Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

10 Nov 2020

Guru Penggerak Tidak Berhenti Bergerak (Catatan HGN)

Guru Penggerak Tidak Berhenti Bergerak (Catatan HGN)


Oleh M. Rasyid Nur

MEMPERINGATI Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2019 lalu, Mendikbud, Nadiem Makarim berpidato yang mengawali gerak langkah dan gebrakannya di departemen paling gendut itu. Isi pidatonya viral tahun lalu. Dia memunculkan istilah merdeka belajar dan guru penggerak. Sebagai menteri baru di kabinet baru, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, itu tentu saja ucapannya menjadi perhatian orang banyak. 

Mas Mendikbud menyampaikan isi pidatonya itu beberapa hari sebelum 25 November 2019 sebagai Hari Guru Nasional yang juga menjadi peringatan Hari PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) di Tanah Air ini. Media-media menyiarkan jargon baru Mendkbud. Maka kosa kata 'merdeka belajar' dan 'guru penggerak' seolah menyihir orang. Kata-kata itu pun ada di mana-mana hingga saat ini. Kita sangat mudah menemukannya.

Tentu saja konsep merdeka belajar dan guru penggerak, itu menjadi inspirasi, motivasi dan dipuji oleh banyak pihak setelah Mendikbud detail menjelaskan kepada pemburu berita. Sebagai menteri termuda yang sukses di bisnis Go-Jek online, ucapannya selalu ditunggu wartawan. Waktu itu Mas Menteri memberikan penjelasan kepada awak media yang inti dari pidatonya. berfokus pada merdeka belajar dan guru penggerak yang terus viral. 

Sebagai guru, bagian dari unit pendidikan yang menjadi titik fokus dari pidatonya, kita para guru Indonesia merasa tersihir oleh kosa kata merdeka belajar dan guru penggerak yang digaungkannya. Kita tahu yang dia jelaskan tentang merdeka belajar adalah bahwa unit pendidikan (sekolah) yang di dalamnya ada guru-guru dan para siswa hendaklah memiliki kebebasan dalam mengaplikasikan fungsi dan tanggung jawabnya. Kebebasan untuk mengelola pembelajaran bagi guru dan kebebasan dalam menerima pembelajaran bagi siswa. Sementara guru sendiri hendaklah menjadi sosok pemotivasi dalam kebebasan belajar.

Intinya, guru hendaklah memiliki kebebasan untuk berinovasi, berkreasi dan beradaptasi dalam mengelola pembelajaran. Begitu juga bagi peserta didik yang harus memiliki kebebasan untuk belajar dengan mandiri dan kreatif. Di pihak lain, orang tua siswa dan masyarakat juga hendaknya semakin leluasa untuk berkontribusi dalam memajukan pendidikan melalui sekolah di sekitarnya.

Menjelaang HGN (Hari Guru Nasional) Tahun 2020 ini, satu tahun pasca Mas Menteri Nadiem mengumandangkan jargon merdeka belajar dan guru penggerak tentu kita akan bertanya kepada diri kita, sudahkah kita menjadi guru penggerak di satu sisi dan menjadi guru yang mampu memberikan kebebasan belajar kepada siswa di sisi lain. Padahal, situasi yang berkembang sejak covid-19 mendera dunia termasuk Indonesia telah membuat kita kalang-kabut dalam mengelola pembelajaran. Semua yang bertanggung jawab kepada pendidikan telah merasakan betapa program besar yang dikumandangkan Mas Menteri menemukan rintangannya.

Syukurnya, bagi guru-guru yang benar-benar berpredikat Guru Penggerak jauh sebelum Mas Menteri menggaungkannya, tetap bergerak sesuai kemampuan dan kemauan kerasnya. Guru penggerak sesungguhnya tidak akan berhenti bergerak demi kemajuan dan tanggung jawab pendidikan yang dipikul.

Jika Mas Menteri menyatakan bahwa cirri-ciri guru penggerak itu adalah guru yang mengutamakan siswa dari pada diri dan kariernya; guru yang aktif berdiskusi dengan para siswanya; guru yang menganggap siswa sebagai mitra dan sumber belajarnya; guru yang mampu membuat para siswanya rindu kepadanya, percayalah bahwa ada banyak guru yang mampu berkriteria seperti itu sebelum Mas Menteri mengatakan jargon itu.

Guru penggerak benar-benar telah membuktikan tanggung jawab dan integritas dirinya dalam mengemban tugas dan fungsinya sebagai guru. Ketika peraturan mengharuskan guru mengelola pembelajaran dari jarak jauh, terbukti dalam 7-8 bulan terakhir ini para guru mampu tetap melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik. Jika dulu tidak harus menggunakan teknologi canggih, kini semuanya dicoba dan diusahakan demi terkelolanya pembelajaran dengan baik. Jadi, benar bahwa guru penggerak itu tidak akan berhenti bergerak. Tidak akan berhenti berkreasi dan berinovasi dalam memajukan pendidikan.***

Dimuat juga di www.mrasyidnur.gurusiana.id untuk ikut lomba.

3 Nov 2020

Mereka Berulah, Siapa yang Salah

Mereka Berulah, Siapa yang Salah


BEBERAPA kali dishare di medsos, ada anak-anak yang bertingkah sudah melewati batas. Tidak lagi seperti tingkah-laku dan tindakan anak-anak seumur mereka yang mereka lakukan. Misalnya berani merusak tempat umum seperti sekolah.

Saya ingat beberapa waktu lalu, awal Oktober sekitar tanggal 10-an, ada sharing info sekolah yang dirusak. Fasilitas dan beberapa kelengkapan di salah satu SMA Negeri di Kota Tanjungbalai Karimun seperti diobrak-abrik. Informasinya, ketika pihak sekolah --guru, dll-- datang pagi harinya, mereka terkejut menyaksikan pemandangan memilukan. Di ruang musolla dan di beberapa tempat di lingkungan sekolah itu kursi, meja, dan beberapa fasilitas seperti baru saja dirusak. 

Kursi bertumbangan. Pot-pot bunga berserakan tanahnya karena juga bertumbangan tak beraturan. Bayangan kita menyaksikan foto dan video yang beredar, itu pasti perusaknya sangat emosi. Sangatlah mengerikan. Terbayang betapa marahnya orang yang membuat keadaan itu seperti itu. Pasti satu gerombolan orang yang marah. Orang dewasa, tentunya. Dan mesia-media besoknya melaporkan itu.

Kejadian ini sempat viral melalui video yang dishare di medsos waktu itu. Pasti ditonton oleh orang ramai. Semua orang berkomentar 'menyayangkan' atas kejadian itu. Mengapa sekolah yang dirusak. Mengapa fasilitas pendidkan yang akan mendidik mereka atau setidak-tidaknya mendidik orang lain yang dirusak? Berkecamuklah berbagai perasaan di setiap perasaan orang.

Belum lama berselang setelah kejadian, itu muncul lagi informasi yang hampir sama. Salah satu sekolah (kini, SMP Negeri pula) di kota ini juga seperti baru digerayangi orang-orang tidak bertanggung jawab. Orangnya masuk pekarangan sekolah tanpa izin. Karena sekolah ini dilengkapi CCTV, dengan mudah diketahui siapa orang yang masuk ke sekolah dengan 'paksa' itu. 

