20 Mei 2020

Menyesali yang Sudah Terjadi akan Menjadi Kesalahan yang Berualng Lagi


Surat Terbuka: Untuk Dia yang Langkahnya Semakin Goyah
Oleh M. Rasyid Nur
SEDIH. Ya menyedihkan. Setelah ibunda pergi, berpulang ke pangkuan Ilahi, barulah ada yang disadari sambil menyesali. Kini  baru tersadar, tak lagi ada tempat bersandar. Ini benar-benar kesedihan terbesar setelah titik akhir itu menghampiri. Sedih karena keliru memahmi dan melakoni apa yang memang mesti akan terjadi. Hanya ada genangan air mata di pipi.

Kepergian ibunda itu hal biasa, sejatinya. Tiada sesiapa yang dapat menjaga dan menahannya. Hidup mustahil dapat ditahan untuk selamanya. Kematian bukan hanya peristiwa alam. Kematian adalah sunnah dari-Nya yang tak pernah ada diantara manusia yang mampu melawannya. Sesayang apapun manusia peada hidupnya, sekuat apapun cinta manusia kepada hidupnya, tetaplah Dia yang akan menentukan segalanya. Hidup akan akan ditutup dengan kematian.

Sayangnya, dalam waktu begitu lama, itu tersia-sia. Tak hendak memahaminya. Sejak ayah mendahului semua keluarga, belasan tahun sudah, dia terbuai sebagai anak bungsu yang merasa berhak dimanja dan berbuat yang dia suka. Ketika semua abang-kakak sudah berkeluara karena usia sudah tiba, dia tetap merasa berhak dimanja ibunda. Celaknya, uang pensiun ayah yang tidak seberapa sebagai warisan pegawai rendah di instansi Pemerintah dia saja yang merasa berhak berkuasa dan mencairkannya. Sesungguhnya itu adalah warisan penghasilan alakadar yang wajib diberikan ke ibunda.Jika pun ibunda memberinya, itulah pertanda kasih-sayang ibunda kepada anaknya.

Untuk kelakuan yang salah ini ibunda hanya mengurut dada. Menyaksikan si bungsu berpoya-poya dengan uang yang tidak seberapa setiap bulannya, ibunda terus harus mengurut dada. Ibunda malah menyandarkan perut yang tidak jarang kosong kepada beberapa abang-kakak yang terpaksa rela menerima kehadiran ibunda. Sesuap nasi dan seteguk air untuk settitik kehidupan ibunda kini menjadi tanggung jawab bersama abang-kakak. Tapi dia tetap tidak berubah kelakuannya.
Apakah si bungsu salah asuh yang membuat dia malas? Apakah dia benar-benar pemalas? Sepertinya memang kelihatan berkategori pemalas. Malas bekerja. Malas berusaha. Malas hidup bersusah-susah. Malas hampir segalanya, kecuali berpoya-poya dengan uang yang tidak seberapa.

Dia benar-benar tidak menunjukkan bahwa dia sudah lebih dari sekadar dewasa. Usianya sesungguhnya sudah hampir setengah tua. Sudah lebih dari dewasa. Jika harus menyebut angka, mendekati angka 30 tahun. Tapi tetap saja berperilaku anak remaja yang tindakan dan perbuatannya lebih banyak membuat susah.
Kini ibunda sudah tiada. Ibunda pergi. Pergi menyusul ayahanda yang sudah lama tiada. Dia bagaikan kehilangan tumpuan. Abang-kakak tidak mudah akan menopang selamanya untuk dia terus seperti itu. Masing-masing sudah lama bersusah-payah agar bertahan tegak bersama keluarga. Isteri-suami dan anak-anak sendiri-sendiri adalah warga baru yang harus dibela. Tidak akan mudah menerima dia yang tidak juga berubah.
Kini penyesalan terbesar sudah terasa. Penyesalan sudah membelit diri. Uang pensiun yang selama itu dibuat salah kelola, sudah pasti tidak akan ada lagi. Ibunda adalah waris terakhir yang dapat menerima. Anak-anak yang usianya sudah tua mustahil akan mewarisinya. Maka dia kini benar-benar menyesali hidupnya. 
Sudah saatnya berubah. Bukan menyesali apa yang terjadi. Bukalah mata, bukalah telinga, renungkan di hati. Apa yang terjadi sudah terjadi. Hidup bukan untuk menyesali apa yang sudah terjadi. Kejadian itu adalah suannh-Nya. Dia, Kau dan aku hanya bisa dan wajib menerima. Belajar ikhlas menerimanya adalah cara terbaik mengubah semua kesalahan itu.
Tidak harus menyalahkan diri tersebab karena anak bungsu. Menjadi anak bontot sering tersalahpahamkan. Anak bungsu, anak keempat dari adik-beradik yang  kesemuanya sudah berkeluarga bukanlah kejadian tiba-tiba dari Tuhan. Abang-kakak yang sudah mengingatkan agar bekerja, bekerja dan bekerja adalah cara benar yang tidak juga didengar. Berusaha,  mandiri. berusahalah menopang hidup sendiri karena usia sudah lebih dari dewasa juga nasihat yang berulang selama ini. Tapi itu bukanlah untuk disesali mengapa selama ini tidak diikuti.
Segera saja kembali. Jalan salah yang selama ini dituruti akan membawa langkah salah semakin jauh. Dan menyesali apa yang terjadi malah akan menciptakan kesalahn kedua. Padahal kesalahan pertama ini perlu segera diperbaiki. Semoga catatan ini menjadi pelita hati, menyadarkan dirimu.***

SHARE THIS

Author:

M. Rasyid Nur Pensiunan Guru PNS (2017) dan tetap, mengabdi di pendidikan serta organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan

Facebook Comment

0 Comments:

Silakan Beri Komentar