Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

17 Agu 2020

Puisi-puisi Wahyu Nurhalim, S.Pd.I M.Pd

Puisi-puisi Wahyu Nurhalim, S.Pd.I M.Pd

SIMFONI 17 AGUSTUS 1945

Jadilah seberkas cahaya 
Yang memberi terang dan pekat jalanku
Yang berliku dan berbatu keras 
Wahai sahabat hatiku kamu tau?

Jadilah seberkas cahaya menemani cahaya yang telah ada
Agar jalan yang telah dipilih ini mampu mendewasakan
Melaju dengan pasti tanpa ragu lagi habiskan cerita

Jadilah seberkas cahaya lilin
Menemani tidur tatkala di senja dengan mengejar kelambu
Tatkala berkas sinar mau padam usang dan kelam
Didera angin yang makin kencang tornado

Jadilah seberkas cahaya
Yang mampu menguatkan mata yang lelah
Pada saat menjelang berlaga
Jangan sampai menyerah dan dengan doa dari semua penduduk bumi

Jadilah seberkas cahaya kilat
Yang menyalakan bak api kobarkan kembali semangat berkorban kemerdekaan 17 agustus 1945 kala itu
Mengejar ketertinggalan semua alam menyaksikan
Menghalau dan terdepan yang mana tak ada  keterbatasan dengan nuansa ukhuwah tercipta

Indragirihulu, 16 Agustus 2020


PENGHORMATAN PAHLAWAN

Suatu ketika lewat dikuburan
Laksana tertegun menatap para pahlawan perjuangan bangsa Indonesia yang tertanam ditanah
Sedih aku pemuda SDM Indonesia
Yang tertaih menata generasi emas sedia kala

Sedih aku akan beri penghotrmatan walau dengan taruhan nyawa
Hingga 1945 ke 2020
Melewati masa dan zaman keemasan

Ayo bangkit pemuda
Kita bisa
Kita bekerja
Untuk Indonesia
HUT RI ke 75

Berikan darah juang 
Hingga lahir para pemimpin
Hingga lahir ulama ulama
Hingga lahir penanaman cinta Indonesia

Indragiri Hulu, 17 Agustus 2020

16 Agu 2020

Puisi-puisi Wahyu Nurhalim, S.Pd.I M.Pd

Puisi-puisi Wahyu Nurhalim, S.Pd.I M.Pd


MERDEKA BELAJAR DAN MOVE ON

Rasa amuk dan remuk
Saat pena tak setetes ada
Gegara ekonomi kapitalisme merajalela


Biarkan Saja? 
Aku dalam kebebasan berfikir aku terus berjuang dalam merdeka belajar ku


Ya aku move on
Aku juara
Aku merdeka
Aku menunggu Kurikulum Merdeka 

Indragiri Hulu, 15 Agustus 2020


PERGI BIARKANLAH 

Kemanakah kaki sudah tidak mampu berjalan?

Hanya naungan doa dan harapan kenyataan?
Petuah lagi ceramah disegala arahan

Menjadi kan ku pergi kejalan yang luru s
OlehNya aku diberikan kenikmatan

16 Agustus 2020


KAMU MAMPU?

Ya dibalik semua ujian
Pasti

Ya dibalik jeruji besi
Aku ingin

Ya aku merasakan kemerdekaan
Namun belum seutuhnya

Ya aku bangga Indonesia ku kini?
Ya menjadi macan asia
Ya dengan semua regulasi
Pasti ada baik dan kontroversi

Indragiri Hulu, 16 Agustus 2020

15 Agu 2020

Puisi-puisi Wahyu Nurhalim S.Pd.I M.Pd

Puisi-puisi Wahyu Nurhalim S.Pd.I M.Pd

DZIKIR PUISI

Dalam hening pusi hamba berdzikir
Mengeja untaian maghfirah lewat bait-bait resah
Goreskan baris penyesalan yang tak jua usai tergubah
Setiap kata menatap seakan penuh curiga dan tersalah

Satu judul telah usai,
Seribu puisi terlampaui
Tapi masih tak sebanding dengan dosa yang melumuri sekujur raga
Sedang tinta ini telah mulai mengering

Di antara kel takut dan harap
Hamba persembahkan dan hadiahkan puisi sebagai ungkapan ini wahai Paduka raja,
Walau bisa, namun bila harus sempurna dan sejatiNya
Kuharap ku tak mampu meraih dan  berkenan sepenuh hidayah dariNYa

Indragiri Hulu, 14 Agustus 2020



BERDZIKIR  LEWAT PUISI

Dalam hening dan pekatnya malam puisi hamba berdzikir dan bdrtasbih
Mengeja untaian maghfirah dan taufiq lewat bait-bait resah dan gelisah?
Goreskan baris penyesalan yang tak jua usai tergubah
Setiap kata menatap seakan penuh curiga dan tersalah kan?