Herannya ternyata, itu adalah pekerjaan anak-anak usia belia. Bahkan masih anak-anak. Ternyata yang melakukan perbuatan tidak baik, itu adalah anak-anak seusia SD. Paling-paling juga masih setingkat SLTP. Sungguh membuat hati terenyuh. Ini kejadian kedua dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dan tiga yang lalu, saya baru saja mendapat informasi lagi. Kejadian yang mungkin tidak sama, tapi hakiaktnya sama: masuk ke pekarangan sekolah tanpa izin.

Kejadian yang terbaru ini menimpa sekolah swasta. Karena sekolah ini juga melengkapi CCTV di pekarangan dan di dalam ruangannya, dengan mudah juga terdeteksi kejadiannya. Beberapa orang anak seusaia SD (juga) masuk ke pekarangan dan berusaha masuk ke dalam ruangan (kelas dan ruangan lainnya) untuk niat mengambil (baca: mencuri) apa saja yang bisa diambil. Menurut informasinya, anak-anak ini sudah masuk ruang kelas dan mencuri spidol-spidol yang ada di kelas. Juga sudah merusak salah satu ruangan yang menyimpan barang-barang kantin. Grendel pintu sudau dirusak. Tapi segera ketahuan. Kebetulan ada penjaga yang datang.

Dengan kasus seperti itu, bagaimana kita para guru memandangnya? Perbuatan nakal, itu dilakukan oleh anak-anak seumur SD atau SMP. Siapa yang mau disalahkan? Guru? Orang tua? Atau mereka? Haruskah sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka, sementara usianya memang usia orang yang belum bisa bertanggung jawab.

Sebagian malah menyalahkan sekolah. Ada juga yang menimpakan masalahnya ke Pemerintah. Pemerintah yang harus bertanggung jawab, kata salah seorang yang sempat ngobrol bersama. Hadeuh, beginilah jika sudah muncul permasalahan yang berkaitan dengan anak-anak yang masih sekolah. Konon, karena anak-anak sudah begitu lama di 'rumah saja' membuat mereka jenuh dan ingin ke sekolah. Tapi mengapa harus merusak? Artinya argumen ini tidaklah tepat.

Bagaimanapun, kejadian-kejadian seperti ini boleh jadi masih ada. Juga terjadi di tempat lain, barangkali. Jika tidak pun, tiga kejadian ini cukup bagi kita guru untuk prihatin. Apapun alasannya, tidak tepat anak-anak bersikap merusak sekolah. Atau masuk ke pekarangan yang berpagar tanpa izin sekolah. tetap saja itu sebuah kesalahan.

Sudah saatnya untuk melakukan beberapa langkah agar itu tidak terjadi lagi. Selain meningkatkan keamanan sekolah dengan memasang CCTV, penjagaan juga harus ditingkatkan. Diketatkan. Lalu bagi orang tua, jangan menyepelekan anak-anak yang melakukan kenakalan ini, walaupun mereka masih anak-anak. Dan jika mereka sempat dibawa ke Kantor Polisi, semoga itu tidak menjadi pengalaman buruk yang justeru membuat ingin mengulang lagi suatu hari nanti. Mari kita saling berbagi fungsi demi generasi muda ini.***

28 Okt 2020

Peringatan HSP Sebagai Catatan Emas Pemuda di Bulan Pemuda

Peringatan HSP Sebagai Catatan Emas Pemuda di Bulan Pemuda


Catatan M. Rasyid Nur

SETIAP tahun Hari Sumpah Pemuda (HSP) selalu diperingati. Persisnya setiap 28 Oktober seperti hari ini. Menghitung mundur catatan sejarah Pemuda Indonesia sejak peristiwa emas Soempah Pemoeda (Sumpah Pemuda) 28 Oktober 1928 berarti HSP tahun 2020 ini merupakan peringatan ke-92 tahunnya. Sesuai dengan kondisi dan situasinya, setiap tanggal hari ini Bangsa Indonesia memang selalu memperingatinya.

Peringatan hari bersejarah bagi pemuda yang kita kenal dengan Hari Sumpah Pemuda tahun ini memang terasa ada bedanya. Tersebab oleh masih merebaknya covid-19 di Bumi Nusantara maka peringatannya sedikit berbeda berbanding tahun sebelumnya. Dengan  tema ‘Bersatu Dan Bangkit’ pesan yang ingin disampaikan adalah semangat bersatu dengan dibalut harapan akan bangkit. Covid-19 yang telah membuat penurusan drastis di berbagai bidang menyadarkan bangsa perlunya kebangkitan. Dan pemuda sebagai garda terdepan diharapkan mempelopori kebangkitan itu sebagaimana sudah dibuktikan di masa-masa lalu.

Sebagaimana kita ketahui, saat Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, Zainudin Amali me-launching logo Hari Sumpah Pemuda ke-92 Tahun 2020 beberapa waktu lalu, dia mengatakan bahwa bulan Oktober ini disebut juga sebagai Bulan Pemuda. Tujuannya agar para pemuda bangsa meningkatkan motivasi dan inspirasinya, menggelorakan semangat dan daya juangnya dan bersatu untuk bangkit  bersama.

Pesan yang setiap tahun selalu diulangsampaikan oleh para petinggi bangsa kita bagaimana peringatan Hari Sumpah Pemuda mampu memantapkan hati pemuda pada khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya untuk tetap bersatu. Rasa bersatu itulah sesungguhnya yang akan mampu membuat bangsa kita bangkit dengan garda terdepannya para pemuda.

Pesan klasik yang selalu terdengar, dan tahun ini juga diulangingatkan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga saat launching logo itu, “Kita tidak boleh tercerai-berai. Meskipun berbeda-beda, kita harus tetap bersatu.  Semangat persatuan dan kesatuan harus kita pelihara dengan baik. Tanpa persatuan, kita tidak akan bisa bangkit.” Demikian kurang-lebih disampaikannya dan dirilis oleh banyak media sejak beberapa hari yang lalu.

Hari ini, hari yang bersejarah ini sejatinya kita jadikan sebagai momentum terbaik dalam ikhtiar kita untuk mempertahankan dan meningkatkan kebersamaan kita. Dengan kemajemukan yang sangat tinggi dalam Bangsa kita, terasa begitu pentingnya rasa bersatu diantara kita. Logo yang diciptakan untuk peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-92 ini ternyata begitu dalam maknanya, jika kita hayati dengan seksama. Angka 92 yang dibentuk dari dua insan yang saling terhubung menggambarkan adanya  semangat persatuan pemuda Indonesia dan rakyat Indonesia secara keseluruhan untuk menjaga persatuan. Dan di saat Bangsa Indonesia saat ini juga tengah berjuang melawan covid-19, jeaslah betapa pentingnya persatuan ini.

Jika peringatan Hari Sumpah Pemuda diselenggarakan secara nasional di tingkat pusat, atau di provinsi hingga ke kabupaten/ kota se-Indonesia, itu tidak lain tujuannya adalah nilai-nilai dan semangat Sumpah Pemuda itu terus ada di relung hati masyarakat. Jangan pernah rakyat melupakan gerakan pemuda yang begitu hebat pada 28 Oktober 1928 dan di hari dan bulan-bulan yang mengikuti tahun itu.

