Tampilkan postingan dengan label Motivasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Motivasi. Tampilkan semua postingan

4 Apr 2020

Tersebab Corona, Marah Perlukah?

Tersebab Corona, Marah Perlukah?

Oleh M. Rasyid Nur 
"SEBENARNYA sifat pemarah ada pada semua orang. Pengelolaan dan pengungkapannya saja yang berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Kalau tidak bisa marah, itu malah berbahaya dan jelek juga. Bisa masuk kategori dayus, nantinya. Jelek, itu." Tiba-tiba saja suatu pagi itu saya membuat status tentang marah. Saya menulis di halaman akun FB saya begini, "Terkadang marah itu menyelesaikan masalah. Tapi lebih banyak membuat masalah. Betul, tak betul?" 

Ternyata status itu mendapat respon yang luamayan ramai dari teman-teman (berteman dengan) saya sepagi itu. Saya biasa memang menulis status itu pada pagi (subuh) selepas solat itu. Rupanya berbicara perihal marah juga ada penyukanya. Apakah sekarang orang semakin banyak yang pemarah? Atau apakah ada masalah yang saat ini menjadi penyebab orang-orang suka marah? Setiap kita akan mempunyai jawaban berbeda-beda.

Rupanya corona alias covid-19 yang saat ini sangat 'pupuler' (baca: menakutkan) adalah salah satu penyebabnya. Gara-gara corona kini banyak orang jadi pemarah. Di rumah kita, ayah-emak marah jika anak-anak tidak patuh arahan orang tua yang selalu disampaikan dokter, misalnya. Jika anak-anak masih juga ingin ke rumah teman-temannya dengan seribu alasan untuk bersama, maka ayah-emak akan merah. Guru-guru marah ketika para muridnya yang tidak ada di sekolah tersebab corona tapi harus tetap dikelola seperti sebelumnya ada di sekolah. Artinya guru harus tetap menjadi guru yang mendidik, mengajar, melatih, mengarahkan dan seterusnya itu. Dan jika anak-anak murid ini tidak mengikuti arahan guru yang disampaikan via alat komunikasi, maka guru tentu akan marah. Hanya marahnya tentu disesuaikan juga.

Biasanya orang marah dan emosi disebabkan oleh hipertiroidisme yang terjadi karena kelenjar tiroid memproduksi hormon tiroid terlalu banyak. Begitu kata dokter atau di refernsi yang kita baca. Dan boleh jadi juga tersebab meminum obat-obat tertentu seperti obat kolesterol, diabetes, obat tidur atau tersebab depresi. Ya, pokoknya menurut teori yang kita baca ada banyak penyebab orang marah. Apakah kehadiran tamu bernama covid-19 ini menjadi bagian dari salah satu penyebab orang marah? Sepertinya, ya.

Kalau ditarik ke nilai-nilai agama, khususnya dalam Islam, marah itu termasuk sikap yang tidak baik. Artinya marah tidak dianjurkan dalam Islam meskipun pada posisi terntu marah juga bisa diwajibkan atau disunahkan. Konteks marah akan menjadi ukuran, apakah mrah itu dibolehkan atau dilarang.

Marah yang diwajibkan misalnya terhadap orang yang menghina agama, atau orang-orang yang dengan terang-terangan melakukan perbuatan maksiat yang dilarang agama. Agama mengajarkan, ketika kita menyaksikan orang berbuat mungkar maka cegahlah dengan segala daya-upaya kita. Bisa dengan kekuasaan atau kekuatan kita, bisa sekadar menegurnya saja atau sekurang-kurangnya menghindari perbuatan itu dengan kutukan di dalam hati saja. Itulah marah yang diwajibkan dalam agama.

Marah yang dilarang misalnya marah yang melebihi kepatutan. Bahkan marah dalam keadaan emosi yang menyebabkan kita mencaci-maki, menghina dan berkata keji yang menyakitkan hati orang. Marah seperti ini pasti akan mendatangkan dosa kepada si-pemarah. Itu malah bisa haram hukumnya.

