Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

3 Mar 2021

Ketika Masyarakat Menanti Hujan Turun dan Sekolah Dibuka

Ketika Masyarakat Menanti Hujan Turun dan Sekolah Dibuka


SAAT ini masyarakat Kabupaten Karimun tengah menanti hujan turun. Sudah lebih dua bulan panas matahari membakar bumi Negeri Berazam. Teriknya matahari saat ini begitu terasa menusuk. Walaupun kabupaten yang terdiri dari beberapa pulau ini dikatakan tidak mempunyai musim –hujan atau panas—tapi nyatanya saat ini masayarakat merasakan bagaikan musim kemarau panjang. “Sudah dua bulan lebih hujan tak turun,” kata Mas Sasnto tetangga saya mengomentari hujan yang belum juga turun.

Salah satu media online, RADIOAZAM.ID juga menurunkan berita perihal panasnya Kabupaten Karimun saat ini. Mengutip berita situs itu, katanya musim kemarau yang melanda Kabupaten Karimun dan sekitarnya saat ini diprediksi baru akan mulai berkurang pada April mendatang. Saat itu akan terjadi curah hujan meski dalam intensitas sedang.

Mengutip Kepala Stasiun Meteorologi Raja Haji Abdullah, Raden Eko Sarjono berita Radioazam.Id mengatakan cuaca panas baru akan berkurang pada bulan April mendatang. Itu jika dibandingkan dengan bulan Januari hingga Maret ini maka bulan April nanti akan lebih sejuk. Lebih jauh Pak Eko menjelaskan bahwa Kabupaten Karimun termasuk salah satu wilayah yang intensitas curah hujannya dalam kategori rendah. Prakiraan cuaca memprediksi pada April nanti akan terjadi hujan, setidaknya lebih baik jika dibanding saat ini. Maksudnya berbanding Januari, Februari dan Maret ini.

Kabupaten Karimun dan masyarakatnya, selain tengah berharap dan menanti turunnya hujan, saat ini juga tengah menanti kebijakan Pemerintah Daerah untuk dibukanya kembali sekolah. Sejak corona ada dan Pemerintah menutup sementara sekolah dalam rentang waktu yang sudah hampir satu tahun, kini masyarakat sudah sangat berharap sekolah kembali dibuka. Berkurangnya jumlah pasien covid-19 di Kabupaten Karimun diharapkan mengubah kebijakan Pemda Karimun dari menutup sekolah kepada membuka kembali.

Secara terbatas, di beberapa kecamatan sebenarnya sudah mulai dibuka untuk pembelajaran tatap muka sejak satu bulan terakhir. Sudah ada tujuh kecamatan dari 12 kecamatan yang dibuka sekolah-sekolahnya. Sisanya itu yang kini berharap agar dibuka juga. Menanti datangnya hujan agar kebakaran lahan tidak terus terjadi sama harapannya seperti menanti dibukanya sekolah agar kejenuhan orang tua dan siswa tidak semakin tinggi dan semakin lama lagi. Guru-guru juga sudah sangat rindu kepada anak-anaknya di sekolah.

Jika Kabupaten Karimun dikatakan oleh Kepala Stasiun Meteorologi bahwa sejatinya merupakan wilayah non musim atau tidak memiliki musim namun tetap serasa musim kemarau, begitun juga di sekolah. Sesungguhnya selama covid menutup sekolah bukanlah musim (masa) libur sekolah. Tapi anak-anak atau orang tua boleh jadi menganggap sekolah tengah libur karena anak-anak tetap saja di rumah.

Jadi, inilah saatnya Pemerintah segera mengubah kebijakannya mengingat keadaan covid-19 yang sudah jauh berkurang saat ini. Kabarnya sudah tinggal beberapa orang saja pasien yang masih dirawat. Jika sekolah diizinkan dibuka dengan tetap memakai protokoler kesehatan, tentu saja masyarakat sangat senang.***

 

9 Des 2020

Memaksakan Keteladanan (Berharap Tokoh Memberi Contoh)

Memaksakan Keteladanan (Berharap Tokoh Memberi Contoh)


M. Rasyid Nur

MENURUT satu pendapat dari banyak pendapat yang bersiliweran di media masa (koran, majalah, televisi, dll) tentang mengapa begitu susahnya menjalankan ketentuan dan peraturan oleh masyarakat kita di negerinya sendiri, bisa disebabkan oleh minusnya keteladanan dari para tokoh (pemimpin) dalam menjalankan ketentuan dan peraturan itu sendiri. Berbagai pelanggaran yang setiap saat dapat disaksikan, itu bisa dikarenakan tidak adanya contoh kepatuhan pada peraturan oleh orang-orang yang seharusnya mencontohkannya. Esensinya tiada keteladanan dalam penerapan peraturan menyebabkan orang tidak mematuhi peraturan. Satu kesimpulan, jika dirumuskan. 