Bahkan peringatan itu juga dilaksanakan oleh berbagai komponen masyrakat seumpama organisasi kepemudaan, LSM, lembaga pendidikan, badan usaha swasta, BUMN dan elemen lainnya. Intinya, semua kita ingin menjadikan catatan emas para pemuda sebagai penguat langkah dalam menjalankan roda kehidupan bangsa ini.***

Juga di www.mrasyidnur.gurusiana.id

19 Sep 2020

Catatan Webinar XI Media Guru Indonesia (Bag. 5)

Catatan Webinar XI Media Guru Indonesia (Bag. 5)


WEBINAR Media Guru Indonesia (MGI) adalah webinar yang selalu ditunggu warga MGI. Webinar XI yang dilaksanakan pada hari Ahad (13/09/2020) kemarin, itu misalnya selain diikuti langsung oleh 123 orang di ruang zoom juga ada ratusan bahkan ribuan orang lainnya melalui live streming chanel YouTobe MediaGuru. Adalah webinar penting yang dilaksanakan oleh Media Guru seperti webinar-webinar sebelumnya. Sekali lagi, 10 webinar sebelumnya adalah webinar terpenting bagi kita semua, keluarga besar MGI sebagaimana pentingnya webinar XI ini. Dengan temanya yang selalu berbeda-beda setiap kali ada webinar membuat setiap webinar Media Guru menjadi begitu penting.

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa webinar kali ini adalah webinar yang disejalankan dengan lounching buku baru Media Guru berjudul Pejuang Liaterasi. Itu, kita sudah sama-sama tahu juga. Buku antologi dari 123 orang penulis yang dihasilkan bersempena peringatan HUT RI, itu berisi artikel-artikel yang secara khusus membahas perjuangan literasi. Itulah sebabnya judulnya juga berbau perjuangan.

Yang menarik adalah bahwa pada webinar ini, selain kesempatan menyerap ilmu dan informasi penting dari Pak CEO, Muhammad Ihsan --meskipun sekilas—lalu dari Mas Eko, Pimpinan Redaksi Media Guru dan beberapa pejuang literasi lainnya seperti Bu Wiwik (host) dan Bu Sri Subekti (moderator), juga yang utama itu adalah tampilnya empat orang nara sumber yang masing-masing memberikan pencerahan yang begitu penting bagi kita. Tiga orang sudah diulas di halaman ini sebelumnya.

Catatan --kelima-- ini akan menampilkan satu orang lagi dari empat orang narasumber yang tampil itu. Pastinya ini juga sebagai pemotovasi kita dalam memperjuangkan literasi di Negeri kita ini. Kita tahu, keempat nara sumber ini tampil begitu memukau dengan kreasi literasi mereka masing-masing.

Pada tulisan ini saya membuat catatan dari nara sumber hebat yang tampil keempat dari empat orang nara sumber yang ada. Tapi dia adalah orang kedua atau terakhir dari sesi kedua. Siapa dia? Dia adalah Abdurrauf Shaleng, seorang pengawas TK-SD di Kabupaten Shopeng, Sulawesi Selatan. Dia menyampaikan paparannya dengan judul  Sarskodes Strategi Membumikan Literasi. Judulnya saja sudah membuah rasa ingin tahu, khususnya makna ‘sarskodes’ itu apa? Inilah kepanjangannya, Sapu Rata Sekolah Kota dan Sekolah Desa. Makasudnya dalam pembinaannya dia tidak ingin hanya sekolah tertentu –biasanya sekolah di kota—saja yang dibina. Sebagai pengawas sekolah dia ingin semua sekolah itu mendapatkan pembinaan.

Latar belakang pemikiran ini menurut Pak Rauf adalah adanya beberapa permasalahan yang harus diatasi. Setidak-tidaknya Pak Rauf mengemukakan tiga permasalahan sebagai sesuatu yang mendasar untuk pemikiran ini. Ketiga permasalahan itu adalah, 1) Topografi Sekolah; 2) Minat Baca Warga Sekolah yang Rendah; dan 3) Perpustakaan Kurang Difungsikan.  Jadi, jarak dan keadaan sekolah yang jauh membuat pembinaan itu menajdi susah. Hal lainnya, perpustakaan

Ada beberapa langkah dan strategi yang ditempuh Pak Rauf yakni dimulai dari komitmen ke sekolah binaannya. Lalu melangkah ke tim literasi sekolah, sarana prasarana, lalu dibuat jadwal dan target. Terakhir dibuatnya lomba untuk apresiasi dari kegiatannya. Jelasnya begini, pengawas wajib memiliki komitmen awal. Komitmen awal akan membuat rencana akan berhasil.

Lalu dibentuk tim literasi sekolah. Tim ini harus ditetapkan oleh Kepala Sekolah, tentunya. Lalu ada sarana prsarana seperti buku-buku, dll. Dengan adanya jadwal akan dengan mudah memonitor kapan kegiatan literasi akan dilekasanakan. Dari sini akan mudah menetapkan target yang nanatinya akan berlanjut ke rencana apresiasi. Itulah perlunya ada lomba-lomba berkaitan dengan literasi.

Bukan tanpa tantangan, tentunya. Tantangan itu adalah covid-19 ini serta kendala lainnya. Maka perlu, kata Pak Rauf diadakan pendampingan. Ini penting. Pengawas wajib memberikan pendampingan ini kepada sekolah binaan agar kegiatan dapat berjalan maksimal. Selanjutnya dimonitor. Artinya wajib pula ada monitoring.

Hasil Sarskodes ala Pak Rauf adalah, 1) Saran abaca menjadi merata di sekolah binaan; 2) Buku-buku perpusatakaan lebih dimanfaatkan oleh warga sekolah; 3) Peningkatan budaya baca di sekolah binaan; 4) Bertambah jumlah dan variasi bahan bacaan di sekolah binaan; 5) Adanya siswa yang menjadi juara bercerita di tingkat kabupaten. Data ini sebagaimana ditampilkan Pak Rauf melalui slidenya.

Dengan kreasi literasi Sarskodes ala Pak Rauf ini terbukti meningkatnya kegiatan literasi di sekolah-sekolah. Tidak ada lagi dikotomi sekolah kota dengan sekolah desa. Program ini membuat pemerataan yang baik antara semua sekolah, khususnya dalam mengembangan dan pembinaan literasi. Selamat, Pak Abdurrauf. Selamat untuk semua pengawas yang sekaligus ini adalah tantangan juga bagi pengawas di tempat lain. Terima kasih, Pak Rauf.***



18 Sep 2020

Catatan Webinar XI Media Guru Indonesia (Bag. 4)

Catatan Webinar XI Media Guru Indonesia (Bag. 4)

 


Oleh M. Rasyid Nur

WEBINAR Media Guru Indonesia (MGI) adalah webinar yang selalu ditunggu warga MGI. Webinar XI yang dilaksanakan pada hari Ahad (13/09/2020) kemarin, itu misalnya selain diikuti langsung oleh 123 orang di ruang zoom juga ada ratusan bahkan ribuan orang lainnya melalui live streming chanel YouTobe MediaGuru. Adalah webinar penting yang dilaksanakan oleh Media Guru seperti webinar-webinar sebelumnya. Sekali lagi, 10 webinar sebelumnya adalah webinar terpenting bagi kita semua, keluarga besar MGI. Dengan temanya yang selalu berbeda-beda setiap kali ada webinar membuat setiap webinar meniadi begitu penting.

