2 Mei 2020

Landasan Berpuasa agar Tak Sia-sia Haus dan Laparnya

Oleh M. Rasyid Nur
KEWAJIBAN berpuasa sudah nyata. Bagi muslim yang mukmin tidak ada keraguan kepadanya. Perintah Allah pada surah Al-Baqaroh 183, itu sudah jelas maksudnya. Bagi seorang mukmin itu diwajibkan berpuasa (Ramadhan) sebagaimana kepada orang beriman sebelum-sebelumnya juga sudah diwajibkan. Itu perintah Allah yang terang dan jelas maknanya.

Selain memahami syarat rukun puasa agar puasa tidak sia-sia (batal) maka seorang shoim/ shoimat pun hendaklah mengerti juga hal-hal penting lainnya untuk dilaksanakan dalam berpuasa. Kebersinggungan puasa dengan situasi dan keadaan lainnya sangatlah mempengaruhi nilai-nilai puasa itu sendiri. Puasa yang bersifat pribadi, semata hubungan antara Kholiq dan makhluq, itu memerlukan pemahaman khusus juga.

Puasa dengan standar tidak makan dan tidak minum saja, mungkin sudah cukup bagi sebagian orang secara umum untuk menyebut dirinya berpuasa. Tapi bagi orang tertentu itu tidak cukup. Ada tuntutan lain, seperti perlunya puasa mata, puasa hidung, puasa kaki, puasa tangan dan puasa anggota tubuh lainnya. Untuk puasa seperti apa? Yaitu anggota tubuh lainnya yang berpuasa dari melakukan hal-hal yang dilarang Kholiq.

Jelasnya begini, tangan tidak lagi memegang dan melakukan perbuatan terlarang; kaki, tak juga membawa kita melangkah ke tempat-tempat maksiat, misalnya. Begitu pula mata, hidung dan lainnya sesuai fungsinya tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan perintah Allah. Tentu puasa pada tingkat ini lebih berat.

Tidak sampai di situ, ternyata. Masih ada satu peringkat puasa yang mungkin tidak semua orang juga mampu menunaikannya. Jika puasa secara umum adalah dalam rangka tidak makan dan tidak minum serta tidak bergaul dengan isteri di siang hari, sementara puasa setingkat di atasnya lagi dengan kemampuan membuat seluruh anggota tubuh --fisik-- lainnya berpuasa dari melakukan perbuatan dilarang Allah, maka puasa yang paling tinggi derajatnya, ini adalah puasa dengan menyertakan hati di dalamnya.

Hati yang bisa bergerak atau berkata di luar yang kita ucapkan di lidah atau di mulut kita, hendaklah dipuasakan juga dari berpikir hal-hal yang dilarang Allah. Hanya berpikir saja. Bukan melakukan atau bukan bertindak secara langsung. Nah, mempuasakan hati bersama anggota tubuh lainnya itulah yang disebut sebagai puasa khusus di atas khusus. Puasa yang hanya mampu jika landasannya kuta pada diri seseorang.

Landasan apa yang diperlukan? Semua itu hanya akan mampu dilaksanakan jika landasannya adalah keikhlasan. Ibadah puaasa sejatinya adalah ibadah yang benar-beanr terukur keabsahannya dari tingkat keikhlasan orang yang berpuasa. Keikhlasan benar-benar akan menjadi penentu, apakah puasa itu akan berstatus sah atau akan batal.

Ciri keikhlasan yang sejalan dengan kejujuran itu akan menentukan betul-tidaknya puasa kita. Jika ibadah lain tidak kelihatan perbedaan ikhlas dan jujur dengan tidak ikhlas dan tidak jujur dalam menunaikannya, maka ibadah puasa akan kelihatan perbedaan itu. Puasa hanya bisa diketahui oleh orang yang berpuasa sendiri dan oleh Allah semata. Tidak akan bisa diketahui orang lain jika tidak kita beritahu sendiri.

Apa beda orang berpuasa dengan orang yang tidak berpuasa tidak akan mudah terlihat dari pisik dan gerak-gerik Dalam berpuasa, seseorang itu tidak bisa diukur (ditentukan) berpuasa atau tidaknya jika dilihat dari pisik dan gerak-geriknya sehari-harinya saja. Beda orang puasa dan tidak puasa memang sulit mendeteksinya.

Mengapa demikian? Karena kaifiyat puasa tidak tetentu seperti solat, atau berhaji, misalnya. Jika orang solat nyata gerak-geriknya maka orang berpuasa sama saja gerak-geriknya dengan orang yang tidak berpuasa. Orang solat itu tahu persis kita sedari berdiri, takbir, ruku, sujud dan seterusnya. Sedangkan orang berpuasa tidak akan diketahui jika dilihat gerak-geriknya sejak imsak hingga berbupa.

Maka akan mudahlah orang yang tidak ikhlas berpuasa untuk tidak berpuasa dengan tetap berpura-pura puasa. Makan dan minum bisa dilakukan secara diam-diam atau bersembunyi. Maka, keikhlasan yang sejalan dengan kejujuran itu sajalah yang akan membuat seseorang benar-beanar berpuasa. Maka, ikhlas adalah landasan puasa yang akan memastikan bahwa puasa kita akan berjalan sesuai ketentuan-Nya.

Orang-orang yang tidak ikhlas berpuasa akan mencari-cari cara untuk merusak puasanya. Jika pun tidak makan dan minum boleh jadi melakukan perbuatan

Dan itu akan merusak puasa. Puasanya jadi sia-sia. Akhirnya hanya akan mendapatkan haus dan lapar saja.***
Juga di www.mrasyidnur.gurusiana.id

SHARE THIS

Author:

M. Rasyid Nur Pensiunan Guru PNS (2017) dan tetap, mengabdi di pendidikan serta organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan

Facebook Comment

0 Comments:

Silakan Beri Komentar