7 Mei 2020

14 Ramadhan, Teringat Bunda


Oleh: Khairul Amri
GM Pekanbaru Pos

TAK terasa air mata meleleh di pipi. Saat salat Subuh, 14 Ramadhan. Kejadiannya pada Kamis (7/5/2020), ketika mengimami istri tercinta di tempat salat dalam kamar tidur kami.

Jujur. Saya tak pernah seperti ini. Saya mana pernah secengeng ini. Karena selalu setiap akan masuk puasa, kami sekeluarga beserta adik-adik saya, selalu menjenguk/ziarah kubur. Letak kuburan itu di kampung halaman saya: Desa Limau Manis, Airtiris, Kabupaten Kampar.

Di sana ada banyak kuburan keluarga kami. Antara lain, kubur Abah saya Abu Yazid bin Jadi, yang sudah meninggal lama, sejak saya berusia 1,5 tahun. Sekitar tahun 1980 silam. Ada juga kubur nenek-nenek dan datuk kami. Juga ada kubur adik saya Abdul Haris bin Abdul Somad serta kubur sanak keluarga lainnya, baik yang menetap di kampung maupun yang dirantau tetapi dikebumikan di kuburan tersebut.

Tapi, subuh ini, entah mengapa saya benar-benar rindu sama Ibu. Mak saya: Syamsinar binti Nurdin. Padahal, waktu kecil saya lebih banyak dihabiskan dengan nenek dan datuk serta adik-adik Ibu di kampung. Sedangkan Ibunda saya tinggal di Pekanbaru, bersama ayah dari adik-adik saya.

Begitu juga ketika setamat SD, saya juga tidak tinggal bersama Ibu. Karena Paman saya, M Rasyid Nur, adik kedua dari Ibu-lah yang membawa saya tinggal satu rumah di Tanjung Batu, Kundur, Kepulauan Riau. Di Kepri, sekarang sudah jadi provinsi sendiri, saya lewati masa-masa SLTP, memasuki masa remaja.

Bahkan saat harus pulang ke Pekanbaru, melanjutkan SLTA di MAN 1 Pekanbaru, Paman saya sudah menyuruh saya berjanji: boleh ke Pekanbaru, tetapi tak boleh tinggal sama Ibu. Rumah Ibu saya ada di Jalan Pangeran Hidayat Gang Suri Teladan.

Akhirnya, jadilah saya hidup mandiri. Walau kami berada di bubung langit yang sama. Daratan juga sama. Namun, saya dan Ibu tinggal berjauhan. Saya tinggal di Jalan Tongkol, di sebuah masjid  bernama Masjid Al Manar. Di sinilah saya mandiri selama lima tahun, dari tahun 1993 hingga 1998. Namun tetaplah, sesekali saya pasti ke rumah Ibu. Kadang saat saya sakit keras, juga pulang ke rumah Ibu. Dialah yang merawat saya sampai sembuh.

Sampai saya kuliah, pun tak hidup satu atap dengan Ibu. Saya harus menamatkan kuliah di kota Dumai. Dan, itu pula yang membuat saya harus pindah dari Masjid Al Manar ke kampus biru (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unri) di Desa Purnama, Kecamatan Dumai Barat, Kota Dumai.

Artinya, dari sejak lahir hingga saya dewasa bahkan sampai berkeluarga, hanya sedikit saja masa-masa dan umur saya, yang saya lalui bersama Ibu. Ketika berkeluarga, tahun 2002, sempat tinggal di sebelah rumah Ibu. Tapi pada 2003, kami sudah tinggal di rumah sendiri. Jauh pula lagi dari Ibu.

Pada 2013 lalu, Ibunda pun pergi meninggalkan saya, adik-adik dan kami semua untuk selama-lamanya. Itu artinya, sudah tujuh tahun Ibu pergi dan tak pernah kembali lagi. Selama itu pula, saya selalu berdoa, selalu menyampaikan salam dan sesuatu yang baik untuk Ibu tercinta. Sangat singkat rasanya saya bisa bersama Ibu, setelah itu dia pun pergi ke rumah abadinya. 