Satu judul telah usai dan ribuan bait,
1 puisi terlampaui
Tapi masih tak sebanding dengan pahala yang melumuri diri dan sekujur raga ini
Sedang kan tinta emas ini telah mulai mengering dan habis

Di antara rasa takut dan harap
Hamba persembahkan dan hadiahkan puisi sebagai ungkapan ini wahai Paduka raja,
Walau bisa, namun bila harus sempurna dan sejatiNya
Kuharap ku tak mampu meraih dan  berkenan sepenuh hidayah dariNYa

Indragiri Hulu, 14 Agustus 2020

12 Agu 2020

Puisi-puisi Wahyu Nurhalim S.Pd.I M.Pd

Puisi-puisi Wahyu Nurhalim S.Pd.I M.Pd

DESAS DESUS JABATAN

Tahta adalah hadiah
Kekuasaan adalah pinta
Menahan kuasa
Tak mungkin dilema

Demi jabatan
Kau raih segalanya
Agar tau amanah disetiap langkahnya

Indragiri Hulu Riau, 10 Agustus 2020


KEMUNGKINAN


Mungkin dia lupa?
Perhatian ku hanyalah sebuah makna

Mungkin dia baik?
Namun setiap langkah adalah nikmat?

Mungkin?
Aku hanyalah cinta yang namaku tak terbilang oleh angka
Namun sikapku padanya adalah hadiah

Indragiri Hulu, 11 Agustus 2020


KEPADANYA DITITIPKAN KEMERDEKAAN

Sejak merdeka 17 agustus 1945 dan Sampai sekarang
Saya merasakan akan hal perubahan
Dan juga meraih kemerdekaan dizaman era 2020
Sungguh luar biasa
Disemua sektor bahu membahu
Disemua zona sangat bersaing dan demokrasi terus berjalan

Kutanya kembali sudahkah merdeka?
Dan bangga sudah merdeka?

Tidak!!!
Tidak!!!

Negeri ini masih dijajah oleh bangsa sendiri
Dan kaum elite penguasa
Ayo merdeka dalam semua sektor
Kami yang belajar menyatakan merdeka belajar

Indragiri hulu, 12 Agustus 2020

9 Agu 2020

Puisi-puisi Wahyu Nurhalim, S.Pd.I M.Pd

Puisi-puisi Wahyu Nurhalim, S.Pd.I M.Pd

IBU JAWA TIMUR, AYAH MEDAN

Ibu saya ada 1 rak rak buku
Isinya primbon dan satu kitab suci
Bergeletak di lemari tua sudut sebelah kiri
Di dekat meja hidangan
Seperti akan siap mengeyangkan lapar wawasannya.
Dan yang haus pengetahuan

Lemari kayu itu
Penampakan kerap terjadi
Segenggam tasbih turut menjadi saksi dan sajadah yang semuanya berantakan

Sesekali aku bertanya mak,e
Dalam pandang jiwa yang akan menjadi kegemberiaan anak kecil yang ceria.

"Bapak, mana?"
Aku tak akan takluk atas perintah di pangkuannya

Lalu bapak, juga turut bersuara
Persis bahasa medan yang khas sekali.

Ku takjub dan sehingga telinga menggema dan terus akan hijrah dalam keindahan dunia.

Cerita ini tentang desa desa,
Yang dimana? Ada sudut, dan lampu lampu berpendaraan:
Tidak gela gulita, di kota rengat tempatku tinggal.

Tugu patin, dan tiba disimpang tiganya.

"Tahukah sampeyan, koe nak? 
Orang - orang berbeda suku dan tata bahasa.

Lalu ibu tersenyum.

