30 Sep 2020

Tanjungbatu, Saya Rindu: Sepenggal Kisah di Masa Lalu (ke-19)


Oleh: Khairul Amri
Bermastautin di Pekanbaru

AKTIVITAS bongkar muat barang dari kapal ke darat, dan begitu sebaliknya, masih berlangsung. 

Matahari pagi mulai menampakkan wajahnya di ufuk timur. Pagi itu, cuaca nampak cerah. Seingat saya, nama pelabuhan di Selatpanjang, waktu itu: Pelabuhan Tanjung Harapan. Namanya sama hingga sekarang. Tapi, waktu itu pelabuhan tersebut masih kayu. Bangunan pelabuhannya pun belum sebagus saat sekarang. 

Barang diturunkan ke daratan. Banyak juga barang yang naik lagi ke kapal. Begitu juga penumpang, ada yang turun di sini. Banyak juga yang naik dari Selatpanjang. Rata2 mereka adalah pedagang lintas antar pulau. Dari Riau daratan, membawa barang dagangan sampai ke Riau kepulauan. 

Matahari semakin meninggi. Sinarnya semakin terang menyinari, dan terasa semakin terik. Jadwal keberangkatan KM. JHONSON sepertinya tak lama lagi. Seluruh barang dan penumpang, pun sudah naik ke kapal.

Pelabuhan semakin sepi. Para ABK nampak bersiap2 untuk melepas tali kapal dari tiang pancang pelabuhan. 

Suara klakson kapal terdengar nyaring. Satu kali, senyap. Selang beberapa waktu, bunyi dua kali. Tak lama setelahnya, bunyi tiga kali. Itu pertanda kapal sudah siap berlayar kembali.

Tali semua sudah dilepas dari tiang pancang, dan kapal pun mulai bergerak dari sandarannnya.

Tujuan kapal, adalah Kepulauan Riau. Negeri yang jauh. Perlu waktu dua hari dua malam, ketika itu, untuk sampai ke sana.

Saya sama sekali tak bisa bercerita tentang negeri itu. Membayangkan seperti apa saja, masih sulit. Apalagi mau bercerita. 

Pelan tapi pasti, kapal menjauh dari pelabuhan Tanjung Harapan. Berselang beberapa menit, pelabuhan dan daratan Selatpanjang pun benar2 hilang dari pandangan. 

Kapal besar ini, bisa lebih laju. Saya merasakan itu. Berbeda dengan gerak kapal dari Pekanbaru ke Selatpanjang.

Sebab, kapal sudah keluar dari muara sungai. Dan, sekarang kapal sudah berada di lautan. Kecepatan kapal pun bisa lebih kencang. 

Siang itu, saya jadi penasaran. Selama ini cuma tahu air sungai yang tawar. Dapat cerita saat belajar di sekolah, air laut itu asin. Tapi, mau bertanya ke Paman, saya masih segan. 

Saya bertanya sendiri dalam hati: apa asin air laut ini seperti garam dapur? Atau jangan2 berbeda asinnya.

Diam2, saya minta izin ke Paman untuk ke toilet. 

Saat minta izin, Paman mengingatkan, "hati2, kita sudah sampai di laut. Angin kencang di luar. Airnya pun asin, bukan tawar seperti air sungai," kata Paman ke saya. 

Saya cuma ngangguk2. Lalu berjalan menuju toilet.

Di toilet, saya lihat air bilasan buat bersih2 ke luar dari selang khusus. Saya sudah menebak: ini pasti air dari luar kapal. Air laut yang dialirkan ke dalam toilet.

Saya pun ingin menjawab rasa penasaran itu. 

Saya ambil gayung, lalu mengisinya dengan air dari selang tadi. Tak begitu banyak, saya coba rasa terlebih dahulu. 

Begitu sampai ke lidah, waduh, asinnya luar biasa. Saat dikecap, saya cuma bisa senyum2 sendiri di dalam toilet. Hmmmm, asinnya air laut ini. 

Itulah pengalaman pertama saya mengecap langsung rasa air laut.

Mana ada laut di kampung saya. Mana pernah saya dibawa jalan2 sama Mak dan Nenek ke laut. Sampai2 rasa air laut pun baru kali itu, saya rasakan langsung. 

Di kampung saya, cuma ada sungai. Kampung saya di Desa Tanjungberulak (sekarang jadi Desa Limau Manis, red), dilalui oleh Sungai Kampar. 

Sebelum ada PLTA Koto Panjang, air sungai Kampar yang melewati kampung kami, sangat deras dan jernih airnya. Ikan pun banyak. Tapi, sejak ada PLTA, kualitas air sungai ini sedikit turun, walau masih tetap deras. 

