30 Mar 2023

Lapar Saat Puasa adalah Lapar yang Mulia


Catatan M. Rasyid Nur

HARI ini kita sudah memasuki pekan kedua, tepatnya hari ke-8 melaksanakan puasa sejak dimulainya Ramadan 1444 (2023) pada Kamis (23/03/2023) pekan lalu. Semua kita yang dinyatakan ‘sanggup’ atau merasa sanggup dan tidak dalam satu perjalanan yang jauh saat ini kita melaksanakan puasa di siang hari. Puasa Ramadan, bulan nan suci.

Dari selepas sahur –sejak batas imsak-- kita menahan untuk tidak makan dan tidak minum sampai batas berbuka sore harinya, itu waktu yang lama. Itu bukanlah waktu yang singkat untuk menahan rasa lapar. Berkisar antara 12-an jam kalau di negeri kita ini. Lama sekali, bukan? Jika bukan karena perintah Yang Maha Memerintah, tidaklah akan sanggup kita lakukan.

Tidak makan dan tidak minum apapun dalam rentang waktu begitu lama otomatis mendatangkan rasa lapar dan haus bagi kita. Jika saat itu tiba-tiba terbayang anak-anak jalanan, anak-anak miskin tak berayah-beribu atau siapa saja yang karena keadaannya tidak bisa makan dan minum sesuai waktu, maka akan ada rasa hiba kita di kalbu. "Oh, beginilah rasa yang dirasakan oleh fakir-miskin yang tidak ada makanan dan minuman bahkan sekadar ikan asin." Boleh jadi kita akan menghayal begitu.

Jika tiba-tiba perasaan kita ikut nelangsa kemana-mana memikirkan dan membayangkan mereka yang tidak bisa makan dan minum itu, sesungguhnya salah satu hikmah puasa bagi orang berada, itu sudah tercapai. Sesungguhnya merasakan lapar dan haus bagi orang-orang berpunya bagaikan perasaan lapar dan haus yang dirasakan oleh orang tidak berpunya adalah hal penting sebagai hikmah puasa itu sendiri.

Tentu saja tidak cukup sampai di situ. Munculnya rasa hiba, itu diharapkan dapat menimbulkan dan mendatangkan keinginan kita untuk berbagi makanan dan minuman itu kepada mereka yang tidak bisa makan dan minum karena tidak adanya makanan dan minuman. Benar, tidak harus berbentuk makanan dan minuman saja yang dapat diberikan. Bisa pula dalam bentuk uang yang oleh penerimanya bisa dia belanjakan ke makanan dan atau minuman yang dia inginkan. Ini juga sudah benar.

Sampai di sini, kita sudah membuktikan bahwa rezeki yang Allah percayakan kepada kita, itu kita yakini memang tidak semata hanya hak kita. Sekurang-kurangnya 2,5 persen dari rezeki itu kita yakinkan diri kita bahwa itu memang hak orang lain yang dititipkan pada kita. Toh, jumlah seper empat puluh itu bukanlah jumlah yang banyak. Kita yakinkan diri kita bahwa jumlah itu tidaklah secara siginifikan akan berpengaruh terhadap jumlah keseluruhan rezeki yang ada pada penguasaan kita.

Inilah hikmah lapar yang diwajibkan dirasakan oleh semua kita yang di hati kita memang ada imannya. Lapar seperti inilah yang kita sebut sebagai lapar yang mulia. Lapar yang diharapkan memupuk rasa empati, rasa kebersamaan, kasih-sayang, toleransi dan tidak rakus dengan kekayaan sendiri. Indonesia memerlukan terus-menerus memupuk rasa seperti ini. Mari kita tunjukkan bahwa lapar kita memang mulia di mata-Nya.***


SHARE THIS

Author:

M. Rasyid Nur Pensiunan Guru PNS (2017) dan tetap, mengabdi di pendidikan serta organisasi sosial, keagamaan dan kemasyarakatan

Facebook Comment

0 Comments:

Silakan Beri Komentar