Indragiri Hulu, Riau 8 Agustus 2020



IMPIAN DAN GAMBARAN DIRI SEORANG SANTRI

Impian adalah gambaran diri kami seorang santriwati
Doa dengan sepuluh jari tangan menengadah diatas sajadah

Kami diasuh dan dididik dengan ikhlas dalam suasana bahagia di era penuh bencana

Kami ingin menjadi generasi maratul shalehah yang penuh cahaya iman

Impian dan diri seorang santri bagaikan dipan dipan yang dipersiapkan untuk diri kami dan keluarga kedepannya

Impian kami ingin menjadi rabiatul al adawiyah soerang sufisme perempuan yang menginspirasi

Atau sosok aisyah Istri rasulullah dan siti khadijah

Bagi kami impian kedepannya adalah menjadikan muslimah muslimah Indonesia yang siap melahirkan keturunan dan mewarisi tuntunan ajaran agama nabi muhammad SAW

Hidup santri
Hidup santri Indonesia
Hidup santri Pondok Modern Syamsuddin 

Indragiri Hulu, 9 Agustus 2020

7 Agu 2020

Puisi-puisi Wahyu Nurhalim, S Pd M Pd

Puisi-puisi Wahyu Nurhalim, S Pd M Pd

SIMFONI CINTA DARI NERAKA

Sungguh

Dimusim panas, rintahan semakin terdengar keseluruh lembah dan pepohonan bergoyang menggemakan tangisan tangisan dan lolongan meminta tolong..

Tidak ada penghijauan yang subur bahkan gersang..

Mereka berhamburan satu persatu dan menangisi perbuatan..

Mereka mencari baju putih akibat amalan yang kurang..
Karena takut dimusim ramadhan dan perbuatan di dunia yang semakin tampak membuat tidak tenang..

Indragiri Hulu, 6 Agustus 2020.


APAKAH CINTA YANG AGUNG ITU

Adalah seorang hamba yang halal
Kepadanya diikat dengan janji suci
Dan juga ketika sejoli menunggu dengan  setia..

Adakah?
Rasa tentram dan luar biasa menjadi tameng maksiat..

Yang dapat merenggut jiwa sholeh dan sholehah...

Cinta adalah miliki anugerah tuhan..
KepadaNya karunia sang maha Agung...

Cinta Nya sungguh sangat setia pada pertalian yang kokoh dan sangat luar biasa  tentram...

CintaNya pada diri dan juga pribumi menjadi saksi...

Indragiri Hulu, 6 Agustus 2020.



DULU SAAT BERBAJU PUTIH ABU

Kenangan saat bersama guru favoritku..
Aku selalu sangat suka sekali membaca buku...

Hingga saat aku duduk dan selalu juara 1..
Aku ingin menjadi terbaik saatnya...

Dan buat orang tua bangga...
Semua bangga.
..
Dan binaan guruku..
Aku cinta bahasa...
Aku cinta Indonesia..

Dan semua akrab saat reuni..
Hingga waktu akan menjawab mana alumni yang berprestasi nasional...

Indragiri Hulu, 7 Agustus 2020



MAKNA CINTA

Cinta adalah pengetahuan yang menghidupkan penglihatan kita..

Cinta adalah seekor burung merpati yang setia dan terbang bersama..

Cinta hanya diikat oleh goresan tinta emas berlandaskan janji illahi..
 
Jangan sebut cinta murni kalau lah.. Didalamnya tak ada cinta yang kekal..

Indragiri hulu, 7 Agustus 2020.

6 Agu 2020

Puisi-puisi: Wahyu Nurhalim, S Pd I, M Pd

Puisi-puisi: Wahyu Nurhalim, S Pd I, M Pd




SEPASANG DAN SERUMPUN DOA


Kemarin barusan sang imam lewat
Kami akan siap bergegas menuju mushola
Lalu dibiarkan para jamaah itikaf?
Duduk berdzikir dan terus berharap
Hanya nikmat dan harapan
Dengan sepasang agar jodoh tak kan pergi
Dan serumpun doa agar segera dikhitbah dan berdua dalam istana

Indragiri Hulu, 4 agustus 2020.


LUMPUHNYA

Ajal...
Ajal...
Ajal...

Selalu mengintai derasnya darah merah
Meronta ronta dan bergemuruh dengan jantung yang berdenyut sangat cepat...

Lumpuh...
Saat aku tak mampu lagi menegadah akibat ulahnya yang sangat liar...

Lumpuh ...
Karena nya aku menjadi sufi dan kaum sunni yang setia dengan ajaran nabi

Indragiri Hulu, 4 agustus 2020



MERDEKA UMMAT

Ummat terjajah saat runtuhnya khilafah
Ummat mencari sang Imam Mahdi
Di kota Syam banyak sudah yang terjajah

Diam kah kita?
Wahai penguasa...!!!
Mari bela yang terzalimi
Mari angkat para ummat muslim dan merdekakan
Agar kami?

Beribadah ?
Dengan tenang dan khusyuk
Dengan ridho illahi
Usir tentara zionis?

