiku karena dipaksa kawin keluarganya, membuat aku kehilangan pedoman dan tempat bergantung. Semangatku patah, seleraku buyar dan gairahku berkeping. Lucu? Tapi itulah yang kulami.
Fatmi, gadis desa yang kucintai sejak aku masih di Es Pe Ge, dulu, kini akan kawin dengan pemuda lain yang masih terbilang bertetangga denganku. Hati siapa yang tidak akan hancur. Alasannya memang masuk akal. Karena terlalu lama menanti aku yang masih sekolah, dari pada jadi ‘perawan tua’ kata keluarganya, akhirnya ia pun memutuskan hubungannya denganku.
Aku benar–benar kecewa dibuatnya. Hatiku serasa diiris. Maka sejak itu aku berjanji tidak akan main cinta lagi sebelum aku punya pekerjaan dan kedudukan. Katakanlah, jaminan in come. Aku jadi buta cinta, melupakan asmara, bahkan ada yang mengejekku pemuda sok alim. Berlagak suci. Pemuda yang anti pacaran. Tak mau mendekati suku hawa alias para ceweq; dan entah apa lagi titelku diberi teman-temanku. Namun aku  tetap pada pendirianku, membenci wanita kecuali ibu dan nenekku. (Kebetulan aku tak punya saudara perempuan).
Waktu terus merangkak ke ujungnya yang entah di mana.
Lama-lama ternyata batu hatiku mulai lembut dan berubah. Kian lunak. Aku mulai merasa sunyi. Kesepian mulai menyelimuti hidupku. Hal ini semakin kurasakan setelah aku diterima sebagai guru pada salah satu Es De di kota Pekanbaru. Teman pendamping hidup mulai kurasakan perlu kehadirannya. Itu tak bisa kubantah.
Betapa bahagianya rasa hatiku ketika surat pengangkatan itu keluar dan kuterima dengan hati penuh bunga. Dan mulai sejak itu akupun mulai bertugas sebagai guru. (Menjadi guru adalah cita-citaku sejak kecil). Pagi, siang dan malam dalam pikiranku hanya ada status baruku sebagai guru. Aku ingin menjadi guru yang baik. Seperti Pak Harun, guru kelasku dulu, ketika masih di Es De. Dia adalah guru yang sangat disukai para murid. Yang penting kini, aku sudah mempunyai pekerjaan tetap. Aku sudah punya gaji tetap.
Maka, hadirnya Yeni dalam hatiku setelah bertugas kurang lebih setahun langsung kuanggap sebagai keistimewaan dalam hidupku. Wanita yang selama ini kupandang sebagai musuh ternyata membuat aku setengah edan sejak pandangan pertama dengannya.
“Engkaulah wanita paling kukagumi di kulit bumi ini, Yen.” Kataku ketika untuk pertama kali aku berkencan ke rumahnya, setahun lalu. Album luka bersama Fatmi rupanya dapat juga terutup rapat. Ah, cinta memang aneh.
“Hhmm, bisa saja. Namanya saja rayuan gombal,” jawabnya sambil menyunggingkan bibirnya yang aduhai.
“Aku benar, Yen,” sedikit aku bergeser. “Apakah engkau meragukannya?”.
Berbagai topik menghiasi cerita kami. Maklum, dua remaja yang saling dimabuk asmara.
“Bagaimana, Yen. Aku ingin mulutmu berkata yang sebenarnya” Akhirnya aku minta kepastiannya. Tentang ini ia tidak menjawab.
“Aku bukan main-main, Yen. Apakah kau masih ragu?”
Dia menatap padaku.
“Jawablah, Yen. Aku ingin kepastianmu”.
“Tapi….tt….tapi aku masiiih…” ucapannya tidak sampai selesai.
“Masih apa? Masih meragukannya, gitu?” potongku.
“Aku masih sekolah.” Mukanya sedikit merah.
“O itu. Itu bukan masalah. Sampai tamat aku bersedia menantimu,” jawabku kontan. Terus terang aku memang bukan ahli merayu.
“Apakah kakak tidak terlalu lama menunggunya?”