Webinar kali ini adalah webinar yang disejalankan dengan lounching buku baru Media Guru berjudul Pejuang Liaterasi. Itu, kita sudah sama-sama tahu. Buku antologi dari 123 orang penulis yang dihasilkan bersempena peringatan HUT RI, itu berisi artikel yang secara khusus membahas perjuangan literasi. Itulah sebabnya judulnya juga berbau perjuangan.

Yang menarik adalah bahwa pada webinar ini, selain kesempatan menyerap ilmu dan informasi penting dari Pak CEO, Muhammad Ihsan --meskipun sekilas—lalu dari Mas Eko, Pimpinan Redaksi Media Guru dan beberapa pejuang literasi lainnya seperti Bu Wiwik (host) dan Bu Sri Subekti (moderator), juga yang utama itu adalah tampilnya empat orang nara sumber yang masing-masing memberikan pencerahan yang begitu penting bagi kita. Dua orang sudah diulas di halaman ini sebelumnya.

Catatan --keempat-- ini akan menampilkan satu orang lagi dari empat orang narasumber yang tampil itu. Pastinya ini juga sebagai pemotovasi kita dalam memperjuangkan literasi di Bumi Pertiwi bahkan di dunia. Kita tahu, keempat nara sumber ini tampil begitu memukau dengan kreasi literasi mereka.

Pada tulisan ini saya membuat catatan dari nara sumber hebat yang tampil ketiga dari empat orang nara sumber. Tapi dia adalah orang pertama dari sesi kedua yaitu, Fitria Nur Rosyidah, Kepala SMP IT Al-Hanif Cianjur  Dia menyampaikan paparannya dengan judul Menciptakan Taman Syurga Literasi di Pesantren. Nah, lho menciptakan ‘taman syurga’. Tidak sembarang materi yang disampaikannya.

Setelah dipersilakan moderator, Bu Fitria  memulai tentu saja dengan memperkenalkan diri dan tugasnya. Lalu dengan menyatakan betapa besarnya jasa Media Guru bagi dirinya dia membuka dengan salam khas, literasi. Dengan penuh semangat dia menutup perkelanannya dengan ucapan khas, Salam Inspirasi, Salam Litersi, Salam Pejuang Sejati, serunya penuh semangat diiringi menyebutkan sekolah tempat dia mengabdi.

Selanjutnya Bu Fitria menjelaskan latar belakang kreasinya ini. Kata Bu Fitria, menyaksikan kenyataan anak-anak kami yang ditinggal orang tua yang mungkin merantau ke Luar Negeri atau ke Luar Daerah betapa risaunya kami. Kami galau. Dan dalam kenyataan anak-anak juga meninggalkan sekolah (guru) karena covid-19 membuat Bu Fitria bersama teman-temannya berpikir untuk menambah ilmu. “Dalam kegalauan tingkat tinggi dan kesunyian di kompleks karena ditinggal para santri saya memanaatkan waktu ini untuk mencari ilmu,” katanya. Dan atas kehendak Allah, Bu Fitria merasa bersyukur dapat bergabung di Media Guru yang memberinya peluang untuk menambah ilmu itu.

Tampilnya dia di webinar ini adalah bagian keberhasilannya menyerap ilmu melalui Media Guru, katanya. Selanjutnya Bu Fitria memaparkan materi webinarnya yang berjudul Menciptakan Taman Syurga Literasi di Pesantren itu. Para peserta webinar khusyuk menyimak setiap penjelasan dari Kepala Sekolah ini.

Apa saja dan bagaimana strategi Bu Fitria dalam menciptakan ‘taman syurga’ literasinya itu? Pertama, katanya dia menyediakan sarana prasarananya terlebih dahulu. Sebutlah, misalnya menyediakan rak-rak buku, lalu menyediakan buku-bukunya. Terutama buku-buku novel yang terbaru. Dia juga membeli buku-buku untuk anak kandungnya.

Lalu dia memasang dua buah tenda. Satunya untuk tempat memasak (tenda dapur) dan satunya lagi disebut Tenda Peleton yang digunakan untuk berliterasi itu sendiri, seperti membaca, mereviu buku dan lain sebagainya. Terbayang oleh kita bahwa dalam tenda itu begitu akan menyenangkan karena bisa makan, minum dan tentu saja aktifitas literasi itu sendiri. Begitulah keadaan yang diharapkan membuat semua pesrta merasa senang semua anak-anak yang hadir. Satu hal penting yang juga dilaksanakan adalah bahwa di sini adalah program membaca dan menghafal alquran. Tentu saja konotasi membaca ayat-ayat suci adalah pahala yang kelak akan mendapatkan balasan berupa syurga dari Allah.

Ternyata dua tenda ini juga akan menjadi kejutan nantinya ketika para santri kembali ke sekolah. Hal lainnya, Bu Fitria juga membuat banyak program yang berkaitan dengan keliterasian. Dan dengan haru dia mengatakan bahwa Taman Syurga Literasi yang terbangun di pojok pesantrennya itu juga akan mampu menjadi ladang pahala yang kelak di yaumil akhir dapat diterima balasannya. Sungguh membanggakan kita atas apa yang dibuat Bu Fitria ini. Selamat, ya Bu. Semoga kami semua terinspirasi oleh kreasi Ibu. Salam Literasi, Salam Inspirasi, Salam Pejuang Literasi.***

Bisa juga di www.mrasyidnur.gurusiana.id


17 Sep 2020

Catatan Webinar XI Media Guru Indonesia (Bag. 3)

Catatan Webinar XI Media Guru Indonesia (Bag. 3)


Oleh M. Rasyid Nur

WEBINAR XI Media Guru Indonesia yang dilaksanakan pada hari Ahad (13/09/2020) kemarin itu adalah webinar penting yang pernah dilaksanakan oleh Media Guru. Tentu saja 10 webinar sebelumnya adalah webinar terpenting pula bagi kita semua. Temanya memang selalu berbeda-beda setiap kali ada webinar. Makanya terasa selalu penting bagi kita untuk setiap webinar.

Webinar kali ini adalah webinar yang disejalankan dengan lounching buku baru Media Guru berjudul Pejuang Liaterasi. Buku antologi dari 123 orang penulis yang dihasilkan bersempena peringatan HUT RI. Itulah sebabnya judulnya juga berbau perjuangan. Tapi yang menarik juga adalah bahwa pada webinar ini, selain kesempatan menyerap ilmu dan informasi penting dari Pak CEO, Muhammad Ihsan --meskipun sekilas—lalu dari Mas Eko, Pimpinan Redaksi Media Guru dan beberapa pejuang literasi lainnya seperti Bu Wiwik (host) dan Bu Sri Subekti (moderator), juga yang utama itu adalah tampilnya empat orang nara sumber yang masing-masing memberikan pencerahan yang begitu penting bagi kita.