Indragiri Hulu, 4 Agustus 2020



PRAMUKA


Praja yang sangat kuat 
Siaga..

Sifat yang selalu akan menata

Penegak
Sifat yang selalu akan
Menegakkan patriotisme bangsa

Pandega
Sifat yang selalu akan mengarahkan tujuan daei jiwa jiwa ksatria..

Salam pramuka
Salam pramuka

Dari kakak riau
Dari sini untuk disana
Dalam satu jiwa
Diikat oleh pramuka

Indragiri Hulu, 4 Agustus 2020

2 Agu 2020

Puisi-puisi Wahyu Nurhalim, SPd I, M Pd

Puisi-puisi Wahyu Nurhalim, SPd I, M Pd

PEMANDANGAN IDUL ADHA

Rasa syukur..
Bahagia ...
Dalam lantunan takbir
Dalam kebahagiaan yang hakiki mendapat kesempatan berhari raya aidil adha...

Gerak langkah menuju masjid
Duduk bertakbir dan bertahmid
Menuju panggilan ridho illahi
Menggapai kewajiban kami
Seorang hamba ummatnya nabi...
Dengan ini penduduk bumi
Bertakbir ...
Allahu Akbar...
Allahu Akbar...
Allahu Akbar...



MARI BERKURBAN

Kurban adalah simbol syukur
Kurban dalam diri membersihkan dari sifat tidak terpuji
Kurban adalah salah satu bakal amal pribadi
Kurban menjadi dekat dan sama memiliki manusia sesama
Kurban dalam penuh aidil adha
Kurban bersama santri santriwati

1 Agustus 2020



BELAJAR TAWADHU

Namamu akan abadi dalam hati
Jiwamu bersih hingga dalan diri

Namamu harum seperti melati
Allah lah buya suruh kami belajar..
Mendalami dan terus berusaha hingga disetiap proses kami..

Sifat tawadhu junjungan nabi 
Dalam kitab pun saya akan gali..
Tawadhu dan menginsafi diri..

Indragiri Hulu Riau 1 Agustus 2020

30 Jul 2020

Puisi-Puisi Wahyu Nurhalim, M Pd

Puisi-Puisi Wahyu Nurhalim, M Pd

1)
LUKISAN DIRI AYAH

Aku berdiri diatas dan berkaca
Keluarkan cinta cinta
Tertawa bersama ayah saat aku terima rapor

Aku peluk dan erat gambaran dan sudah sekali memdermakan cerita kisah pilu
Dan perjuangan saat muda dulu.

Kulihat ayah sangat hebat
Hinga anak anak lahir dari doa dan harapanNya

Indragiri Hulu, 30 Juli 2020



2)
DETIK PENGORBANANMU, AYAH

Pernah..
Ayah selalu menasehati
Jika marah ayah bilang dan selalu memuji

Pernah...
Ayah bahagia dan dia selalu bilang ayah akan ada dan buatmu "bahagia"

Pernah ayah bilang
Aku tak akan mewarisimu harta
Ayah bilang : Hanya ilmu yang menemanimu

Pernah
Ayah bilang, aku akan ada disetiap detik dan nafas
Setiap prestasi dan perkembanganmu nak


3)
PESAN AYAH SAAT MENIKAH

Nak kamu sudah besar
Sudah saatnya kamu menikah
wajahmu ganteng dan usaha mu yang luar biasa
Hingga pendidikanmu tinggi
Istri yang menemanimu
Dan Ilmu mu akan menjagamu
Buatlah keluarga Qur'ani
Dan Dekat dengan Illahi

29 Des 2019

Puisi MEMBURU ARTI

Puisi MEMBURU ARTI


Karya M. Rasyid Nur
Dulu aku menduga ketika langkah-langkah
gontai tapi pasti yang kubawa
berlari ini, dan aku tinggalkan desa
yang bening sunyi polusi
Kutatah semua langkah
di atas
batu-batu pecah berselimut aspal
yang membentang di sepanjang
jalan tanpa ujung yang
dapat kupandang
Demi secuil harap
kudekap
doa-doa tak lengkap
yang terus kubaca hingga mata sembab
Kini desaku tampak semakin jauh dari rindu
aku benar bergelimang cita
semakin tak menentu yang kuburu
semakin tiada nyata dalam arti
sementara mimpi menambah jauh hari
dalam selimut duka
Kini ku terpana
ku terlelap dalam kejap bagaikan fana
ku terpana dalam ragu yang terus membatu
ku benar-benar bisu
kemana aku akan berburu