Dari pelanggaran yang paling kecil –seumpama membuang sampah sembarangan– hingga pelanggaran super besar –seumpama korupsi, menilep uang rakyat hingga miliaran bahkan triliunan rupiah– terus saja dapat dilihat atau didengar beritanya di media-media kita. Menurut pendapat ini, pelanggaran itu disebabkan karena tidak adanya orang-orang yang pantas untuk dicontoh dalam penerapan peraturan dan ketentuan yang seharusnya dilaksanakan. Sekurang-kiurangnya teramat sulit mencari tokoh teladan dalam mematuhi peraturan. Jakapun ada, sangatlah sedikit sehingga seperti tak ada. Tidak dominan.

Sesungguhnya mereka yang dipandang sebagai tokoh sejatinmya menunjukkan dan meneladankan kepatuhan terhadap peraturan dalam kehidupan sepanjang waktu dan sepanjang hari. Namun apa boleh buat, mereka tidak atau belum mencontohkan bagaimana mematuhi perturan dalam kenyataan sehari-hari. Masyarakat awam yang harusnya mematuhi segala ketentuan yang berlaku dalam kehidupan, bingung atau enggan melakukannya karena tak adanya keteladanan. Maka jadilah begitu sulitnya menerapkan peraturan di tengah-tengah masyarkat sendiri.

Memang harus diakui, sejak bangsa ini berpemimpin sendiri (baca: merdeka) lebih dari 70-an tahun silam, belum juga bangsa ini menjadikan kebiasaan (karakter) ‘patuh pada peraturan’ sebagai tradisi hidup sehari-hari. Belum juga timbul tradisi merasa wajib mematuhi segala peraturan. Justeru yang terdengar di dalam masyarakat adalah pameo, ‘peraturan dibuat untuk dilanggar’ yang mencerminkan betapa bangsa ini lebih cenderung melanggar peraturan dari pada mematuhinya. Disadari atau tidak, karakter yang terbangun justeru karakter melawan ketentuan.

Pameo itu tidaklah isapan jempol saja. Di hampir semua tempat dan semua tingkatan –institusi, komunitas, kelompok, dst—dengan sangat mudah terjadi dan ditemukan pelanggaran peraturan walaupun seharusnya tidak perlu terjadi pelanggaran. Melawan kebenaran dan ketentuan seolah sama enaknya dengan mendapatkan keberuntungan. Pokoknya di hampir semua tempat selalu ditemukan drama pelanggaran peraturan.

Di beberapa institusi sudah tidak asing lagi orang berbicara perihal banyaknya terjadi pelanggaran hukum. Entah menteri, pejabat tinggi dan banyak lagi. Geli, memang jika direnung-renungkan episode pejabat yang melibatkan beberapa pejabat juga dalam pelanggaran hukum. Dulu, ada kisah Gayus, Urip dan beberapa kasus yang melibatkan isntitusi hukum sendiri. Mereka merusak institusi mereka. Belakangan dan sampai hari ini, kita masih terus membaca berita pelanggaran hukum yang melibatkan pejabat yang nota bene mengerti hukum.

Cerita bersambung ala ‘cinta fitri’ tentang mafia hukum di institusi hukum lain juga sering kita baca beritanya. Kisah-kisah oknum jaksa, polisi, menteri dan pejabat lainnya masih juga menghiasi informasi kita. Ini tidak harus terus terjadi jika peraturan dan ketentuan ingin dipatuhi. Harus dimulai dari para tokoh dan pejabat ini. Jika dilaksanakan oleh orang atas maka dengan mudah dilaksanakan di bawah karena adanya teladan.