Catatan --ketiga-- ini akan menampilkan satu orang lagi dari empat orang narasumber yang tampil. Pastinya ini sebagai pemotovasi kita dalam memperjuangkan literasi di Bumi Pertiwi bahkan di dunia. Kita tahu, keempat nara sumber ini tampil begitu memukau dengan kreasi literasi mereka. Pada tulisan ini saya membuat catatan dari nara sumber hebat yang tampil kedua yaitu, Ibu Ade Kurniawati, SPd seorang guru BK (Bimbingan dan Konseling) di SMA Negeri 5 Sijunjung, Sumatera Barat.

Guru dan ruangan BK yang konotasinya selalu sebagai guru dan ruangan yang ditakuti atau dijauhi siswa justeru di tangan Bu Ade sebaliknya. Dia membuat ruangannya menjadi ruangan yang disenangi dan diminati oleh para siswa. Dengan judul paparan Merajut Literasi di Ruang BK Bu Ade menetapkan empat latar belakang yang menjadi dasar pemikirannya mengembangkan materi ini, yaitu, 1) Ungkap Isi Hati; 2) Game; 3) Miss Persepsi dan 4) Curhat Lewat Tulisan.

Untuk pemikiran latar belakang , itu kata Bu Ade begini, disebabkan oleh adanya siswa yang tidak bisa mengungkapkan isi hatinya maka kemungkin mereka akan melarikan dirinya ke game. Kemungkinan lainnya adalah miss persepsi yang menyebabkan siswa berbeda dalam memahami atau menafsirkan sesuatu. Menganggap dirinya seperti diasingkan. Maka untuk solusi itu Bu Ade memberikan jalan dengan curhat lewat tulisan berupa tampilan kepustakaan yang dilengkapi dengan buku-buku motivasi dan inspirasi.

 Di sinilah guru BK ini membuktikan langsung dengan perjuangan lierasinya. Setelah menjelaskan bahwa ruang BK adalah ruang yang menyenangkan, anak-anak diajak masuk dan di situ sudah dia sediakan buku-buku. Itulah buku-buku motivasi dan buku inspirasi yang diharapkan mampu mempengaruhi pikiran para siswa. Anak-anak diajaknya mengungkapkan perasaannya melalui tulisan, selain membaca itu sendiri. Inilah awal literasi, membaca dan menulis.

Ada kebebasan lain yang juga diterapkan di sini. Anak-anak bebas memilih buku dan materi yang dia mau untuk dibaca. Tempat membaca juga bisa di dalam ruangan, bisa juga di luar. Anak-anak juga benar-benar diberi keleluasan untuk berpikir, menyampaikan curahan hati (curhat)-nya dan saling memotivasi di antara mereka.

Menurut Ibu Ade, hasil Literasi ala Guru BK ini terbukti, mampu meningkatkan kemampuan literasi siswa, anak-anak mampu menyampaikan gagasan menarik, mampu juga menyampaikan isi buku yang mereka baca, dan yang hebat itu mereka mampu membukukan tulisan mereka. Fakta lain, katanya bahwa dampak dari literasi BK, ini ternyata kemauan membaca para siswa cukup meningkat. “Sekolah saya itu membaca menjadi budaya,” kata Bu Ade dalam paparannya. “Siswa tidak lagi merasa terpaksa membaca,” tambahnya. Nah, ini benar-benar seuatu yang positif di tengah berita rendahnya tingkat minat membaca anak-anak kita.

Ada empat kesimpulan yang disampaikan Bu Ade melalui slidenya, 1) Membaca jadi budaya; 2) Berpikiran positif; 3) Terbitnya buku; dan 4) GLS berkembang. Jika keempat kesimpulan juga ada di sekolah-sekolah lain, di semua sekolah di Tanah Air ini, sungguh literasi itu bukan lagi sesuatu yang aneh. Dan ingat, ini kreasi guru BK. Bagaimana jika guru-guru Mata Pelajaran (MP) lainnya juga mempunyai kreasi dengan cara lainnya lagi, betapa hebatnya budaya literasi bangsa kita. Gerakan Literasi Sekolah,  Gerakan Literasi Keluarga dan Gerakan Literasi Masyarakat yang bahu-membahu akan menajdikan literasi menjadi budaya bangsa.

Terima kasih, Bu Ade atas paparannya yang memberikan penerahan kepada kami semua. Sukses buat Ibu, buat sekolahnya dan buat kita semua. Kita sambut salam bu Ade, “Salam Literasi, Salam Samangek, Salam Rancak Bana,” Untuk pemberi semangat kepada kita semua. Salaamm.***

https://mrasyidnur.gurusiana.id/article/2020/09/catatan-webinar-xi-media-guru-indonesia-bag-3-385236



16 Sep 2020

Catatan Webinar XI Media Guru Indonesia (Bag. 2)

Catatan Webinar XI Media Guru Indonesia (Bag. 2)


Oleh M. Rasyid Nur

MEMANG sayang jika tidak mengikuti Webinar XI Media Guru Indonesia (MGI) yang dihelat pada hari Ahad (13/09/2020) kemarin itu. Selain kesempatan menyerap ilmu dan informasi penting dari Mas Eko, Pimpinan Redaksi Media Guru dan beberapa pejuang literasi lainnya seperti Bu Wiwik (host) dan Bu Sri Subekti (moderator), juga yang utama itu adalah tampilnya empat orang nara sumber yang masing-masing memberikan pencerahan yang begitu penting bagi kita.

Catatan --kedua-- ini akan menampilkan keempat orang tersebut –secara bersambung-- sebagai pemotovasi kita. Mereka tampil begitu memukau dengan kreasi literasi mereka. Wajib untuk diketahui dan harusnya juga diikuti. Dari Pak Supardi, Bu Ade, Pak Rauf hingga Bu Fitria. Secara bergantian dalam sesi mereka tampil sesuai jadwal dari moderator webinar, Ibu Sri. 

Untuk catatan ini, kita mulai saja dari Pak Supardi yang terkenal dengan Pustaka Onthelnya. Apa dan bagaimana Pustaka Onthel kreasi Pak Supardi Harun Arrasyid ini menggiatkan dan memperjuangkan liertasi? Bagaimana Pak Supardi yang mendapat amanah sebagai Kepala Perpustakaan di SMP IT Citra Bangsa berkreasi untuk membuat anak-didiknya tetap menghirup udara literasi di tengah hampir matinya literasi oleh pandemi covid-19. Dia membuat Pustaka Onthel. 

Setelah moderator mempersilakan Pak Supardi untuk menyampaikan paparannya, seperti lazimnya nara sumber, dia memulai dengan menyapa semua peserta. Dari pipmpinan tertinggi MGI, petugas Webinar XI hingga ke semua peserta dia sapa dalam sapaan penghormatannya. Lalu memperkenalkan dirinya dan tentu saja profesinya sebagai guru dan Kepala Perpusatakaan SLTP itu. Kalimat pembukanya saja sudah memberi semangat literasi peserta webinar. 

Selanjutnya dia memulai dengan narasi, betapa beratnya mengelola Perpustakaan di tengah pandemic covid-19 ini. Karena sekolah tidak dihadiri siswa maka otomatis Perpustakaan pun tidak ada pengunjungnya, katanya. “Sebagai Kepala Perpustakaan saya merasa prihatin. Sejak pandemic covid-19 pengunjung Perpustakaan sepi. Program kegiatan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) pun terhenti,” jelasnya dengan menampilkan slide. Karena itulah tim literasi di sekolahnya diajak berdiskusi, bagaiaman menyikapi keadaan ini. Tentu saja dengan minta izin kepada Kepala Sekolah.