23 Des 2019

Cerpen DUKA CINTA DI AWAL CITA

Cerpen DUKA CINTA DI AWAL CITA


BAGAI lingkaran  roda mengitari jagat, begitu pula irama cinta ini kurasakan. Dia begitu patuh pada filsafat rotasi itu. Tapi biarlah. Barangkali sampai kiamat pun kehidupan ini akan tetap mengamalkan aturan tersebut. Sekali ke atas; sekali ke bawah. . ke atas; ke bawah, ke atas lagi ke bawah lagi, dst…..
Entah laut mana lagi yang mesti kuharungi – Entah gunung mana lagi yang harus kudaki dan tantangi – Entah terjal mana lagi yang wajib kujalani – Rasanya, semua derita telah kucoba menelan biar pahit sekalipun – Semua duka telah kurasakan meskipun sakit – Tapi fajar kebahagiaan  kulihat malah kian jauh – Jauuuuuh sekali – Sinar rembulan pun tambah layu di balik hitam awan – Ah cinta – Sebenarnya begitu bening dirimu  – Sayang – Tapi sayang sekali – Jarak menjurang masih menganga – Dan rintangan itu ada antara kau dan aku…. aku berhenti sejenak, dan menatap wajah Yeni yang duduk di sampingku, malam itu. Untaian kalimat itu meluncur begitu saja.
Kulihat Yeni tertunduk mendengar celotehku yang agak cengeng bunyinya itu. Di depan sana, gemerisik dedaunan ditiup angin  malam seperti ikut merasakan kesedihan ini. Sementara di taman langit, bintang–bintang tak lagi indah kulihat. Dan di sini, di bawah rerimbunan flamboyan, dua anak manusia sedang tercenung dan termenung memikirkan sesuatu, sesuatu yang mesti ada dalam setiap remaja. Dua insan itu adalah aku dan Yeni.
Yani memandangku. Pandangan sayu penuh arti, aku kira. Di telaga matanya, kulihat butiran bening mulai mengambang. Tapi di situ masih tetap juga kulihat danau biru yang selama ini menyejukkan hatiku. Pipi itu mulai basah. Rasanya, ingin ku kembali mengecup kening itu seperti hari–hari sebeleumnya. Namun keinginan tersebut harus kusimpan jauh–jauh ke relung jantung yang paling dalam.
Lalu kuusap–lembut bening–bening air yang berderai itu.
“Kenapa, Yen?”
Sebenarnya pertanyaan ini tidak perlu kulontarkan. Aku tahu, Yeni bersedih. Bukankah lewat surat kemarin, telah kuceritakan semuanya. Apa yang ada dalam album cerita cinta kami, semuanya telah kusampaikan. Dan memang bagai tak mungkin menyatukan aku dan dia. Dan malam ini, adalah malam terakhir semua itu Yeni tentu telah mengerti karena sebelumnya telah kujelaskan.
Dia tidak menjawab.
“Seandainya masih ada bumi lain, Yen, aku akan pergi ke sana dan membawa dirimu ke situ. Aku ingin melanjutkan cerita ini hingga kita sampai ke ujung cinta yang sejuk. Tapi bukan di sini”.
Yeni masih bisu.
“Aku merasa di tanah ini tiada lagi tempat buat kita menyemaikan benih cinta. Di sini begitu gersang, rasanya. Aku khawatir, cinta ini kelak akan kering, lalu layu, dan itu berarti lebih getir dan tragis,” diam sebentar. “Dan….engkau marah, Yen?” tanyaku pelan.
Dia memandang ke ujung sana. Sementara mutiara itu masih mengalir di sudut bagian dalam matanya.
“Apakah engkau marah, Yen?” ulangku.
Ia menggeleng, pelan.
Mendadak jantungku berdebar. Aku ragu, apakah makna geleng itu. Apakah itu berarti Yeni memang merelakan kepergianku tanpa setitik pun kesan di jantungnya?. Atau Yeni menggeleng berarti melarangku pergi. Atau…..atau….yaakh…entahlah. Aku belum dapat meraba dan memahami maknanya.
Kembali aku menatapnya. Menikmati wajahnya. Wajah yang telah kukagumi dan menumbuhsuburkan benih cintaku dua tahun ini. Wajah yang kudambakan kelak, membawa cahaya sejuk dalam hidupku. Wajah yang telah kulukis dalam denyut nadiku. Pokoknya, dialah segalanya dalam hidupku. Dialah yang kuharapkan pendamping hidupku kelak jika kami telah menutup lembaran ini dengan selembar surat dari kadi. Itu tekadku sejak pertama aku mendekatinya. Sebab Yenilah yang berhasil mencairkan hatiku yang sejak lama membeku.