“Kalau begitu permintaanmu?” aku ingin terenyum rasanya. Dia menyapaku dengan panggilan kakak.
Sejenak Yeni terdiam. Kemudian, “Tapi aku bukan seperti gadis–gadis lain“.
“Hmm…?” tanyaku tanpa kalimat.
“Aku anak pingit… Nanti kakak menyesal.” seperti mengeluh.
“Ohh… itu. Aku mengerti, Yen. Tapi Yen, aku tidak seperti pria yang kau duga juga, Yen. Justeru gadis seperti itulah yang kuharapkan. Dan aku yakin, orang-orang seperti kamu sudah sangat langka. Terus–terang, aku meragukan gadis-gadis yang terlalu bebas” Aku meyakinkannya dengan berbagai cara.
Lalu dia diam.
Untuk beberapa saat hening saja. Aku bergeser lagi. Bertambah dekat lagi.
“Yen” Dengan nada yang sedikit bergetar ke jantungku. Kuletakkan tanganku di bahunya.
Ia menatapku. Tapi  tetap bisu. Hanya di mata itu kulihat beribu makna.
Entah dari mana gerak itu datangnya, Yeni mengulurkan tangannya. Hanya beberapa saat, diapun sudah berada dalam pelukanku. Rasanya aku tidak tahu sedang di mana aku saat itu. Dari waktu itulah pertama kali aku memeluknya.
Begitulah, waktu terus berjalan bersama cinta yang kami sembunyikan berdua. Kedua orang tuanya tidak tahu. Untuk ini Yeni memang menginginkannya begitu.
Sesungguhnya aku dan Yeni selalu berusaha agar abah dan mak Yeni tahu hubungan kami. Beberapa kali malam minggu aku juga datang ke rumah Yeni.  Apakah orang tua Yeni sama sekali memang tidak tahu hubungan kami? Atau mungkin pura-pura tidak tahu?
Setahun lamanya kami membina hubungan. Tapi orang tua Yeni, terutama emaknya tidak juga pernah kulihat seperti akan merestuinya. Dia selalu sinis jika aku datang berkunjung ke rumahnya. Dan malam ini aku harus menunjukkan kepada Yeni, bahwa aku juga bisa berbuat walaupun dengan menelan kepahitan untuk kedua kalinya, tekadku.
“Yen. Aku mengerti dengan perasaanmu. Tapi aku juga percaya, sesungguhnya tak ada gunanya bersedih. Toh ibumu tidak bakal merestui hubungan kita.” Aku kembali bersuara. Dan inilah problema cinta kami sebenarnya.
“Kak”. Suaranya itu bagai tersekat di kerongkongannya.
“Bila selama ini kita selalu saja bersembunyi karena kau selalu bilang takut pada orang tuamu, sebenarnya kenyataan itu saja tidaklah soal bagiku. Kalau memang orang tuamu tidak bisa menerima konsep pacaran ala jaman ini, yaakh terserahlah. Itu hak mereka. Lagi pula kewajibannya untuk selalu mengawasi anak gadisnya. Aku hanya memandangnya sebagai suatu perjuangan yang mesti kutembus demi melati yang lebih suci dan murni.”
Diam sejenak. Kami hanya saling pandang.
“Yeni pun pernah bilang, dulu. Aku mengerti kalau kedua orang tuamu adalah orang yang taat dengan ajaran agama. Alim, dan….” aku tidak melanjutkan.
“Tapi kenapa,” Yeni memotong,” Kakak  seperti telah berubah?”
Tak kujawab pertanyaan itu. “Dan aku yang selalu berusaha mengunjungimu itu adalah bukti bahwa aku bukan main-main. Hanya sikap ibumu itu, Yen. Memedihkan. Aku sadar, yang kubawa hanyalah cinta tulus. Bukan harta kekayaan bergelimang pulus. Kebetulan aku dilahirkan dalam keluarga miskin. Bukan seperti engkau, Yen. Dulu aku masih percaya, kalau cinta suci melebihi segalanya. Ternyata itu hanya ada dalam teori. Sedang dalam kenyataannya, harta masih tetap lebih berkuasa dari apa saja. Harta ternyata lebih berharga dari manusia itu sendiri.”