Bagaimana sebaiknya kita meredam marah kita? Agama (Islam) mengajarkan beberapa tindakan yang harus atau sebaiknya kita lakukan. Jika seseorang marah dan seolah tidak bisa meredam amarahnya, maka tip berikut silakan dilakukan. Ini dikutip dari beberapa sumber dan penjelasan para ahlinya.

1) Berwudhuk; maksudnya kita mennyucikan diri. Bukan sekadar membersihkan. Dengan berwudhuk seseorang boleh memegang kitab suci (alquran) atau mau solat. Kalau sekadar bersih, belum bisa.
2) Istighfar; maksudnya segera arahkan pikiran dan perasaan kepada Yang Maha Kuasa. Emosi dilepaskan. Marah dilepaskan. Minta ampun atas kekeliruan.
3) Berzikir; ucapkan kalimat-kalimat thoyibah memuji Allah. Ingatkan diri kita adalah makhluk amat kecil berbanding yang menciptakan kita, Allah.
4) Sholat; mendirikan solat adalah pengakuan atas kepatuhan kita kepada-Nya. Segala perintah dilaksanakan, segala larangan ditinggalkan. Dengan solat, ingatan kita akan full hanya kepada-Nya. Insyaallah amarah akan hilang atau berkurang.

Dan masih ada beberapa tindakan yang juga dapat meredam marah kita, sebagaimana banyak disampaikan oleh ustaz-ustaz dan para guru kita. Misalnya, jika masih juga marah, cobalah ambil posisi lebih rendah dari pada sebelumnya. Misalnya duduk. Jika belum mempan, marahnya masih meledak-ledak, cobalah diam tanpa mengoceh lagi. Masih juga? Kita berdoa, meminta kepada-Nya agar kita tidak marah lagi. Berdoa dengan sepenuh hati dan perasaan. Bayangkan, ke siapa kita meminta dan bagaimana etika memintanya. Insyaallah strategi terakhir ini akan meredam marah kita. Semoga.***

31 Mar 2020

Mengubah Imej dengan Mengubah Berita

Mengubah Imej dengan Mengubah Berita

Oleh M. Rasyid Nur


KISAH corona alias covid-19 dengan segala ikutannya telah mengubah banyak hal. Belakangan menjadi salah satu kekhawatiran juga perihal penyampaiannya karena ramainya orang yang ingin memberikan informasi perihal corona. Sampai harus diingatkan untuk tidak lagi membuat informasi-informasi perihal corona yang benar-beanr menciptakan perasaan merana. Intinya, berhentilah memberi informasi corona yang justeru membuat ketakutan saja.

Di media sosial beredar sepucuk surat,  entah hoax entah benar yang menyesalkan betapa info-info corona di negeri kita lebih banyak berita menakuktkannya dari pada berita menyemangatkan. Hoax atau tidak, tapi kandungan isi surat itu bagus juga menjadi perhatian kita. Karena masifnya berita yang membuat takut, sampai ada mahasiswa yang tergerak hatinya menyatakan keluhan seperti isi surat itu. Berita-berita beginilah yang kini sudah diperingatkan. Surat yang beredar di medsos itu sebagiannya berbunyi begini,

Disini (Wuhan) kami sangat cepat untuk bangkit (recovery), karena kami saling menyemangati. Kami tidak memberitakan berita kematian, yang kami beritakan adalah berita kehidupan dan berita kesembuhan. Namun kenapa, netizen di Indonesia lebih memilih memberitakan berita ketakutan? Apakah mereka memang ingin membunuh saudaranya sendiri?
Bisakah mulai saat ini kita hanya memberitakan berita yang penuh harapan, berita yang menenangkan, berita kehidupan?
Bisakah kita membantu tim medis yang sudah sedemikian lelah, untuk berhenti membuat postingan-postingan yang berkonten menakut-nakuti membuat orang khawatir dan panic. Bisakah?
Tahukah bahwa kekhawatiran berlebih akan menurunkan imun tubuh lebih cepat. Jangan buat mereka khawatir, sehingga terus menerus berbondong bondong ke RS dan makin membuat lelah para tim medis kita.```
BISAKAH?