Tentang adanya pelanggaran oleh para pemegang dan pejabat di beberapa institusi, itu tidak dapat ditutup-tutupi. Di institusi keuangan, milsanya juga ada. Entah pajak yang digelapkan, penyaluran dana yang diselewengkan dan lain sebagainya. Dulu, seorang ekonomom (almarhum) terkenal pernah menyatakan bahwa keuangan Negara ini ditilep penyelenggaran Negara lebih dari 30 %, itu ternyata tidak omongan kosong saja. Pelanggaran juga di terjadi di lapangan hijau alias di bidang olahraga, misalnya.

Di sekolah? Pun tidak kurang pelanggaran hukumnya. Mulai dari guru yang terlambat mengajar, siswa yang tak hendak menghiraukan tata tertib sampai kepada pencurangan ujian, termasuk Ujian Nasional yang nota bene dirancang dan dilaksanakan oleh Pemerintah dengan begitu. Asyiknya, sekolah-sekolah yang berhasil dengan baik mencurangi ujian asalkan tingkat kelulusannya tinggi dan kecurangannya tidak diketahui, maka sekolah itu dianggap baik oleh masyarakat. Ini sebagiannya tentu saja catatan masa lalu. Saat UN masih didewakan. Syukurlah dengan beberapa perubahan Kemdikbud dalam pelaksanaan ujian yang tidak terlalu mendewakan UN itu.

Untuk dan atas segala pelanggaran itu selalu ada alasan pembelaan. Pembelaan yang selalu dikemukakan tentu saja bahwa pelanggaran itu tidaklah dilakukan oleh lembaganya. Itu hanya oleh oknum-oknum saja. Inilah yang selama ini dijadikan alasan betapa susahnya memberantas pelanggaran di sebuah lembaga. Lagi-lagi keteladanan tidak dikedepankan.

Di sinilah perlunya keteladanan. Harus ada yang mencontohkan bahwa peraturan itu memang harus dipatuhi. Jangan lagi dilanggar. Bahwa keteladanan itu berat, memang berat. Tapi kapan bisa maju jika peraturan belum juga bisa dilaksanakan dengan baik. 

Jika bangsa ini tidak bisa mencontoh Jepang atau Jerman yang kesadaran ketaatan akan peraturannya sudah sangat tinggi, kita bisa saja mencontoh Singapura yang untuk mencontohkan keteladanan harus dipaksakan. Jika di Jepang atau Jerman rakyatanya sudah secara naluri (tanpa pakjsa) mematuhi peraturan sementara Singapura kita kenal kepemimpinannya yang keras (boleh disebut diktator) namun untuk kepentingan bersama, kita bisa saja mengadoposinya.

Syukurlah, jika satu-dua tahun belakangan ini sudah ada gebrakan dari beberapa lembaga, seperti KPK untuk memberikan hukuman sekaligus keteladanan dalam penerapan peraturan. Para pegawai KPK menunjukkan bahwa mereka mereka terlebih dahulu mematuhi peraturan. Dan beberapa orang (masih sedikit) yang berani lantang menyebut perlunya penerapan hukum yang benar, semoga suara-suara itu semakin banyak berbunyi. Kelak, keteladanan itu benar-benar mendominasi para pejabat dan tokoh bangsa.***

23 Nov 2020

Rahasia Best Seller Buku Indie (Catatan dari Webinar TNGP 2020)

Rahasia Best Seller Buku Indie (Catatan dari Webinar TNGP 2020)


HARI Ahad (22/11/2020) itu cuaca di Karimun, setidak-tidaknya di sekitar kampung saya, sedikit mendung. Tapi bagi saya dan semua anggota Media Guru Indonesia (MGI) yang sudah bersiap untuk ikut Webinar TNGP (Temu Nasional Guru Penulis) hari ini pasti tidak merasa mendung hatinya. Webinar hari ini adalah Webinar kedua dari rencana lima Webinar TNGP MGI, setelah kemarin Sabtu (21/11/2020) dilaksanakan Webinar pertama. Insyaallah masih ada tiga kali webinar lagi, 25, 28 dan 29 bulan ini. Tema Webinar kedua hari ini adalah “Rahasia Best Seller Buku Indi’.

Tepat pukul 09.00 WIB acara dimulai. Berakhir pada pukul 11.35 sebagaimana saya lihat di jam dinding di kamar saya. Tapi saya tidak masuk ruangan (zoom) karena mengikuti kegiatan ini sambil juga ada kegiatan lain. Yang penting dapat menyimak dengan utuh. Dengan dipandu oleh Ibu Pipit Pudji Astutik, M Pd, MM, seorang Instruktur Nasional Media Guru dan didampingi Mas Syaiful Rahman acara yang sudah ditunggu-tunggu oleh keluarga besar Media Guru berlangsung meriah, riah-riah.