“Kak”. Yeni mendekatkan duduknya kembali. Tangannya diletakkannya di atas lututku,”Aku tak ingin mendengar perkataan itu”
“Tapi itulah kenyataannya, Yen” Aku meremas jari lembut itu dengan mesra sekali. Aku menatapnya.”Dan kau tidak bersalah dalam hal ini. Hanya kau juga mesti patuh pada orang yang telah membesarkanmu, Yen”
“Yen nggak mau, kak. Yeni akan ikut kemana saja” Lalu ia merebahkan kepalanya ke dadaku. Aku mengusap rambut panjang itu.
“Tenangkan hatimu, Yen,” bujukku.
“Tapi Yen nggak mau ditinggal.” Yeni separoh merengek dalam pelukanku. Sepertinya Yeni tidak ikhlas jika harus berpisah. Tapi aku juga kian sadar bahwa jurang antara aku dan keluarganya tidak mungkin terjangkau.
“Tapi masih sekolah, kan?” kalimat itu kuharapkan menyadarkan Yeni.
Ia terdiam. Barangkali dia teringat kata-katanya tempo hari. “Ini hanya demi nilai lelakiku di mata orang tuamu, Yen. Aku bukan mengecewakan hatimu.”
“Mungkin kakak telah lupa dengan janjinya.”
“Tidak semudah ucapan itu aku melaupakannya, Yen. Percayalah. Ini demi tugasku belaka. Aku tidak bisa menawarnya.”
“Jadi Kakak tetap pada pendirian dalam surat itu?”
“Kita jangan terlalu menurutkan perasaan, Yen. Semua ini sudah kuperhitungkan.”
Yeni diam.
“Dan satu lagi yang paling berharga bagi kita, Yen. Kiranya kita bisa menerima kenyataan ini sebagai hal yang wajar. Bukankah hidup kita masih panjang? Lagi pula, cita-cita kita mesti kita pertimbangkan.”
“Tapi…tta…tt…tapi…” akhirnya Yeni tidak bisa menahan tangisnya, meski tanpa suara. Aku memeluknya lebih kuat. Sementara Yeni berusaha menahan tangisnya dalam pelukanku.
“Sabarlah, Yen. Suatu waktu mungkin ibumu tidak akan seperti sekarang lagi. Percayalah aku berbuat ini hanya demi ketenangan hatimu jua. Tak lebih. Aku tak tega melihat kamu selalu dikucilkan hanya karena kita berhubungan. Meskipun mutasi ini bukan atas permintaanku tapi mungkin Tuhan sudah mengaturnya begitu. Barangkali untuk ketenangan kita berdua meski harus berpisah.”
“Apa jadinya hubungan yang tidak direstui orang tua. Kamu akan lebih menderita jadinya. Lebih baik kita ambil tindakan seperti ini. Mungkin untuk sementara seperti inilah kita harus menerimanya. Tapi aku percaya, hari ini tidak sama dengan kemarin. Dan esok juga tidak akan sama dengan hari ini dan lusa. Kita akan berusaha hari-hari ke depan lebih baik daripada hari-hari yang ditinggalkan. Percayalah. Jika aku sukses mungkin akan dipindahkan lagi ke kota ini.”
Sepi kembali.
“Yen. Aku mohon doa darimu. Mungkin dua atau tiga hari lagi aku akan meninggalkan kota ini. Aku ingin pula menyumbangkan tenagaku di desa. Kebetulan aku ditempatkan di salah satu Es De Inpres di sana. Aku dimutasi ke sana untuk mengisi kebutuhan guru buat sekolah baru. Aku harap, Yeni mau memahami keadaan kita ini. Kepergianku bukan lari darimu. Tapi kepergianku ini adalah untuk mencari dirimu. Percayalah, suatu saat perpisahan ini akan ada pertemuannya.” Berhenti aku sebentar berkhutbah. Barangkali Yeni sudah terlalu puas. “Dan pertemuan waktu itu akan terasa lebih indah dari semua ini, Yen.”
Dia hanya tengadah menatapku.
“Selamat malam, Yen.” Dengan perlahan kulepaskan Yeni dari pelukanku, “daaaagg…,” aku melambaikan  tangan sambil melangkah meninggalkan tempat itu.
***
Telah dimuat Koran Swadesi,Jakarta, 26.12.1982


