22 Jan 2021

Pernak-pernik Ikut Pantun Mutiara Budaya 2020, “Bang Asnur Menyapa Saya, Ibu”


DARI seribu-satu pengalaman saya menjadi bagian dari buku hebat, antologi pantun, Kumpulan Pantun Mutiara Budaya Indonesia yang digagas oleh Pimpinan Perruas (Perkumpulan Rumah Seni Asnur), Bang Asrizal Nur alias Asnur, salah satunya adalah ketika di awal saya berkenalan lewat WA dengan belyau saya disapanya dengan Ibu. Saya. sebagai seorang lelaki tulen, beristeri dan beranak-cucu, oleh Bang Asnur saya disapanya dengan sapaan Bu, siang itu. Maksudnya, sapaan Ibu. Asyik, kan? Lucu juga, haha. 

Alkisah, bermula ketika saya dimasukkan oleh teman ke Grup WA PERRUAS KEPRI. Saya lupa yang memasukkannya. Tapi saya ingat, itu kawan dari grup MediaGuru yang kebetulan juga bersama-sama di salah satu grup. Awalnya saya tidak merespon apapun kehadiran nama saya di situ. Saya tidak menyatakan keberatan tapi juga belum menyapa teman-teman di dalam grup sebagai tanda saya setuju. Hingga alkhirnya saya mengetahui bahwa grup itu tengah mengelola penulis pantun 1000 Guru Asean. Dan akan mengelola penulis pantun mutiara untuk penulis pantun se-Indonesia. Info yang inilah yang akhirnya memikat hati saya untuk merespon kehadiran nama saya di Grup Perkumpulan Rumah Seni Asnur (Perruas) Kepri itu. Dan saya berminat untuk ikut menulis pantun yang akan dilaksanakan Perruas. 

Singkat kisah, saya mencari nomor orang ‘tertinggi’ di Perruas. Saya beranikan chatting dengan belyau yang memang dialah yang bertanggung jawab dalam kegiatan rencana menulis pantun mutiara budaya ini. Saya tahu beberapa orang teman saya sudah duluan masuk menjadi peserta penulis pantun. Saya juga suka pantun. Saya kirim WA ke Bang Asnur. 

“Assalamu'alaikum ww,  Saya, M. Rasyid Nur ingin ikut belajar pantun, itu dan ingin masuk grup tsb. Bagaimana caranya? Terima kasih. Nak ikut grup pantun…” kata saya dalam chatting itu.

Pengiriman pesan Itu trcatat di pagi hari sekitar pukul 08.40, Sabtu, 11 Juli 2020. Saya menunggu jawaban. Tentu saja saya tak sabar ingin segera mendapat jawaban dari Bang Asnur. Karena hari Sabtu itu waktu di rumah lebih banyak, saya banyak waktu untuk internetan. Sebentar-sebentar saya buka dan melihat WA, apakah sudah ada jawaban dari Bang Asnur. Ternyata siangnya, sekitar pukul setengah dua, persisnya pukul 13.44 (di catatan chatting saya) jawaban Bang Asnur ke WA saya masuk. Alhamdulillah, kata saya dalam hati. Saya baca,

“Walaikumsalam, darimana Bu?

Ha? Saya disapa Ibu? Apakah dia terpengaruh nama belakang saya, Nur itu? Atau karena foto profil saya, seingat saya masih foto berdua ‘kekasih’ saya itu? Entahlah. Yang seperti ini memang sudah lazim kalau berkenalan awal di dunia maya. Di FB, saya juga sering disapa dengan ibu oleh teman baru, haha terima sajalah. Dan saya menjawab WA Bang Asnur.

“Hehe, Pak Asrizal juga ternyata orang yang sedikit bingung dengan nama saya. Atau karena foto profil saya?” Begitu kata saya membalas kembali chattingnya.

“Saya lelaki asli, Pak heh. Pak Rsyid, kalau mau panggil pak. Atau enaknya Bung Rasyid. Saya temannya Fahrunnas atau Saiful Pandu di Pekanbaru. Tapi saya bermastautin di Karimun, Kapri. Salam takzim, Pak Asrizal.” Tambah saya. Saya bawa-bawa nama teman-teman penulis di Pekanbaru yang dulu kebetulan satu angkatan saat kuliah di Universitas Riau. Saya ingat-ingat Bang Asnur pernah saya dengar nama itu, tapi entahlah. Kan sudah lama.