Hasil diskusi bersama Tim GLS, itu menghasilkan gagasan membuat Pustaka Onthel. Pustaka dengan menggunakan sepeda ontel berkeliling sambil membawa buku-buku perpustakaan sekolah. Terbayangkan oleh kita bagaimana Pak Supardi berkeliling seperti penjual keliling tapi yang 'dijualnya' adalah buku-buku yang cara membelinya adalah dengan membacanya. Sasarannya tentu saja para siswa atau masyarakat lainnya yang selama pandemi covid ini tidak bisa ke sekolah.

Jadwal disusun. Hari-hari Rabu, Sabtu dan Ahad (Sabtu) adalah hari yang dipilih sebagai hari untuk mengunjungi rumah-rumah siswa yang akan dipinjamkan buku. Rabu dan Sabtu Pustaka Onthel Pak Supardi berkunjung pada sore hari karena paginya anak-anak belajar daring dengan gurunya. Hari Ahad barulah pada sesi paginya. Hebatnya, lokasi singgah Pustaka Keliling ini ternyata tidak hanya ke rumah-rumah siswa tapi juga singgah di musolla, kompleks perumahan.

Bukan tanpa halangan tentunya untuk melaksanakan kreasi Pustaka Onthel ini. Perihal kendala yang ditantangnya tentu banyak, seperti jarak tempuh, cuaca buruk yang terkadang hujan dan koleksi buku yang minim. Untuk mengatasinya, Pak Supardi memberi solusi begini. Jarak tempuh yang jauh dia kunjungi hari Ahad. Waktunya tentu saja lebih panjang. Sedangkan yang jarak dekat dikunjungi pada hari Rabu dan Sabtu. Kalau hujan? Berhenti, tentunya. Sementara untuk kekurangan koleksi, dia berusaha menyampaikan harapan tamabahan koleksi kepada para donator. Alhmdulillah banyak yang memberikan buku-bukunya, katanya. Bahwa dengan bersepeda bisa sehat, itulah salah satu konsepnya mengapa menggunakan sepeda untuk berkeliling membawa buku. 

Satu kelegaan Pak Supardi sekaligus kegembiraan kita adalah bahwa literasi tetap bisa berjalan walaupun tidak harus ke sekolah. Dengan Pustaka Onthel ini malah terjalin juga silaturrahim dan komunikasim sosial lainnya. Peribahasa, "Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampau," benar-benar dibuktikan oleh Pak Supardi.Selamat, Pak Supardi. Selamat Pejuang Literasi. Kami semua pasti terinspirasi.***


6 Sep 2020

Strategi Membangun Budaya Literasi dalam Keluarga

Strategi Membangun Budaya Literasi dalam Keluarga

 


Oleh M. Rasyid Nur

GERAKAN Literasi Nasional lahir lima tahun lalu dengan diawali lahirnya Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Tujuan Permendikbud pengganti Permendikbud No 21 Tahun 2015, itu antara lain untuk menumbuhkembangkan lingkungan kebiasaan baik dan budaya belajar sebagai bentuk pendidikan karakter sejak di keluarga, sekolah dan masyarakat. Latar belakangnya adalah bahwa sekolah seharusnya adalah tempat yang nyaman dan inspiratif bagi siswa, guru dan tenaga kependidikan untuk pendidikan karakter dengan melibatkan Pemerintah dan masyarakat.

Mengutip penjelasan Ahmad Mujib dalam Literasi Keluarga yang dimuat https://matakita.co, 14 Juli 2017, Literasi Keluarga (Family Literacy) merupakan bagian dari literasi secara umum yang landasan filosofinya, orang tua adalah guru pertama bagi anak-anak. Itu berarti keberhasilan gerakan literasi haruslah dimulai dari rumah tangga. Literasi keluargalah yang akan menjadi penentu keberhasilan Gerakan Literasi Sekolah hingga Gerakan Literasi Nasional.

Menurut penelitian keluarga yang sukses dalam gerakan literasi dan memiliki tingkat pendidikan yang mumpuni cenderung menjadi masyarakat yang produktif dengan tingkat ekonomi dan sosial yang baik. Untuk itu perlu strategi perencanaan program literasi keluarga yang mampu melahirkan budaya literasi dalam keluarga itu sendiri.

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang berpengaruh pada pembentukan karakter anak mengingat ikatan emosional dan pertalian darah. Maka pembinaan literasi dan karakter dalam keluarga akan lebih mudah oleh keluarga itu sendiri.

Meskipun era digital telah melahirkan fenomena keluarga yang renggang disebabkan handphone (HP),  (https://news.detik.com/ tanggal 22/06/2019), itu tidak akan mengubah secara signifikan pengaruh keluarga dalam pemberian nilai-nilai kepada keluarga. Lunturnya kebiasaan makan bersama di rumah, hilangnya kebiasaan bersembang duduk bersama, misalnya, itu juga tidak akan menghambat habis kesempatan untuk saling mempengaruhi dalam keluarga.

Untuk itu kemajuan IT mestinya termanfaatkan untuk penguatan kapasitas wawasan dan pendidikan dalam keluarga seperti menciptakan budaya literasi dalam keluarga.  Langkah-langkah menciptakan dan membina budaya literasi keluarga adalah salah satu tujuan yang perlu diwujudkan setiap keluarga.

Peran orangtua dalam budaya literasi tentu sangat menentukan. Ketika orang tua menunjukkan budaya literasi untuk dirinya, otomatis anak dan keluarga akan terbawa. Itulah teladan utama.

Ada beberapa pemikiran yang seharurnya dilakukan setiap keluarga dalam usaha membina dan mengembangakan literasi keluarga, antara lain: Perlunya,

1)    Keluarga Membaca; Sebagai ayah atau ibu di setiap rumah tangga wajib membiasakan membaca. Apakah dengan membuat Perpusatakaan Keluarga atau membuat jadwal rutin (wajib) mengunjungi Perpusatakaan yang sudah ada. Biasanya di setiap daerah (kabupaten/ kecamatan) selalu ada Perpustakaan. Bahkan ada juga Perpustakaan pribadi/ masyarakata yang dikelola secara pribadi oleh seseorang. Silakan kunjungi sebagai usaha budaya baca keluarga.

2)    Keluarga Menulis; Jika budaya membaca dapat diwujudkan, tentu saja sebaiknya ditingkatkan ke budaya menulis sebagai bagian dari budaya literasi dalam keluarga.

3)    Pemberian Hadiah; Penghargaan berupa apa saja sebaiknya diberlakukan dalam usaha menyukseskan program Literasi Keluarga. Hadiah sebaiknya prioritas pemberian buku-buku bacaan sebagai pembinaan lietrasi kelaurga itu. Tidak perlu hadiah uang. Tapi pergi rekreasi ke beberapa tempat untuk berhibur itu lebih baik. Akan lebih baik pula jika tujuan rekreasinya ke perpusatakaan.