Begitulah bunyi surat yang beredar di Medsos itu. Sejatinya berita atau informasi-informasi yang kita sampaikan perihal corona adalah berita yang dapat menambah semangat pembaca yang sewaktu-waktu bisa saja terinfeksi corona. Berita tentang kematian, banyaknya penderita dan lain sebagainya, mungkin cukup untuk konsumsi orang tertentu saja. Tapi berita-berita kesembuhan, usaha perbaikan dan pengobatan, usaha mengatasi dan yang sejenisnya, silakan diberitakan. 

Untuk membuat berita agar disukai dan diinginkan pembaca, khusus berita corona pada saat corona tengah merajalela, kiranya berita itu mempunyai imej yang baik. Hendaknya berita itu diubah imejnya dari berita menakutkan menjadi berita yang membuat semangat. Dengan itu, masyarakat dapat lebih tegar. Jadi, berita itu seharusnya bukan menakutkan tapi menguatkan.***
Catatan yang sama juga di www.mrasyidnur.gurusiana.id

5 Mar 2020

Kewajiban Mengajak Membaca dan Menulis adalah Kewajiban Kita

Kewajiban Mengajak Membaca dan Menulis adalah Kewajiban Kita


SIAPAKAH yang seharusnya mengajak masyarakat untuk membaca dan atau menulis? Kalau kita guru maka yang mengajak atau menyuruh masyarakat sekolah atau murid-murid itu tentunya kita. Kitalah yang wajib melakukannya, tentunya. Kita tentu ingin masyarakat (sekolah: murid-murid) di sekitar kita menjadi orang yang rajin membaca dan juga menulis.

Untuk mewujudkan niat ini ada guru yang membangun perpustakaan pribadi yang dapat dimanfaatkan oleh orang di sekitar tempat tinggalnya. Membiayai sendiri dengan mengoleksi berbagai buku (bacaan) yang dapat dimanfaatkan masyarakat. Jika ada rezeki yang dapat disihkan dari keperluan pokok, kelebihan itu akan diarahkan untuk membeli dan menambah koleksi buku di perpusatakaan pribadi itu.

Namun ada pula kenyataan yang kontradiksi. Di satu sisi kita cukup sibuk melakukan berbagai kegiatan untuk memotivasi masyarakat di sekitar kita untuk membaca dan atau menulis tapi di sisi lain ternyata keluarga (serumah) sendiri malah tidak suka membaca atau menulis. Lalu, sebenarnya akan dimulai dari mana mewujudkan niat mengajak membaca dan menulis itu?

Tentu saja keadaan seperti itu dapat disebuat sebagai usaha yang gagal. Setelah diri sendiri mampu menjadi pembaca dan penulis, ternyata kita belum mampu mengajak keluarga sendiri yang nota bene paling dekat dengan kita.

Apakah ini karena kegagalan kita tidak mampu mengajak keluarga sendiri untuk membuktikan niat dan usaha kita? Atau itu memang karakter sebagian keluarga kita yang memang tidak suka membaca dan menulis? Lalu dari mana kita akan memulai mengajak orang menulis dan membaca?

Sebagai guru, guru yang suka membaca dan menulis, mengajak orang lain untuk juga menjadi suka membaca dan menulis adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Masalahnya akan dimulai dri mana?
Sederhananya, pertama tentu keluarga sendiri. Walaupun siswa kita adalah orang yang juga terdekat dengan kita, tetap saja keluarga sendiri lebih dulu diutamakan. Inilah kewajiban, bukan penghargaan.
Selanjutnya, ya di sekolah. Siswa kita adalah sasaran utama lainnya yang juga sama pentingnya dengan keluarga. Setelah itu barulah lainnya. Kalau di lingkungan tentu saja orang-orang di sekitar kita, sedangkan di sekolah ada guru dan pegawai lain yang juga wajib diajak untuk menjadi penulis dan pembaca. Bisakah?***.