Sebagai Keynote speaker, hari ini tetap Pak CEO MGI, Mohammad Ihsan. dalam sambutannya mengatakan pentingnya guru, selain menulis dan menerbitkan buku, juga harus mampu memasarkannya. Jadikan buku itu menjadi uang yang merupakan hasil investasi ilmu kita. Untuk itu hargai buku teman-teman kita dengan membelinya.

Pak CEO mengatakan begini, “Hargai buku karya guru dengan cara membeli. Jangan punya mental gratisan”. Kita setuju, kita tidak hanya mau dapat buku gratisan. Kita hargai dengan membeli karya teman-teman kita. Tentu saja dengan guru membayar sesama guru, akan muncul saling mengapresiasi produk dan karya intelektual kita. Selain itu akan menjadi kekuatan dan motivasi untuk semakin produktif. Itu sedikit catatan saya tentang sambutan Pak CEO yang sangat memotivasi kita. Dan masih sangat banyak hal yang disampaikannya kepada kita. Silakan ulang simak di chanel YouTobe Media Guru.

Webinar kali ini seperti sudah kita simak di info-info sebelumnya, ini menghadirkan empat orang narasumber yang bukunya bisa menjadi best seller. Mereka sudah pasti mempunyai kiat-kiat atau jurus tersendiri bagaimana bukunya bisa laku dan menghasilkan fulus. Keempat narsum hari ini adalah, 1) Ibu Yunita Kwartarani, M.Pd Guru SDI Al Ikhlas Jakarta Selatan; 2) Ibu Lilik Fatkhu Diniyah, Guru MI Al Iman Kota Magelang; 3) Drs. Seh Muli Pinem, M.Pd. Kasi Kurikulum SMP Dinas Pendidikan Kab. Deli Serdang; 4) Suhud Rois, Guru Sekolah Peradaban Insan Mulia, Cimahi. Kita akan ulang catat paparan mereka berikut.

Narsum pertama, Ibu Yunita Kwartarani, M.Pd Guru SDI Al Ikhlas Jakarta Selatan. Dalam paparannya, Bu Yunita menjelaskan bahwa bukunya menjadi best seller, itu bermula dari pengalaman kesehariannya dari curhatan-curhatan dengan teman-teman dan siswa-siswinya. Para teman dan anak-didik inilah yang banyak membaca bukunya. Itu salah satunya.

Kiat lain, kata Bu Yunita, kita harus menulis cerita yang bisa membuat orang bangkit dari keterpurukannya, misalnya. Mataeri-materi yang diperlukan orang, pasti saja akan dicari oleh orang. Dan buku kita akan laku keras, katanya. Dan kiat lain yang juga disampaikan Bu Yunita adalah dengan  mempromosikan melalui media sosial. Di Media Guru juga ada medsos kita (FB MGI) yang anggotanya hampir 80 ribu. Itu pasar potensial, tentunya.

Narsum kedua adalah Ibu Lilik Fatkhu Diniyah yang sehari-hari sebagai Guru MI Al Iman Kota Magelang. Menurut Bu Lilik, untuk penulis pemula hendaknya luruskan niat terlebih dulu. Katanya, "Niatkan menulis dengan tulus untuk berbagi, Kalau kita niat tulus ihlas insyaallah akan memberikan jalan kemudahan bagi kita." Bu Lilik juga mengatakan bahwa isi buku itu hendaklah yang menginspirasi. Dan yang paling tepat untuk pemula yaitu menulis memoar. Mengapa kok memoar?. Karena orang akan lebih tertarik dan penasaran. Memoar juga tidak selalu membutuhkan referensi, sebagaimana buku ilmiah lainnya. Begitu katanya.

Ada beberapa pesan Bu Lilik yang perlu kita contoh, antara lain, 1). Berbagi buku dengan public figure seperti misalnya, Menteri, Gubernur, Bupati, Kakankemenag,  Kemdikbud, Kadis dall. Tentu saja berfoto dengan public figure saat menyerahkan buku akan menjadi satu promosi tersendiri. 2). Menjalin komunikasi yang baik dengan siapapun. Berbagi ilmu dan pengalaman secara ihlas sehingga bisa diundang sebagai nara sumber di mana-mana. 3). Menggunakan buku sebagai bahan pelatihan dan bahan diskusi dimana-mana. Dan amsih banyak yang disampaikan Bu Lilik. Pastinya ada di chanel YouTobe kita, Media Guru.