4)    Penerapan Disiplin Literasi; Harus dibuat ketentuan dalam menyukseskan program Keluarga Membaca-Menulis. Semacam peraturan. Konsep 1820 yang diterapkan oleh beberapa instansi dalam usaha mengatur jam belajar atau jam membuka HP perlu juga diterapkan. Angka 1820 maksudnya di setiap pukul 18.00 hingga pukul 20.00 ada kesepakatan. Misalnya waktu-waktu membaca, dll. Termasuk disiplin di sini adalah tuntutan melaksanakan peran masing-masing yang sudah ditetapkan sebelumnya dalam program literasi keluarga.

5)    Penyediaan Anggaran Literasi; Sejatinya harus dialokasi dana keluarga untuk pendukung literasi dalam keluarga. Keuangan keluarga perlu disisihkan sesuai kebutuhan untuk mengembangkan budaya literasi dalam keluarga..

Itu hanya sebagian tawaran pemikiran yang dapat dilaksanakan dalam usaha mewujudkan budaya liertasi keluarga. Dari budaya literasi keluarga ini diharapkan akan tumbuh budaya literasi satu daerah untuk menuju Literasi Nasional.***

Diposting juga di www.mrasyidnur.gurusiana.id

23 Jul 2020

Tentang Kasek yang Ingin Mundur, Bupati Harusnya Mencari Tahu, Mengapa

Tentang Kasek yang Ingin Mundur, Bupati Harusnya Mencari Tahu, Mengapa


Oleh: M. Rasyid Nur

POSTINGAN CEO MediaGuru, Muhammad Ihsan di blog Gurusiana.Id dengan judul SOAL DANA BOS, CAPEK DIATUR-ATUR MENDING MUNDUR edisi 17 Juli 2020 yang lalu sontak menghentak perasaan kita (baca: guru, para anggota FB MediaGuru dan member blog Gurusiana.id). Setidak-tidaknya saya ikut terkejut dan terperangah. Bahkan pikiran sehat saya juga ikut meraba-raba, kenapa bisa begitu. Pak Ihsan dalam ilustrasi tulisan itu masih menambah satu kalimat yang ikut memadatkan emosional dengan kalimat CAPEK DIATUR-ATUR MENDING MUNDUR untuk memotivasi para guru –khusus Kasek yang diberitakan—agar tidak takut. Kalau perlu balik melaporkan kalau memang ada aparat yang terbukti memeras sebagaimana diberitakan beberapa media. 

Satu hari sebelum postungan artikel Pak Muhammnad Ihsan, itu memang ramai media memberitakan perihal ramainya Kepala Sekolah yang mengajukan pengunduran diri serentak ke Pemerintah karena merasa tidak nyaman mengurus sekolahnya berkaitan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang diterima. Ada pihak yang dianggap oleh Kepala Sekolah yang mempersoalkan dan itu membuat tidak nyaman. Kejadiannya di Provinsi Riau, tepatnya di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu). 

Sebuah berita dari portal berita Surya.Co.Id, misalnya menurunkan judul berita begini, Kasek SMPN di Indragiri Hulu Ramai-ramai Mengundurkan Diri, Tak Kuat Diperas Aparat Penegak Hukum. Nah, lho. Tak kuat diperas aparat penegak hukum, kata judul berita itu. Tentu saja orang akan geram, termasuk Pak CEO MediaGuru dan kita semua,  tentu. Kita --yang menghuni grup FB Media Guru dan Gurusiana.Id-- ini memang guru. 

Catatan Pak CEO tentu saja menjadi perhatian penghuni rumah besar MediaGuru dengan blog paling ramai penulisnya, Gurusiana.Id, ini karena hampir semua penghuni MediaGuru dan Gurusiana adalah para guru. Jika ada berita yang memberitakan Kasek (Kepala Guru) minta mundur rama-ramai tersebab ketidaknyamanannya mengelola dana BOS karena dirong-rong begitu, tentu saja kita gerah juga. Gerah, kan? Kan? Iya, gerah. 

Maaf, saya mengulas lagi berita duka itu karena memang ada kegerahan tersendiri. Sebagai mantan orang yang pernah di situ (jabatan seperti itu) rasanya berita begini sudah tidak masanya lagi saat ini. Di era demokrasi, era hampir semuanya terbuka sejatinya berita Kasek diperas oleh aparat hukum sangatlah menyedihkan. Bayangkan, ada 64 Kasek yang mundur terkait persoalan pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). 

Salah satu alasan mereka mengundurkan diri, karena merasa terganggu dan tidak nyaman karena sering diperas oleh oknum aparat penegak hukum. Ini kalimat yang saya kutip dari Surya.Co.Id edisi 17 Juli 2020 dengan alamat link di https://surabaya.tribunnews.com/2020.. Pasti perasaan kita tidak nyaman membaca berita itu. 

Saya percaya, jika 64 orang yang menyatakan ingin mundur karena tidak tahan diperlakukan begitu, tidak mungkin semua Kasek itu melakukan kesalahan (lebih pas mungkin kekeliruan) yang menyebabkan aparat hukum sering menjadikan alasan untuk memeras. Selama ini memang menjadi rahasia umum para Kasek yang terdeteksi melakukan pelanggaran akan dijadikan bulan-bulanan. Seharusnya, jika pun ada pelanggaran oleh Kepala Sekolah, mengapa harus diperas? Jika harus dibina, ya itulah yang terbaik. 

Kini, bandul aka nada di tangan bupati setelah Surat Pengunduran Diri Kasek akan segera diteruskan ke Bupati. Harusnya bupati mencari tahu, apakah benar aparat melakukan pemerasan seperti diberitakan? Jika tidak, itu juga harus diklarifikasi. Jika iya, harus tindakan tertentu oleh Pemerintah agar kejadian ini tidak pernah terjadi lagi. ***
diposting juga di: www.mrasyidnur.gurusiana.id dan www.mrasyidnur.blogspot.com

16 Jul 2020

Masjid Ditutup (lagi) Karena Covid-19, Tapi Guru Harus Tetap Aktif

Masjid Ditutup (lagi) Karena Covid-19, Tapi Guru Harus Tetap Aktif


Oleh M. Rasyid Nur
SEBUAH berita dengan judul Masjid di Tanjungpinang Ditutup Sementara Terkait Covid-19 ditulis oleh Republika.co.id Ahad, 12 Juli 2020 pukul 15.19. Media lainnya, Kepri.Antaranews.com menulis pada hari yang sama dan jam yang kurang lebih sama dengan judul Masjid Al-Hikmah Tanjungpinang Ditutup Karena Jamaah Terpapar Covid-19 dengan informasi yang sama, berita ditutupnya Masjid Al-Hikmah, Tanjungpinang disebabkan ditemukannya seorang jamaah (aktif berjamaah) positif covid-19. Kita percaya beberapa media lainnya juga menurunkan berita yang isinya sama.

Tentang penutupan masjid sebagai rumah ibadah karena menjaga tidak merebaknya corona menimpa masyarakat (jamaah) di Tanah Air kita sempat menimbulkan pro kontra beberapa waktu lalu. Sejak Maret hingga Juni banyak daerah yang terpaksa menutup masjid sementara dengan tujuan memutus mata rantai penularan virus covid-19. Di Kepri hampir di semua daerah (Kabupaten/ Kota) oleh Pemerintahnya dianjurkan untuk tidak ke masjid atau musolla selama pandemi covid-19 mewabah. Hanya Kabupaten Natuna dan Kepulauan Anambas yang diizinkan membuka rumah ibadah tapi dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi. Kebijakan yang belum pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, ini kontan menjadi polemik.