28 Feb 2020

Pakailah Anugerah Mata dengan Arif: Kita Pasti akan Menjaganya.

Pakailah Anugerah Mata dengan Arif: Kita Pasti akan Menjaganya.


Oleh Monas


SAYA yakin bahwa Anda punya keyakinan yang sama dengan saya. Tentang apa? Tentang mata. Bahwa mata adalah organ yang sangat penting bagi kita. Setuju?

Dengan mata ini kita bisa melihat indahnya dunia ciptaan Allah. Dengan mata ini kita bisa membaca firman Allah. Dengan mata ini, kita bisa   melihat wajah orang-orang yang kita cintai. Dengan mata ini, kita bisa menikmati banyak hal yang bisa kita lihat atas ciptaan dan kebesaran Allah.

Akankah kita biarkan nikmat mata yang begitu luar biasa ini tanpa mensyukurinya, dengan merawat nya, dengan mengobatinya ketika sakit, atau ketika sudah kabur. Tentu tidak bukan? Tak terbayangkan bagi kita jika nikmat mata yang besar manfaatnya ini diambil Allah. Saya percaya bahwa kita akan mempergunakan mata kita dengan arif, bijaksana dan penuh rasa syukur.

Saya begitu terkesan ketika ada informasi, bahwa ada kopi yang bisa menjadi asbab kesembuhan bagi penyakit mata, bisa membuat orang buta akibat diabetes bisa melihat kembali, mata minus, plus, silinder, rabun, katarak, maupun akibat lemak  bisa sehat kembali setelah minum beberapa kotak produk kopi ini, yg mengandung lutein yg berfungsi mensehatkan mata, menyehatkan penyakit lutut, penyakit syaraf, penyakit diabetes, jantung,kanker, dan alzheimer.

Produk yang diolah di Johor Malaysia ini membuat saya penasaran, dan membuat saya langsung membelinya 4 kotak, dengan harapan bisa menjaga kesehatan mata saya dan keluarga saya yang banyak berhubungan dengan radiasi HP. Juga istri yg mengalami minus dan saya mengalami silinder yang mulai  kabur. Wal hasil baru minum dua saset, mata terasa terang, dan ada efek proses kesembuhan yg saya rasakan. 

Karena ada impact yang begitu besar yang saya rasakan, maka sy putuskan mjd stokist dan distributor mudah mudahan mjd amal ibadah utk membantu orang agar mendapatkan kesehatan matanya kembali. Semoga mata yang sehat kembali dijadikan utk byk beribadah membaca Al Qur'an dan mensyukuri nikmat Allah dari nikmat mata yang begitu besar ini.

Bagi teman-teman yang ingin matanya sehat kembali agar bisa mensyukuri nikmat Allah ini, silahkan yang mau mencoba maupun ingin menjadi agen agar bisa membantu sesama, silakan hubungi saya di wa: 081266557203

21 Feb 2020

Mau Jadi Pengikut atau Diikut

Mau Jadi Pengikut atau Diikut

Oleh Monas
MAU menjadi pemimpin (leader/ yang diikut) atau mau menjadi anak buah (follower/ pengikut) pada hakikatnya tergantung kepada kita masing-masing. Pilihannya ada pada kita. Kita juga yang akan mengusahakannya. Namun ciri pemimpin itu bisa terbaca atau terlihat dalam keseharian seseorang. Lihatlah sikap dan mentalnya.

Dimana-mana mental Pemimpin selalu lahir dari orang-orang yang mau mengawali di depan. Tidak di belakang apalagi bersembunyi di kegelapan. Pemimpin akan selalu siap berkurban, memiliki visi jauh ke depan yang tidk dilihat orang bermental pengikut atau follower.