“Oh ok pak,” jawab chatting Bang Asnur waktu itu. Saya tak tahu, apakah merasa geli dan lucu dengan kejadian itu, atau biasa-biasa saja, entahlah. Tapi, inilah pengalaman unik pertama saya memulai ikut bergabung di grup penulis pantun mutiara budaya.

“Pak Rashid tau darimana kegiatan ni?” Tanyanya lagi. Kini dia sudah menyapa saya dengan sapaan, Pak. “Kita sedang merencanakan buat buku kumpulan pantun budaya lengkap dengan video pantun, buku digarap ekslufif full collor, pantun ab ab rima awal dan rima akhir, sampiran mengangkat ptotensi kebudayaan, isi pesan2 kebudayaan bak kata mutiara, dalam rangka itu kita belajar bersama2 untuk menyesuaikan konsep pantunnya.”

Semangat saya langsung naik membaca balasan berupa penjelasan cukup panjang ini. Terbayang oleh saya, nantinya aka nada nama saya di buku ekslusif itu. Weh, sungguh kesempatan terbaik saya sebagai seorang yang memang suka menulis sejak lama, kata saya dalam hati. Saya katakan bahwa saya akan ikut.

Mulailah proses pembelajaran membuat pantun secara online bersama Bang Asnur. Setelah saya menulis enam bait pantun dalam waktu yang lumayan lama malam itu, saya kirimkan di WA. Saya merasa sudah akan lolos karena menurut pengetahun saya sebagai jebolan Universitas Riau (Unri, kini UR) Jurusan Bahasa dan Seni FKIP sekaligus sebagai guru (Bahasa Indonesia) pantun-pantun saya itu sudah memenuhi syarat. Bang Asnur memang mengatakan “Semuanya sudah ok, tinggal Rima awalnya, revisi ya jadi ab ab juga.” Padahal pantun ini sudah saya ervisi beberapa kali sebelum dikirimkan.

Justeru saya kian penasaran. Ternyata saya harus memahami beberapa saran Bang Asnur ini. Dan itu adalah ilmu dan pengalaman baru saya. Saya ulang, lalu kirimkan. Saya ulang dan saya kirimkan lagi. Saya lupa berapa kali saya saling chatting denganya untuk menuntaskan enam bait pantun yang dijanjikan akan masuk ke buku antologi pantun yang penulisnya se-Indonesia. Sungguh sebuah kebanggaaan saya. Seumur saya, apakah saya mesti tetap bersemangat seperti yang muda-muda? Saya justeru terpicu dan terpacu juga untuk bersemangat. Saya ingin pantun saya betul-betul seperti yang diarahkan oleh Master Pantun, Bang Asrizal Nur ini.

Semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Di sini saya ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Bangs Asnur dan semua peserta yang sesungguhnya menjadi penyemangat saya untuk berada di sini. Terima kasih ini, lebih-lebih karena Tim Bang Asnur memberikan satu penghargaan yang justeri saya anggap sebagai ‘utang berat’ bagi saya, ketika saya diberikan apresiasi, penghargaan sebagai Penulis Pantun Terbaik I, di malam anugerah dan peluncuran buku di Hotel View, Batam, 27 Dewember 2020 lalu itu.

Banyak sekali pesan dan pengalaman yang saya dapatkan selama belajar menulis pantun ini. Meskipun saya merasa sudah terbiasa menulis pantun yang kita kenal secara umum selama ini, ternyata belajar menulis pantun di sini ada banyak lagi yang saya dapatkan. Karena pantun sebagai puisi terikat memang diikat oleh beberapa ketentuan. Sebutlah jumlah suku kata dalam tiap baris yang ditentukan antara 8-12 suku kata; diikat pula oleh keharusan bunyi (rima) ab-ab yang tidak hanya di akhir tapi juga di awal, ini tentu tidaklah mudah. 

Jika sekadar bersajak ab-ab di akhir saja, walaupun juga tidak mudah tetap saja akan lebih mudah dari pada menyusun bunyi rima awal dan akhir itu sekaligus. Apalgi isi dan sampirannya harus pula terkait kebudayaan dan tradisi daerah setempat di mana kita bermastautin. Dan ketentuan ini, walaupun bukan syarat dan ikatan sebuah pantun, namun disarankan oleh Bang Asnur karena pantun yang akan dubukukan ini adalah pantun bernilai budaya. Dengan itu pula pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat diibaratkan sebagai satu kata mutiara yang penuh makna. Itulah pantun mutiara budaya Indonesia.