Sejak akhir Juli ini, setelah jumlah PDP, ODP atau OTG kian berkurang, beberapa daerah sudah mulai membuka masjid kembali, termasuk Tanjungpinang yang peringkat daerahnya sempat menjadi daerah dengan zona merah bersama Kota Batam. Namun, dengan temuan pasien terbaru, pasien ke-29 kembali kita baca berita yang mengatakan bahwa masjid kembali ditutup. Tentu saja kita tidak berharap semua masjid yang ditutup kembali.

Bagi guru yang sejak tiga hari lalu sudah kembali harus ke sekolah, memulai Tahun Pelajaran (TP) baru, 2020/ 2021 berita itu ikut mengejutkan kita. Pasti berita itu tidak akan dianggap sepi begitu saja. Pro kontra peraturan pemerintah yang mengharuskan anak-didik sebagiannya tetap di rumah walaupun guru harus ke sekolah akan menjadi pemikiran tersendiri terkait dengan temuan kasus orang positif ini.

Pihak-pihak yang belakangan juga berharap anak-anak ke sekolah saja agar PBM berjalan dengan normal, akan berpikir ulang untuk harapan ini. Kemungkinan anak-anak terpapar (entah dari mana) lalu dinyatakan positif sementara mereka sudah bersama-sama di sekolah, tidak mustahil orang tua akan menyalahkan sekolah juga akhirnya. Padahal belum tentu juga nantinya diketahui terpapar dari mana.

Satu hal yang pasti akan kita pegang kuat adalah bahwa pembelajaran di TP baru ini tetap akan dilaksanakan dengan segala kekuatan, kesempatan dan fasilitas yang ada. Akankah menggunakan cara daring atau luring, semuanya adalah tanggung jawab. Dalam kerisauan masih adanya covid-19 para guru akan terus berusaha memberikan yang terbaik untuk pendidikan anak bangsa. Semoga!***
Diposting juga di www.mrasyidnur.gurusiana.id



30 Jun 2020

Riuh-Rendah PPDB 2020

Riuh-Rendah PPDB 2020

Oleh M. Rasyid Nur

SESUNGGUHNYA Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  (Permendikbud) No. 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020/ 2021 Pada TK, SD, SMP, SMA dan SMK dimaksudkan untuk menghilangkan dugaan penyalahgunaan kesempatan bersekolah bagi masyarakat oleh sekolah. Sebelum pengaturan oleh Permendikbud itu ada sinyalemen bahwa setiap tahun pihak sekolah melakukan penyalahgunaan kesempatan belajar. Calon siswa yang layak diterima justeru ditolak sekolah dengan berbagai alasan.

Ketika belum ada jalur-jalur seperti yang diatur Permendikbud itu, sekolah-sekolah favorit dengan cirri jadi rebutan calon siswa hanya melakukan seleksi dengan mengadakan test atau ujian tertentu. Di sinilah sering terjadi penyelewengan kesempatan itu. Namun dengan beberapa jalur yang sudah diatur, diharapkan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan tidak terjadi lagi. Sudah kita ketahui bersama, ada beberapa jalur yang bisa dilalui untuk dapat menjadi siswa baru sesuai Permendikbud tersebut, yakni jalur zonasi, jalur afirmasi, jalur perpindahan tugas orang tua atau wali, dan jalur prestasi. Lebih jelasnya,

1. Jalur Zonasi
Maksudnya penerimaan calon siswa ditetapkan berdasarkan zona domisili peserta didik dan sekolah. Artinya, penerimaan diprioritaskan bagi siswa dengan domisili terdekat.  Ketentuan domisili dibuktikan lewat alamat pada Kartu Keluarga (KK) yang dimiliki calon siswa.

Namun demikian, peserta PPDB yang memilih jalur zonasi juga bisa melakukan pendaftaran jalur afirmasi atau jalur prestasi di luar wilayah zonasi. Sekurang-kurangnya 50 persen kuota diperuntukkan bagi jalur ini.
2. Jalur Afirmasi

Maksudnya diiperuntukkan bagi calon siswa keluarga tidak mampu dari sisi ekonomi. Siswa yang mendaftar lewat jalur ini bisa memilih sekolah di dalam maupun luar wilayah zonasi domisili. Kriterianya adalah dengan menunjukkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang ditetapkan oleh Pemerintah. 

Sekolah dan pemerintah daerah tentu saja harus melakukan verifikasi data keikutsertaan dalam program keluarga tidak mampu, dan melihat kondisi keluarga siswa di lapangan. Jalur ini sekurang-kurangnya 15 persen.


3. Jalur Perpindahan Tugas Orang Tua/ Wali
Sealalu ada siswa yang pindah alamat karena berpindahnya orang tua. Untuk mengakomodasi ini ada jalur ini. Siswa yang mendaftar lewat jalur perpindahan tugas orang tua atau wali harus menyertakan surat penugasan dari instansi, lembaga, kantor atau perusahaan orang tua. Untuk  jalur ini termasuk siswa pindah karena orang tuanya guru. Jalur ini menyiapkan 5 persen calon siswa.

4. Jalur Prestasi
Jalur prestasi dimaksudkan sebagai bentuk apesiasi kepada para calon siswa yang memiliki prestasi tetentu. Tentu saja prestasi akademik. Jalur ini menggunakan nilai ujian sekolah atau ujian nasional, dan hasil perlombaan atau penghargaan di bidang akademik atau non akademik. Akan ada juga ujian tersendiri untuk mengukur dan menentukan yang terbaik dan berhak mengisi jalur ini. 

Ada pengecualian bagi sekolah yang diselenggarakan masyarakat, SMK, sekolah kerjasama, sekolah Indonesia di luar negeri, dan sekolah pendidikan khusus. Untuk sekolah-sekolah ini dapat melaksanakan PPDB di luar ketentuan di Permendikbud itu. Dikecualikan juga sekolah pendidikan layanan khusus, sekolah berasrama, sekolah di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar), dan sekolah di daerah dengan jumlah penduduk terbatas.


Sesungguhnya pengaturan itu sudah bagus adanya. Yang masih membuat kita sedih dan belum juga tenang adalah bukti adanya di beberapa daerah begitu sulitnya calon siswa untuk mendaftar menjadi calon siswa baru. Bahkan di Ibu Kota Negara kita saksikan lewat layar kaca, PPDB tahun ini malah membuat para orang tua melakukan demo segala.

Lalu apa lagi yang salah dengan PPDB ini. Sampai ada juga yang bertanya, ‘Kemana anak Kami Akan Sekolah?’ Tentu saja ini ketakutan yang berlebihan. Hanya sabar sedikit, tentu saja akan ada jalan untuk anak-anak generasi masa depan ini untuk bersekolah. Pasti Pemerintah bertanggung jawab atas keberlangsungan belajar anak-anak kita. Jika ada yang harus kita jelaskan untuk mengurangi atau menghilangkan kegundahan orang tua, mari kita lakukan.***
diposting juga di www.mrasyidnur.gurusiana.id