Mental pemimpin selalu berani mengambil keputusan pertama atau di awal, dia berani mengambil keputusan  karena dia memiliki visi, bahwa sesuatu akan besar di tangannya. Dia ingin menjadi bukti dan pelaku kesuksesan bukan menunggu bukti atas kesuksesan orang lain. Yang msh kecil, belum nampak bukti, yang belum ada bukti besar tapi berpotensi besar inilah justru kesempatan emas itu ada bagi orang-orang yang ingin menjadi Pemimpin. Secara hukum, kita akan besar karena menjadi bukti ,bukan menunggu bukti.

Tipe leader atau pemmipin, bagi dia ada ciri sikap. Bagi orang sukses biasanya akan mengatakan, "Oke saya siap,  ini peluang besar bagi saya, saya akan membuktikan dan akan menjadi bukti". Sedangkan tipe followers atau pengekor, selalu mengatakan "Anda saja dulu, nanti klo Anda sukses saya akan ikut".

Sedangkan mental pengikut atau follower justru kebalikannya. Dia tidak berani kalau diajak menjadi perintis, tidak berani berkurban, tdk berani ambil resiko utk harga kesuksesan meskipun hitung hitungannya sangat prospektif. Dia berpikir menunggu ada bukti orang lain, baru dia berpikir mau bergabung, itupun baru berpikir..dia benar-benar mau bergabung ketika orang sdh berbondong bondong mau bergabung...pd saat dia bergabung posisinya sdh tdk diperhitungkan lagi..krn dimana mana kesuksesan adalah milik orang orang pertama yang berani melangkah terdepan.

Tipe follower selalu di gerbong belakang yg tdk diperhitungkan. Jadi klo follower mau jadi leader,ya segera sadari ini...ketika ada penawaran utk mjd terdepan, di saat blm ada orang atau pengikut..pd saat itulah anda masuk, untuk mjd bukti, bukan menunggu bukti.

Anda mau jadi leader atau followers? Anda mau jadi pemimpin atau pengikut?, Anda mau jadi pengendali kesuksesan atau dikendalikan kesuksesan orang lain?, inilah beberapa pertanyaan yang harus kita jawab jika ingin menjadi pemimpin.

Kalau mau sukses segeralah jadi ashabul awwalin. Orang-orang yang tidak terlalu banyak mikir (negatif) dalam menangkap peluang besar inilah tipe entrepreneur, mentalitas sang pemenang.***

20 Jan 2020

Menonton Pebulutangkis Indonesia pada Even Indonesia Masters 2020

Menonton Pebulutangkis Indonesia pada Even Indonesia Masters 2020


Oleh M. Rasyid Nur
SANGAT-sangat mengagumkan. Menegangkan. Mendebarkan juga. Indonesia menunjukkan tajinya pada even Indonesia Masters 2020, ajang adu hebat pemain bulutangkis dunia. Dari lima nomor partai, Indonesia menyabet tiga: ganda putra, ganda putri dan tunggal putra. Malah, di ganda putra, itu beradu hebat sesama 'anak garuda'. Hebat, tentunya.

Buat yang tidak sempat menyaksikan pada pertandingan yang dihelat Ahad (19/01/2020) itu, kebetulan ini ada catatan tersendiri hyang sudah diposting juga di salah satu website (guru) yang penulis kebetulan ikut menjadi member di situ. Judul catatan itu, 'Mencontoteladani Semangat Indonesia Masters 2020 untuk Semangat Guru' yang dimuat di jhari yang sama. Inilah catatan itu.