Meski begitu, PLTA Koto Panjang pun membawa kebaikan bagi kampung saya. Sejak ada PLTA itu pula, kampung saya jadi terang benderang. Listrik sudah hidup siang malam. Dan, kalau biasanya sering banjir, kampung saya tidak lagi banjir seperti tahun2 yang sudah lalu. 

Ya, begitulah efek dari kemajuan zaman. Di satu sisi ada nilai positifnya. Tapi di sisi lain, kadang ada juga efek negatifnya.

Wajar saja kalau saya tak pernah merasakan langsung, apa rasa air laut itu. Karena selama 11 tahun lebih tinggal di kampung, setiap hari hanya ke sungai. Minum pun dari air sumur: air tawar yang benar2 alami.

Makanya, pas mengecap air laut di KM. JHONSON, saya pun dapat ilmu baru lagi: air laut itu memang benar2 asin. Ckckckck, saya senyum2 sendiri, saat ke luar dari toilet. 

Hari semakin siang. Panas terik di luar kapal. Meski begitu, karena angin laut begitu kencang, tidak begitu terasa panas matahari menyengat.

Apalagi pas saya izin sama Paman, untuk duduk di depan kapal. Banyak penumpang yang duduk2 di sana. Saya pun penasaran ingin ikut. Di situ, angin terasa sangat dingin. Hembusan angin laut terasa begitu kencang. Pantas saja banyak penumpang yang senang duduk berlama2 di haluan kapal itu. 

Siang merangkak menuju petang. Matahari mulai condong ke Barat. Cahayanya yang tadi terik, pelan2 mulai redup. 

Kapal terus melaju di lautan. Riak gelombang pun tak begitu kuat. Laut kelihatan tenang, menyambut datangnya senja, menjelang malam. 

Saya sudah berada di kamar bersama Paman. Jelang Ashar, saya sudah ada di kamar. Paman selalu ingatkan, jangan sampai lupa sholat. 

Menjelang Magrib, Paman kembali ingatkan. "Waktu sholat Magrib sebentar lagi. Jangan kemana2, di luar sudah mulai gelap. Kita sholat Magrib dan Isya sekaligus. Nanti di jamak saja," jelas Paman ke saya. 

Mendengar nasihat dan penjelasan itu, saya cuma bisa mengangguk. Mana pernah saya men-jamak sholat. Tapi Paman, karena sudah terbiasa di perjalanan jauh, dia nampaknya sudah ahli betul men-jamak sholat.

Dapat lagi ilmu baru: kalau di perjalanan jauh, kita boleh jamak sholat. Jamak artinya banyak. Atau jika sholat di-jamak, itu artinya, dua waktu sholat digabung ke satu waktu saja. Misal, sholat Zuhur  digabung dengan Ashar. Atau bisa juga sholat Magrib, sekaligus Isya dikerjakan bersamaan. 

Begitulah di kapal. Banyak sekali pelajaran2 dan pengalaman baru yang saya dapatkan. Walau di sekolah agama (Madrasah Ibtidaiyah) ada juga pelajaran itu saya dapatkan. Tapi, saat di kapal, saat berlayar menuju Tanjungbatu, Kundur, Kepulauan Riau, ilmu2 itu saya praktikkan.

Di dalam perjalanan saja, banyak hal dan kenangan yang dirasa. Begitulah Tanjungbatu, negeri rantau yang akan saya tuju. Berkat merantau, banyak pengalaman hidup dirasakan. 

Tanjungbatu, bukanlah kampung lahir saya. Tapi di sini, saya dibesarkan oleh Paman dan keluarganya. 

Tanjungbatu, bukan pula keinginan saya untuk ke sana. Tapi takdir jua yang sudah mengantarkan saya ke sana. 

Saya yakin, hidup ini sudah diatur semua oleh-Nya. Tak ada yang serba kebetulan. Jalan hidup saya sudah digariskan tiga tahun di Tanjungbatu. Di sini saya pernah dibesarkan. Di sini tempat saya menimba ilmu, membuat saya bisa seperti sekarang.

Terima kasih Paman. Terima kasih Tanjungbatu. 

Perjalanan saya ke sana, tak lama lagi, bersama asa dan cita2, di atas kapal besar: saya akan sampai ke Tanjungbatu. **

Pekanbaru, 20092020
Jelang tidur, selesai duduk santai @ruang tamu rumah kami 🤭

SHARE THIS

Author:

M. Rasyid Nur Pensiunan Guru PNS (2017) dan tetap, mengabdi di pendidikan serta organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan

Facebook Comment

0 Comments:

Silakan Beri Komentar