29 Sep 2022

Jangan Percaya, Capres Non Jawa 'Mustahil Tampil'

Sumber Foto: Google

ISU Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) menjelang akan digelarnya Pilpres tahun 2024 nanti semakin kencang hembusannya. Partai-partai politik beraneka cara bereaksi menyambut akan datangnya Pilpres yang akan disejalankan dengan pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD nantinya. Di media kita baca 'pemilihan serentak' itu akan dilaksanakan KPU pada 14 Februari 2024. Masih satu setengah tahun lebih dari sekarang.

Walaupun menurut kita (masyarakat) masih lama namun tidaklah lama bagi Partai Politik (Parpol). Waktu satu tahun setengah akan datangnya Pilpres itu bukanlah waktu yang lama bagi para politisi.  Kasak-kusuk siapa nama Capres dan atau Cawapres yang akan mereka usung itulah isu yang saat ini memenuhi media. Banyak orang berkomentar banyak juga partai yang sibuk bersiap diri untuk membicarakan dan mengatur strateginya. Kelompok-kelompok yang arahnya akan berkoalisi juga sudah kelihatan  melalui media.

Satu isu yang hangat dibicarakan para elit politik dan partainya adalah tentang siapa yang akan dimajukan nantinya sebagai Capres. Karena sudah tidak ada incumbant alias patahana Capres maka otomatis Capresnya adalah sosok baru. Isu-isu Jokowi akan diusung lagi oleh Parpol dengan segala cara sudah tidak akan ada lagi. Jokowi sudah menyatakan itu. Parpol-parpol yang awal-awal kemarin masih membuat isu, kini sudah senyap.

Tentang isu Capres pendatang baru inilah yang kini semakin santer didengungkan berbagai pihak. Nama-nama seperti Anies Baswedan, Prabowo atau Ginanjar hampir setiap hari memenuhi halaman berita sebagai tiga sosok yang katanya memiliki elektabilitas moncer hingga hari ini. Nama-nama lain sesungguhnya masih banyak yang disebut. Tapi tiga nama ini selalu dikatakan memiliki peluang paling besar berbanding sosok selainnya. Tiga teratas ektabilitas, ya mereka bertiga, kata pengamat.

Lalu kini timbul pula isu bahwa tokoh yang bukan bersuku Jawa tidak akan pernah bisa menjadi presiden di Indonesia. Setidak-tidaknya saat ini. Ramailah komentar, pro-kontra terhadap pernyataan ini. Meskipun itu berbau sukuisme, nyatanya diucapkan oleh seorang tokoh yang terkenal. Dia sebegitu yakin kalau Capres Non Jawa itu mustahil akan terpilih. Banyak yang pro tapi banyak pula yang kontra.
Salah satu tulisan yang menyangkal pernyataan itu dimuat di laman hajinews.id pada hari Sabtu (24/09/2022) lalu dalam judul berita, Soal Capres Jawa-Non Jawa, Buta Sejarah Mengakibatkan Rasisme! Sepertinya penulis catatan ini adalah orang yang tidak sependapat dengan pernyataan bahwa orang bukan suku Jawa tidak akan bisa menjadi presiden. 

Tulisan itu dibuka dengan sebuah pertanyaan, kenapa organisasi kaum terpelajar Jawa, Budi Utomo, yang didirikan 20 Mei 1908, hanya bertahan 10 tahun, dan vakum sekitar 17 tahun? Dengan menyitir  penjelasan Sejarawan Akira Nagazumi di dalam buku “Bangkitnya Nasionalisme Indonesia, Budi Utomo 1908-1918” yang menyimpulkan bahwa penyebab Budi Utomo mandek adalah karena kaum muda intelek yang menjadi penggerak organisasi itu tidak menginginkan Budi Utomo terjebak di dalam etno-nasionalisme sempit, yang bersifat kesukuan. Itulah kesimpulannya.

Secara jelas artikel itu mengingatkan bahwa jika mendefinisikan “Bangsa” dan kriteria kepemimpinan berdasarkan etnis atau kesukuan belaka yang dapat membahayakan persatuan maka organisasi atau sebuah lembaga akan goyah dan tidak akan bertahan lama. Kata Akira Nagazumi, para pelajar itu tidak ingin cara pandang sempit begitu ada dalam organisasi. 

Seajarah mencatat, setelah vakum sejak 1918 organisasi ini akhirnya melebur menjadi Parindra (Partai Indonesia Raya) pada 1935. Sebelum melebur pada 1928 Budi Utomo memperluas azas perjuangannya dengan  melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia yang tidak sekadar kesukuan.

Sejarah menjelaskan kepada kita, Parindra yang antara lain digagas dr. Sutomo merupakan hasil fusi organisasi kedaerahan, yang terdiri dari Budi Utomo, Paguyuban Pasundan, Serikat Betawi, Serikat Ambon, Serikat Minahasa, Sumateranen Bond, dan banyak kelompok atau suku lainnya.

Mengutip artikel itu, dikatakan karena itu para tokoh Parindra yang berasal dari berbagai suku dan agama, termasuk pula para tokoh pergerakan kemerdekaan pada umumnya, mengambil peran sebagai public educator dengan membuang jauh sikap rasis, dan memberikan human moral obligation kepada rakyat. Intinya, kebangsaan itu hanya akan lahir dan abadi tanpa membedakan suku dan asal-usul orang. Dengan sikap kebangsaan itu pula akhirnya disepakati dan lahir Sumpah Pemuda, sumpah untuk bersatu dengan menjauhkan pertentangan kesukuan dan kriteria kepemimpinan Jawa-Non Jawa itu. Mustahil, jika saat itu ada sikap Jawa Non Jawa dalam kriteria kepemimpinan mereka akan lahir tekad bersatu yang bernama Sumpah Pemuda.

Jika kini ada lagi yang memunculkan isu Presiden Jawa Non Jawa di tahap masih Capres maka itu berarti cara berpikir kita kembali ke sebelum Sumpah Pemuda 1928 itu. Atau isu ini hanya sekadar untuk memunculkan Capres yang sesuai dengan selera orang tertentu, bukan semata Jawa Non Jawa, boleh jadi ada yang menyimpulkan begitu. Dari sisi politik boleh saja berharap Cepres sesuai selera. Tapi tetap tidak bijak jika masih menyebut kelayakan itu dari sisi suku atau etnis. Oleh karena itu harus dikatakan bahwa Capres Non Jawa tidaklah mustahil untuk tampil. ***

SHARE THIS

Author:

M. Rasyid Nur Pensiunan Guru PNS (2017) dan tetap, mengabdi di pendidikan serta organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan

Facebook Comment

0 Comments:

Silakan Beri Komentar