Ketika dua partai final bulutangkis Indonesia Masters 2020 saling berhadapan antara pemain Indonesia dan Denmark, tidaklah salah jika ada perasaan penonton atau rakyat Indonesia bahwa ini adalah ‘perang’ antar Negara, Indonesia- Denmark. Setidak-tidaknya perang di lapangan karpet bukutangkis itu.
Perang pertama tersaji ketika partai ganda putri maju ke lapangan, dan akan saling berhadapan antara pasangan Greysia Polii/ Apriyani Rahayu (Indonesia) itu dengan pasangan Maiken Fruergaard/ Sara Thygesen (Denmark) pada partai puncak bulutangkis Indonesia Masters 2020 sore Ahad (19/01/2020) itu. Sudah pasti para penonton yang memenuhi stadion di satu sisi merasa bangga sekaligus waswas di sisi lain. Bangga, karena pasangan rangking 8 itu berhasil menembus final. Waswas, karena akan menghadapi pemain Denmark berpostur tinggi yang terkenal smes kerasnya itu.

Perang kedua adalah saat Antoni Sinisuka Ginting akan menghadapi Anders Antonsen di partai final terakhir sore hari yang sama. Psotur tubuh kedua pebulutangkis juga bak bumi dan langit. Ginting kelihatan kecil sekali berbanding Antonsen yang jangkung.
Permainan pada partai ganda putrid ini benar-benar mendebarkan. Harus diselesaikan dalam rubber set alias perpanjangan set. Set pembuka, srikandi Indonesia tidak berkutik. Sepertinya akan dengan mudah diselesaikan oleh si Jangkung Denmark dalam dua set langsung.
Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Setelah berhasil memperpanjang permainan dengan memenangkan set kedua, Greysia-Polii bahkan dengan penuh semangat memenangkan set penentu. Sangat panjang set ketiga ini karena harus melewati angka game normal, deuce atau angka yang sama pada point satu angka terakhir. Dan regu Merah-Putih sukses memenangkan set ini setelah pemain Denmark melakukan kesalahan sendiri.
Begitu pula pada partai final tunggal putra yang dimainkan di jadwal terakhir, final Indonesia Masters sore Ahad itu. Antoni Ginting yang takluk pada set pertama, justeru berbalik unggul dua set berikutnya. Sungguh mendebarkan walaupun akhirnya Merah-Putih berkibar untuk posisi paling atas. Perang Denmark vs Indonesia ini dimenangkan Indonesia.
Sesungguhnya yang ingin kita catat di sini adalah semangat para pemain Indonesia itu. Mereka benar-benar pantang menyerah. Semangat pribadi demi Bangsa sendiri mereka tunjukkan di haddapan para supporter yang terus-menerus memberikan semangat. Setitik pun mereka tidak menampakkan kelelahan, apalagi putus asa dalam permainan yang begitu lama.
Bagi kita, guru Indonesia, bukankah semangat itu jua yang membuat kita tidak pernah putus asa dalam menghadapi bermacam kendala dalam tugas? Dari gaji yang (mungkin) diterima terlambat hingga kenaikan pangkat yang lazimnya juga terlambat, tapi tidak membuat kita datang ke sekolah terlambat. Perangkat pembelajaran yang begitu rumit dan banyak sekali, tidak juga membuat kita berhenti menghadapi anak-didik kita.
Maka teruslah kita bersemangat. Semangat para pemain bulutangkis yang kita saksikan sore itu kiranya menambah atau setidak-tidaknya mempertahankan semangat yang sudah ada di dada kita.***

18 Jan 2020

Jangan Sampai Hanya ‘Mudah Mengucapkan, Susah Melakukan’ Saja*

Jangan Sampai Hanya ‘Mudah Mengucapkan, Susah Melakukan’ Saja*


Oleh M. Rasyid Nur


‘MENDAHULUKAN kepentingan bersama atau orang lain di atas kepentingan diri sendiri atau kelompok’ adalah perbuatan mulia. Begitu pesan yang selalu kita dengar atau bahkan kita sendiri yang menyampaikan kepada orang lain, terutama kepada anak-didik kita. Kita menyampaikan pesan itu kepada murid atau siswa kita sebagai salah satu pendidikan karakter. Apalagi ustaz/ ustazah atau pendakwah akan selalu menyampaikan pesan ini kepada jamaahnya. Dan orang tua (ayah-ibu) pasti pula menyampaikannya kepada anak-anak atau keluarganya di rumah. Pesan penting.