Aku masih ingat, sebelum aku menemukan Yeni, dua tahun lamanya aku membenci wanita. Semua wanita kuanggap sebagai yang terlalu menyakitkan. Terlalu kejam. Aku tak tahu kegagalan cinta untuk pertama, adalah soal biasa bagi setiap remaja. Benarlah apa yang dikatakan kakek–nenek, ‘putus cinta soal biasa, putus satu datang seribu’. Untuk itu tak perlu sedih.
Tapi dulu, terus–terang saja, aku memang tidak mengerti. Akibatnya, kepergian Fatmi dari sisiku karena dipaksa kawin keluarganya, membuat aku kehilangan pedoman dan tempat bergantung. Semangatku patah, seleraku buyar dan gairahku berkeping. Lucu? Tapi itulah yang kulami.
Fatmi, gadis desa yang kucintai sejak aku masih di Es Pe Ge, dulu, kini akan kawin dengan pemuda lain yang masih terbilang bertetangga denganku. Hati siapa yang tidak akan hancur. Alasannya memang masuk akal. Karena terlalu lama menanti aku yang masih sekolah, dari pada jadi ‘perawan tua’ kata keluarganya, akhirnya ia pun memutuskan hubungannya denganku.
Aku benar–benar kecewa dibuatnya. Hatiku serasa diiris. Maka sejak itu aku berjanji tidak akan main cinta lagi sebelum aku punya pekerjaan dan kedudukan. Katakanlah, jaminan in come. Aku jadi buta cinta, melupakan asmara, bahkan ada yang mengejekku pemuda sok alim. Berlagak suci. Pemuda yang anti pacaran. Tak mau mendekati suku hawa alias para ceweq; dan entah apa lagi titelku diberi teman-temanku. Namun aku  tetap pada pendirianku, membenci wanita kecuali ibu dan nenekku. (Kebetulan aku tak punya saudara perempuan).
Waktu terus merangkak ke ujungnya yang entah di mana.
Lama-lama ternyata batu hatiku mulai lembut dan berubah. Kian lunak. Aku mulai merasa sunyi. Kesepian mulai menyelimuti hidupku. Hal ini semakin kurasakan setelah aku diterima sebagai guru pada salah satu Es De di kota Pekanbaru. Teman pendamping hidup mulai kurasakan perlu kehadirannya. Itu tak bisa kubantah.
Betapa bahagianya rasa hatiku ketika surat pengangkatan itu keluar dan kuterima dengan hati penuh bunga. Dan mulai sejak itu akupun mulai bertugas sebagai guru. (Menjadi guru adalah cita-citaku sejak kecil). Pagi, siang dan malam dalam pikiranku hanya ada status baruku sebagai guru. Aku ingin menjadi guru yang baik. Seperti Pak Harun, guru kelasku dulu, ketika masih di Es De. Dia adalah guru yang sangat disukai para murid. Yang penting kini, aku sudah mempunyai pekerjaan tetap. Aku sudah punya gaji tetap.
Maka, hadirnya Yeni dalam hatiku setelah bertugas kurang lebih setahun langsung kuanggap sebagai keistimewaan dalam hidupku. Wanita yang selama ini kupandang sebagai musuh ternyata membuat aku setengah edan sejak pandangan pertama dengannya.
“Engkaulah wanita paling kukagumi di kulit bumi ini, Yen.” Kataku ketika untuk pertama kali aku berkencan ke rumahnya, setahun lalu. Album luka bersama Fatmi rupanya dapat juga terutup rapat. Ah, cinta memang aneh.
“Hhmm, bisa saja. Namanya saja rayuan gombal,” jawabnya sambil menyunggingkan bibirnya yang aduhai.
“Aku benar, Yen,” sedikit aku bergeser. “Apakah engkau meragukannya?”.
Berbagai topik menghiasi cerita kami. Maklum, dua remaja yang saling dimabuk asmara.
“Bagaimana, Yen. Aku ingin mulutmu berkata yang sebenarnya” Akhirnya aku minta kepastiannya. Tentang ini ia tidak menjawab.
“Aku bukan main-main, Yen. Apakah kau masih ragu?”