Saya  ingat chat Bang Asnur malam itu, “Kebudayaan daerah dikenalkan di sampiran, isi pesan-pesan kebudayaan secara umum. Bagaimana akibatnya kalau Bangsa ini tak berbudaya, apa manfaat budaya bagi negeri dst.” Saya benar-benar tergugah oleh kalimatnya ini. Dan saya semakin serius menyiapkan pantun saya hingga benar-benar dianggap layak dimuat di buku berjudul Kumpulan Pantun Mutiara Budaya Indonesia yang dicetak luks itu. Jujur saja, beberapa kali koreksi dari Bang Asnur untuk satu bait pantun membuat semangat dan keyakinan saya serasa hampir mencair bagaikan batu es yang terkena sinar panas. Tapi karena sinar panas itu adalah pesan dan pelajaran berharga bagi saya, maka saya mempertahankan semangat dan keyakinan saya itu untuk tetap mengeras. Saya bertahan untuk tetap ikut.

Ketika akhirnya enam bait pantun saya dinyatakan telah lolos begitu bangga dan puasnya rasa hati saya. Saya ulang baca pengumuman yang sebelumnya dikirimkan tentang 'Langkah-langkah Kegiatan Paket Pantun Mutiara Budaya Indonesia' yang berisi lima poin ketentuan itu. Salah satunya (point 5) tentang kontribusi setiap peserta sebesar Rp 600.000 (enam ratus ribu rupiah) itu. Saya pastikan di hati saya bahwa saya siap untuk berkontribusi. Itulah keputusan akhir yang meneruskan langkah saya bersama dengan para pemantun hebat dari seluruh Indonesia.

Catatan lain yang juga menjadi pernak-pernik menarik buat saya adalah ketika prosesi membuat video pantun budaya yang merupakan rangkaian kegiatan ini. Semua peserta diminta mengirimkan video dan suara saat membacakan pantunnya sendiri. Video dan suara ini juga dimintalengkapi dengan foto atau video lain yang akan mendukung video pembacaan pantun kita. Ternyata tidaklah mudah bagi saya melewati proses ini. Tidak lebih mudah juga dari pada membuat pantunnya. Beberapa kali saya harus mengulangi pengambilan gambar dan video itu. Saya tidak tahu, seperti apa perasaan orang yang saya minta membantu saya mengambil gambar dan videonya. Sungguh pekerjaan yang tidak mudah ternyata.

Alhamdulillah, di tangan tim Perruas ternyata semua kesulitan itu dapat berjalan dengan baik penyelesaiannya. Sebagainana kita sudah lihat di chanel you tobe Rumah Seni Asnur, betapa bangganya kita menyaksikan diri kita dan teman-teman kita bergaya membaca pantun. Kerja berat ini sungguh tidaklah mudah. Jika di akhir-akhir menjelang peluncuran buku dan anugerah pantun di Batam, itu kita mendapat berita sakitnya Bang Asnur, tentu saja itu adalah bukti betapa kerja berat ini memakan korban juga bagi penggagasnya. Syukurnya, Bos Perruas sebagai penanggung jawab utama berhasil menjadikan helat ini menajdi begitu spaktakuler pada malam peluncuran dan anugerah itu. Semua kegiatan akhirnya dapat berjalan dengan baik bersama kehadirannya sendiri setelah sehat kembali.

Kehadiran para petinggi Kota Batam seperti Wali Kota, Wakil Wali Kota, Sekdako, Ketua LAM Batam yang juga anggota DPRI Dapil Batam serta beberapa pejabat Batam sebagai tuan rumah bersama pemantun se_Indonesia membuktikan betapa acara malam itu mendapat apresiasi tinggi dari orang-orang penting negeri ini. Bersama mereka di Batam dalam acara meriah malam itu adalah anugerah tersendiri bagi semua pemantun yang dapat hadir malam itu. Adakah lagi acara yang sama di hari nanti?***



SHARE THIS

Author:

M. Rasyid Nur Pensiunan Guru PNS (2017) dan tetap, mengabdi di pendidikan serta organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan

Facebook Comment

0 Comments:

Silakan Beri Komentar