Tapi tahukah kita bahwa pesan itu ternyata enaknya hanya diucapkan tapi belum tentu enak dibuktikan dalam tindakan dan perbuatan? Nyata dan ada, dalam kehidupan yang sering kita saksikan, rupanya lebih banyak orang mudah mengucapkannya saja tapi berat alias pahit untuk melaksanakan. Ringan di lidah tapi begitu berat di tangan atau anggota badan lainnya untuk membuktikan.

Kapan dan dimana saja sejatinya pesan mulia itu mau dan harus mampu dibuktikan? Agama sudah mengajarkan bahwa keikhlasan dan kejujuran, seharusnya cukup untuk mengarahkan kita untuk tidak sekadar mementingkan kepentingan pribadi saja. Kita sudah diajarkan rasa lapar, misalnya saat berpuasa sebagaimana dirasakan oleh para pakir-miskin. Itu sudah seharusnya membuka mata untuk merasakan dalam tindakan apa yang dirasakan mereka yang hidup serba kekurangan itu. Kiranya kita lebih mengutamakan kepentingan dan kebutuhan para pakir-miskin atau siapapun yang membutuhkan atas dasar perasaan yang kita alami dalam menunaikan puasa itu. Itu artinya, kepada kita diajarkan bahwa kepentingan orang lain itu harus diutamakan.

Tapi banyak kejadian yang kelihatan, itu ternyata benar-benar tidak mudah untuk dilaksanakan dalam keseharian. Konsep dan pesan agar lebih mengutamakan orang lain dari pada diri sendiri, itu hanya enak disebut saja. Bahwa beberapa orang berhasil membuktikannya, memang iya. Tapi jumlahnya belum mengalahkan jumlah sebaliknya. Justeru yang lebih banyak itu adalah yang tetap lebih mengutamakan diri sendiri atau golongannya dari pada orang lain. Tersebab itu pulalah maka pendidikan karakter (akhlak) itu sangat penting bagi bangsa kita.

Kasus-kasus hukum yang membuat 'pusing' KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) atau Polisi dan atau Jaksa, misalnya sesungguhnya terjadi tersebab pelakunya tidak mengamalkan konsep ini. Para koruptor itu adalah sosok yang tetap saja mementingkan kepentingan pribadi atau keluarganya dalam tindak-tanduknya. Jika saja masih berpikir tentang kepentingan orang lain atau kelompok yang lebih banyak, dipastikan mereka tidak akan melakukan pelanggaran hukum itu. Peraturan (umum) sudah menentukan pengelolaan keuangan (anggaran) itu bagaimana. Tapi tetap tidak dipatuhi karena tetap mementingkan keinginan sendiri.

Berharap agar agama mampu mengubah sikap individualistis itu, boleh-boleh saja. Tapi apakah akan berhasil sesuai harapan itu, mungkin harus menunggu menjelang batas tertentu. Dan batas itu, hanya kita secara pribadi yang akan tahu. Jika agama ingin ada gunanya dalam kehidupan sehari-hari, maka jangan lagi sikap individualistis yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan keluarga saja, terus-menerus di amalkan. Dan sebagai guru, sandaran harapan itu tidak dapat dihindarkan. Selain mencontohkan, kepada kita juga terbentang kewajiban untuk menyampaikan.

Untuk itu harus ada tekad yang kuat dari kita untuk mengubah kebiasaan jelek itu. Dan meskipun dikatakan bahwa pernyataan ‘mementingkan kepentingan bersama lebih baik dari mementingkan kepentingan pribadi’ itu hanya mudah diucapkan saja, sesungguhnya sebagai guru kita bisa dan harus bisa mempraktikkannya. Bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk anak-didik kita. Walau berat dan pahit terasa untuk dibuat, tetaplah berusaha untuk melakukannya.***

*Artikel yang sama juga di www.mrasyidnur.gurusiana.id