Nara sumber ketiga adalah Drs. Seh Muli Pinem, M.Pd. Jabatan sehari-harinya adalah Kasi Kurikulum SMP Dinas Pendidikan Kab. Deli Serdang. Buku yang menjadi best seller belyau berjudul MeSRA di Sekolah, yang dia tulis berdasarkan pengalaman yang diterapkan sehari-hari di sekolah. Menurutnya buku ini menjadi best seller bermula dengan disampaikan dari mulut ke mulut, misalnya saat rapat K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah), MGMP, dalam rapat organisasi atau komunitas tertentu. Singkatnya agar buku bisa best seller menurut melakukan komunikasi terutama di komunitas kita terlabih dahulu.

Seperti narsum sebelumnya, Pak Seh Muli juga mengontak dan menjalin komunikasi dengan orang-orang hebat, orarng-oang yang sudah punya nama. Lalu dia juga berkoordinasi dengan orang-orang yang akan dapat membantunya. Dengan membuat caover yang berukuran besar, dia memperkenalkan bukunya kepada siapa saja. Dan dengan itulah, bukunya alhamdulillah laku keras.

Nara sumber terakhir yang tampil adalah Suhud Rois, Guru Sekolah Peradaban Insan Mulia, Cimahi. Menurut Suhud Rois --dengan mengutip pendapat seseorang-- menulis itu adalah transfer perasaan, karena itu itu tulislah buku yang bergizi. Lantas bagaimana agar buku bisa menjadi best seller? Kunci awalnya, katanya harus diapstikan bahwa isi buku kita adalah hal penting. Itu adalah perasaan sebenarnya. 

Untuk langkah-langkah lain yang dia lakukan antara lain, 1). Membagikan buku secara gratis kepada teman-teman atau komunitas, bahkan kepada orang yang tak kenal. Ini juga dilakukan narsum sebelumnya.  2). Menjadikan buku sebagai hadiah. 3. Ikut terlibat dalam even-even seumpama ikut pameran buku, dst 4. Memposting testimony dari berbagai kalangan. Dan tentu saja masih banyak langkah lainnya. Initinya, bagaimana buku bisa dinikmati oleh orang lain. Pembaca itu bukan mencari tampilan buku, tapi isi buku. Jadi, benar pernyataan Pak Suhud bahwa isi buku lebih penting. Buatlah buku yang bergizi, menginspirasi. Pasti dicari. Begitulah dia menutup paparannya.

Sesungguhnya, jika kandungan Webinar ini kita catat lebih jlimet tentu saja sangat panjang catatan ini. Namun, dengan sesederhana ini saja sudah begitu banyak yang dapat kita ingat dan kita serap materinya. Maka, jika ingin lebih lengkap, sekali lagi saya mengajak, mari kita ulang tonton chanel YouTobe Media Guru tentang TNGP 2020 ini.

22 Nov 2020

Catatan Webinar TNGP 2020 (Perlunya Membumikan Literasi)

Catatan Webinar TNGP 2020 (Perlunya Membumikan Literasi)


SABTU (21/11/20200 pagi. Persisnya pagi menjelang siang. Sekitar pukul 09.00 WIB saat pintu ruang maya zoom Media Guru Indonesia (MGI) mulai dibuka dan dimasuki para anggota. Itulah waktu digelarnya Temu Nasional Guru Penulis (TNGP) MGI Tahun 2020. Pertemuan Akbar Tahunan yang pada tahun lalu dipusatkan di Ibu Kota Negara, Jakarta tahu ini harus mau menerima fakta, virtual saja. Covid menjadi penentu keputusan ini.

Tapi tidak masalah. Virtual atau bukan tetaplah ini pertemuan istimewa bagi seluruh warga MGI. Sedikit pun tidak melunturkan khidmat dan semangat pertemuan ini. Sejak diumumkan oleh CEO Media Guru, Pak Muhammad Ihsan beberapa waktu lalu, rencana pertemuan ini sudah membuat keluarga besar MGI seperti tidak sabar menunggu. Respon di FB MGI dan di blog keroyokan Gurusiana.Id membuktikan itu. 