Dia menatap padaku.
“Jawablah, Yen. Aku ingin kepastianmu”.
“Tapi….tt….tapi aku masiiih…” ucapannya tidak sampai selesai.
“Masih apa? Masih meragukannya, gitu?” potongku.
“Aku masih sekolah.” Mukanya sedikit merah.
“O itu. Itu bukan masalah. Sampai tamat aku bersedia menantimu,” jawabku kontan. Terus terang aku memang bukan ahli merayu.
“Apakah kakak tidak terlalu lama menunggunya?”
“Kalau begitu permintaanmu?” aku ingin terenyum rasanya. Dia menyapaku dengan panggilan kakak.
Sejenak Yeni terdiam. Kemudian, “Tapi aku bukan seperti gadis–gadis lain“.
“Hmm…?” tanyaku tanpa kalimat.
“Aku anak pingit… Nanti kakak menyesal.” seperti mengeluh.
“Ohh… itu. Aku mengerti, Yen. Tapi Yen, aku tidak seperti pria yang kau duga juga, Yen. Justeru gadis seperti itulah yang kuharapkan. Dan aku yakin, orang-orang seperti kamu sudah sangat langka. Terus–terang, aku meragukan gadis-gadis yang terlalu bebas” Aku meyakinkannya dengan berbagai cara.
Lalu dia diam.
Untuk beberapa saat hening saja. Aku bergeser lagi. Bertambah dekat lagi.
“Yen” Dengan nada yang sedikit bergetar ke jantungku. Kuletakkan tanganku di bahunya.
Ia menatapku. Tapi  tetap bisu. Hanya di mata itu kulihat beribu makna.
Entah dari mana gerak itu datangnya, Yeni mengulurkan tangannya. Hanya beberapa saat, diapun sudah berada dalam pelukanku. Rasanya aku tidak tahu sedang di mana aku saat itu. Dari waktu itulah pertama kali aku memeluknya.
Begitulah, waktu terus berjalan bersama cinta yang kami sembunyikan berdua. Kedua orang tuanya tidak tahu. Untuk ini Yeni memang menginginkannya begitu.
Sesungguhnya aku dan Yeni selalu berusaha agar abah dan mak Yeni tahu hubungan kami. Beberapa kali malam minggu aku juga datang ke rumah Yeni.  Apakah orang tua Yeni sama sekali memang tidak tahu hubungan kami? Atau mungkin pura-pura tidak tahu?
Setahun lamanya kami membina hubungan. Tapi orang tua Yeni, terutama emaknya tidak juga pernah kulihat seperti akan merestuinya. Dia selalu sinis jika aku datang berkunjung ke rumahnya. Dan malam ini aku harus menunjukkan kepada Yeni, bahwa aku juga bisa berbuat walaupun dengan menelan kepahitan untuk kedua kalinya, tekadku.
“Yen. Aku mengerti dengan perasaanmu. Tapi aku juga percaya, sesungguhnya tak ada gunanya bersedih. Toh ibumu tidak bakal merestui hubungan kita.” Aku kembali bersuara. Dan inilah problema cinta kami sebenarnya.
“Kak”. Suaranya itu bagai tersekat di kerongkongannya.
“Bila selama ini kita selalu saja bersembunyi karena kau selalu bilang takut pada orang tuamu, sebenarnya kenyataan itu saja tidaklah soal bagiku. Kalau memang orang tuamu tidak bisa menerima konsep pacaran ala jaman ini, yaakh terserahlah. Itu hak mereka. Lagi pula kewajibannya untuk selalu mengawasi anak gadisnya. Aku hanya memandangnya sebagai suatu perjuangan yang mesti kutembus demi melati yang lebih suci dan murni.”
Diam sejenak. Kami hanya saling pandang.
“Yeni pun pernah bilang, dulu. Aku mengerti kalau kedua orang tuamu adalah orang yang taat dengan ajaran agama. Alim, dan….” aku tidak melanjutkan.
“Tapi kenapa,” Yeni memotong,” Kakak  seperti telah berubah?”
Tak kujawab pertanyaan itu. “Dan aku yang selalu berusaha mengunjungimu itu adalah bukti bahwa aku bukan main-main. Hanya sikap ibumu itu, Yen. Memedihkan. Aku sadar, yang kubawa hanyalah cinta tulus. Bukan harta kekayaan bergelimang pulus. Kebetulan aku dilahirkan dalam keluarga miskin. Bukan seperti engkau, Yen. Dulu aku masih percaya, kalau cinta suci melebihi segalanya. Ternyata itu hanya ada dalam teori. Sedang dalam kenyataannya, harta masih tetap lebih berkuasa dari apa saja. Harta ternyata lebih berharga dari manusia itu sendiri.”