*Dari Buku Duka Cinta di Awal Cita (M. Rasyid Nur)

24 Nov 2019

Cerpen LEMBUTNYA KEDUA TANGANMU

Cerpen LEMBUTNYA KEDUA TANGANMU


Karya: Ponilawati
 
 “Mas…mas… aku masa disik yoo…(pen. pa…pak.. aku masak dulu, ya).” ucapan yang pernah diucapkan seorang isteri untuk menjaga buah hatinya yang masih dalam gendongannya, saat itu sang suami lagi memperbaiki sepeda yang rusa.
              Sukandam seorang suami yang sehari-harinya bekerja sebagai karyawan di perusahaan pembuatan  kapal. Bosnya seorang warga China yang cukup kaya dan berhati  baik dan suka membantu karyawannya.  Bosnya suka menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongan saat dalam bekerja maupun masalah keuangan . Pak Sukandam hidup bahagia dengan istrinya, Marwiyah.
            Sebagai seorang buruh kasar pak Sukandam selalu menjaga hubungan baik dengan semua karyawan yang seprofesi dengannya. Pak Sukandam juga menerima upah yang sama dengan karyawan lainnya. Namun demikian penghasilannya belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tapi pak Sukandam selalu mensyukuri rezki yang ia terima.
   Kedua suami-istri itu sangat menyanyangi  anaknya. Begitu juga dengan anaknya yang menyayangi kedua orang tuanya. Pak Sukandam seorang yang sabar dalam semua hal dan orang yang taat beribadah pada    Allah SWT.  Semua ini dapat dilihat dari perilakunya yang suka pergi ke masjid setiap waktu sholat kecuali beralangan . 
             Pada suatu hari isteri pak Sukandam meminta suaminya untuk membeli barang masakan sehari-hari . Hal ini di karenakan  saat itu Marwiyah sedang sakit. Sementara pak Sukandam saat itu sedang berada ditempat kerjanya sehingga pak Sukandar tak bisa memenuhi permintaan istrinya utuk membeli barang  kebutuhan sehari-hari .
               Hari semakin siang namun belum juga bisa mengerjakan pekerjaan rumahnya dan memasak untuk makanan suaminya di saat pulang kerja. Sementara anaknya  ketika itu dalam kondisi sakit. Marwiyah pergi ke warung dengan menggendong anaknya yang masih sakit. Setelah pulang dari berbelanja kebutuhan sehari-hari buk Marwiyah tetap berusaha untuk memasak. Betapa tanggung jawabnya bu Marwiyah karena terus  berusaha memasak untuk suaminya dan anaknya yang masih sekolah di kelas  enam SD. Saat buk Marwiyah memasak anaknya tetap masih dalam gendongannya. Selesai memasak Bu Marwiyah pun merasa lelah  dan terus istirahat.  Marwiyah duduk sambil memandangi anaknya yang dalam kondisi sakit dengan mengelus kepala tanda kasih sayang yang mendalam. Sesibuk apapun Marwiyah dengan kegiatan sebagai ibu rumah tangga  tetap dia menjaga anaknnya lebih dari dirinya sendiri .
                Beberapa hari kemudian anak pak Sukandam dan buk Marwiyah sehat dari sakitnya. Sebagai orang tua sudah tidak dapat dipungkiri lagi betapa gembira hati seorang ibu.  Digendong, ditimang, dan tidak henti-hentinya pipi merah putrinya ditatap dan dicium berulang-ulang kali .” Yanti.. anak ibuk sayang jangan sakit lagi ya sayang, Yanti buah hati ibuk anak pintar kelak menjadi anak yang sholeha dan sukses .” Itulah ucapan bu Marwiyah pada putrinya.
                Tahun berganti tahun lamanya, Yanti yang selalu disayang ibunya sudah beranjak dewasa hingga masuk  SMA.  Untuk membantu  penghasilan suaminya  bu Marwiyah menjadi seorang pedagang di daerah tempat tinggalnya. Buk Marwiyah tetap masih memperlakukan anaknya dengan baik dengan sentuhan tanganya yang lembut. Ketika Yanti sakit, Bu Marwiyah selalu menepuk-menepuk bahunya dan mengelus kepalanya hingga Yanti tertidur di pelukannya.  Bu Marwiyah memperlakukan semua anak-anaknya dengan penuh kasih sayang .
       Saat anak Pertama Bu Marwiyah yang bernama Sri Maryati  sekolah  Pendidikan Guru  di Bengkalis, Ia selalu datang mengunjunginya. Biarpun hidup dengan sederhana, namun bu Marwiyah tetap memenuhi segala yang diperlukan anaknya. Kadang sampai kebutuhan dirinya tidak ia hiraukan. Sri Maryati yang sudah dewasa aja tetap diperlakukan seperti anak yang masih kecil
                    Kini tangan itu sudah lemah, kini tangan itu sudah tak kuat lagi namun lembutnya sentuhan  tangan bu  Marwiyah tetap mereka rasakan tidak akan putus sampai kapan pun, ibu seorang yang lembut.  Pengorbanan mu tetap akan dikenang anak-anaknya.
     Kewajiban seorang anak yang harus selalu berbakti kepada kedua orang tua telah mereka tunjukkan. Ada peringatan buat kita, jangan sekali-kali kita menyakiti hati seorang ibu. dan  bagi seorang ibu teruslah menjadi seorang ibu yang selalu penuh kasih sayang pada semua anak-anaknya. Bu Marwiyah telah melakukannya dan akan terus melakukannya.***
                                                     
Selesai