Subuh ini, di 14 Ramadhan 1441 H, wajah Ibu tiba-tiba hadir di pelupuk mata saya. Saat akan takbir salat Subuh, tiba-tiba wajah itu terbayang. Ibu seperti menatap saya. Ibu seperti berharap sesuatu dari saya. Ibu lama menatap saya, dan sesekali tersenyum. Saya benar- benar tak bisa khusuk membaca bacaan salat Subuh.

Air mata saya tiba-tiba ke luar, meleleh di pipi, di bawah pelupuk mata kiri dan kanan. Istri saya yang jadi makmum, mungkin juga merasakan perbedaan bacaan salat saya kali ini. Tapi karena kami sedang salat, ia tetap mengikuti gerak salat yang saya buat. Bacaan salat saya terbata-bata. Saat tidak melantunkan bacaan salat, saya pun terisak-isak. Begitu pun saat berdoa, wajah Ibu makin kuat membayang.

Akhirnya, air mata itu tumpah juga. Berbalik badan ke sebelah kiri belakang, usai berdoa, saat menyalami dan mencium kening dan pipi istri, barulah saya ucapkan: Ayah rindu sama Ibuk, Nda. Tak bisa saya menahan tangis, karena Ibu tak bisa lagi saya jumpai, tetapi hanya bisa saya ingat dalam setiap doa-doa saya.

Istri memberi saran: baca surat Yasin. Kirimkan untuk Ibuk. Biar Ibuk senang dan tenang di alamnya.

Saya juga tidak mengerti, kenapa saat Ramadhan ini pula wajah Ibu hadir di  pelupuk mata saya. Bukankah saat bulan Ramadhan, pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup? Artinya, tidak ada beban apa-apa yang dirasakan oleh siapapun yang ada di alam kubur sana. Mereka bisa tenang di sana. Ibu bisa dengan tenang melalui hari-harinya di sana.

Tapi, saya berpikir lagi. Mungkin saat Ibu lagi tenang itulah, ketika itu pula dia bisa hadir ke tengah keluarganya. Termasuk saya anaknya. Ibu hadir, dan Ibu serta orang tua kita masuk ke rumah-rumah kita mengharapkan doa dan kiriman bacaan Alquran satu atau dua ayat dari kita semua.

Setelah memikirkan itu, saya pun baru paham. Ibu atau orang tua yang sudah meninggal, tak akan pernah mati, apalagi hilang selama-lamanya dari kita. Mereka tetap ada. Mereka tetap hadir di samping kita. Mendampingi dan mungkin masih ikut mendoakan yang terbaik untuk anak-anaknya. Makanya kita jangan pernah lupa akan hal itu.

Subuh ini, 14 Ramadhan 1441 H. Sudah hampir separuh Ramadhan kita jalani. Hanya tinggal hitungan hari Ramadhan pun pergi meninggalkan kita. Jangan lagi menunggu lama. Perbanyaklah beribadah dan berbuat baik kepadaNya, saat-saat bulan puasa ini. Kecil atau sedikit yang bisa kita buat, ya segitu sajalah kita berbuat. Tapi kalau bisa berbuat banyak, jangan tunggu lagi. Sekaranglah masa itu. Selagi ruh masih menyatu dengan jasad kita. Terlebih saat wabah Covid -19 seperti ini, marilah kita banyak-banyak beramal dan berbuat kebaikan.

Doa anakmu ini akan selalu dikirimkan untuk Ibu tercinta. Di setiap salat dan setiap ada waktu untuk berbuat kebaikan. Selalu dan selalu dititipkan kebaikan itu untuk Ibu tercinta. Semoga diijabahNya, dan sampai hendaknya padamu Ibu.

Bagi kalian dan siapa saja yang masih punya orang tua, yang masih bersama orang tua. Mereka masih sehat dan hidup, rawatlah mereka dengan baik. Penuhilah apapun kebutuhan dan keinginan mereka. Jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan berharga itu. Semoga kita semua diberi panjang umur dan kesehatan, untuk sampai akhir Ramadhan 1441H. Dan, tentunya selalu beroa: ya Allah berkahi ikut kami, dan sampaikanlah kami pada Ramadhan berikutnya. Amin ya Rabbalalamin. **

SHARE THIS

Author:

M. Rasyid Nur Pensiunan Guru PNS (2017) dan tetap, mengabdi di pendidikan serta organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan

Facebook Comment

0 Comments:

Silakan Beri Komentar