“Kak”. Yeni mendekatkan duduknya kembali. Tangannya diletakkannya di atas lututku,”Aku tak ingin mendengar perkataan itu”
“Tapi itulah kenyataannya, Yen” Aku meremas jari lembut itu dengan mesra sekali. Aku menatapnya.”Dan kau tidak bersalah dalam hal ini. Hanya kau juga mesti patuh pada orang yang telah membesarkanmu, Yen”
“Yen nggak mau, kak. Yeni akan ikut kemana saja” Lalu ia merebahkan kepalanya ke dadaku. Aku mengusap rambut panjang itu.
“Tenangkan hatimu, Yen,” bujukku.
“Tapi Yen nggak mau ditinggal.” Yeni separoh merengek dalam pelukanku. Sepertinya Yeni tidak ikhlas jika harus berpisah. Tapi aku juga kian sadar bahwa jurang antara aku dan keluarganya tidak mungkin terjangkau.
“Tapi masih sekolah, kan?” kalimat itu kuharapkan menyadarkan Yeni.
Ia terdiam. Barangkali dia teringat kata-katanya tempo hari. “Ini hanya demi nilai lelakiku di mata orang tuamu, Yen. Aku bukan mengecewakan hatimu.”
“Mungkin kakak telah lupa dengan janjinya.”
“Tidak semudah ucapan itu aku melaupakannya, Yen. Percayalah. Ini demi tugasku belaka. Aku tidak bisa menawarnya.”
“Jadi Kakak tetap pada pendirian dalam surat itu?”
“Kita jangan terlalu menurutkan perasaan, Yen. Semua ini sudah kuperhitungkan.”
Yeni diam.
“Dan satu lagi yang paling berharga bagi kita, Yen. Kiranya kita bisa menerima kenyataan ini sebagai hal yang wajar. Bukankah hidup kita masih panjang? Lagi pula, cita-cita kita mesti kita pertimbangkan.”
“Tapi…tta…tt…tapi…” akhirnya Yeni tidak bisa menahan tangisnya, meski tanpa suara. Aku memeluknya lebih kuat. Sementara Yeni berusaha menahan tangisnya dalam pelukanku.
“Sabarlah, Yen. Suatu waktu mungkin ibumu tidak akan seperti sekarang lagi. Percayalah aku berbuat ini hanya demi ketenangan hatimu jua. Tak lebih. Aku tak tega melihat kamu selalu dikucilkan hanya karena kita berhubungan. Meskipun mutasi ini bukan atas permintaanku tapi mungkin Tuhan sudah mengaturnya begitu. Barangkali untuk ketenangan kita berdua meski harus berpisah.”
“Apa jadinya hubungan yang tidak direstui orang tua. Kamu akan lebih menderita jadinya. Lebih baik kita ambil tindakan seperti ini. Mungkin untuk sementara seperti inilah kita harus menerimanya. Tapi aku percaya, hari ini tidak sama dengan kemarin. Dan esok juga tidak akan sama dengan hari ini dan lusa. Kita akan berusaha hari-hari ke depan lebih baik daripada hari-hari yang ditinggalkan. Percayalah. Jika aku sukses mungkin akan dipindahkan lagi ke kota ini.”
Sepi kembali.
“Yen. Aku mohon doa darimu. Mungkin dua atau tiga hari lagi aku akan meninggalkan kota ini. Aku ingin pula menyumbangkan tenagaku di desa. Kebetulan aku ditempatkan di salah satu Es De Inpres di sana. Aku dimutasi ke sana untuk mengisi kebutuhan guru buat sekolah baru. Aku harap, Yeni mau memahami keadaan kita ini. Kepergianku bukan lari darimu. Tapi kepergianku ini adalah untuk mencari dirimu. Percayalah, suatu saat perpisahan ini akan ada pertemuannya.” Berhenti aku sebentar berkhutbah. Barangkali Yeni sudah terlalu puas. “Dan pertemuan waktu itu akan terasa lebih indah dari semua ini, Yen.”
Dia hanya tengadah menatapku.
“Selamat malam, Yen.” Dengan perlahan kulepaskan Yeni dari pelukanku, “daaaagg…,” aku melambaikan  tangan sambil melangkah meninggalkan tempat itu.
***
Telah dimuat Koran Swadesi,Jakarta, 26.12.1982


*Dari Buku Duka Cinta di Awal Cita (M. Rasyid Nur)