Sabtu pagi itu berkumpullah penuh sesak sebanyak 300 orang anggota MGI dalam satu ruang zoom. Itu jumlah maksimal yang dapat diisi. Sementara dalam jumlah yang jauh lebih banyak harus mengikuti pertemuan melalui live streming MGI. Itulah fakta antusiasme anggota MGI.

Tema webinar TNGP tahun ini adalah 'Strategi Membumikan Literasi'. Satu tema yang akan mengobarkan bara api semangat guru yang sudah terbukti setahun ini. Atau sejak TNGP 2019 lalu. Bagaimana para guru, anggota MGI mengisi hari-hari dengan literasi. Tiada hari tanpa literasi. Bagi yang ikut tantangan sudah pasti akan berkarya setiap hari.

Webinar ini meramng terasa istimewa. Tujuh orang penggiat literasi dari beberapa daerah, dipercaya Pak CEO untuk memberi motivasi kepada seluruh warga MGI di bumi Indonesia. Tema 'membumikan liteasi' itu tentu saja dengan maksud agar kegiatan literasi ini menjangkau lebih banyak lagi para guru atau siapa saja di seluruh bumi Indonesia. Mereka ini, juga adalah para pengurus komunitas literasi di daerah masing-masing.

Dengan host sekaligus moderator Mas Febry Suprapto yang merupakan Instruktur Nasional MGI tampil tujuh orang penggiat literasi seperti, 1). Dra. Yasmi, M.Pd. (Ketua Umum IGPPL Sumatera Barat); 2). M. Maghfur Qumaidi, S.Sos., S.Pd., M.Si. (Ketua Umum IPP Jawa Timur); 3). Agusrida, M.Pd.(Ketua Umum KPPL Kemenag Sumatera Barat); 4). Alphian Sahruddin, S.Pd., M.Pd. (Ketua Umum Penggiat Literasi Anging Mamiri Sulawesi Selatan); 5). Titiek Soertirahaajoe, S.Pd. (Ketua AGPG Grobogan Jawa Tengah); 6). Prawiro Sudirjo (Wakil Ketua IP3L Jawa Barat); dan 7). Dewi Sri Indriati Kusuma, S.Pd., M.Pd. (Bendahara Umum IPPSU Sumatera Utara).

Ketujuh pendekar literasi ini, meskipun oleh host hanya diberi waktu sangat singkat untuk berbagi pengalaman literasi, ternyata itu sudah cukup membuat suasana hangat dan semangat webinarnya. Buktinya, diskusi yang terjadi dari beberapa pertanyaan peserta membuat suasana di ruang zoom begitu meraih dan hidup.

Kita menjadi saksi, betapa banyak hal yang dikupas. Mulai dari suka duka dalam merintis agar literasi dapat mengakar di lingkungan pendidikan terutama para guru, hingga trik atau kiat sukses dalam menerapkan penggalakan literasi di tempat masing-masing. Tidak kalah penting, dibicarakan juga imbas dari pelaksanaan program 'membumikan literasi' tersebut di setiap daerah.

Tidak saya ulas lagi apa saja yang dibicarakan para narasumber. Yang pasti, jika ingin mengulang mendengarkan diskusi dan tanya jawab dalam webinar, silakan disimak kembali dengan membukan YouTobe Media Guru. Rakaman webinar ada di situ.

11 Nov 2020

Catatan dari Lomba Cipta Baca Puisi YDM, "Mereka Pencipta dan Pembaca"

Catatan dari Lomba Cipta Baca Puisi YDM, "Mereka Pencipta dan Pembaca"


YAYASAN Darul Mukmin (YDM) Karimun, baru-bari ini mengadakan Lomba Cipta Baca Puisi. Pesertanya umum dengan batasan usia. Ada kategori A dengan batasan usia antara 6-12 tahun dan ada kategori B dengan batasan usia 12-18 tahun. Artinya dalam usia sekolah. Namun jika ada yang menjelang 18 tahun sudah tamat sekolah, juga dibolehkan ikut serta dalam lomba ini.
Lombanya sendiri berupa menciptakan (mengarang) satu puisi dan dibacakan. Lalu direkam ke dalam video untuk dikirimkan kepada panitia, YDM Karimun. Panitilah yang akan mempostingnya di YouTobe chanel YDM untuk selanjutnya ditonton masyrakat. Sekaligus juri memberikan penilaian kepada setiap peserta. Tiga kriteria yang dijadikan penilaian adalah ekpresi, intonasi dan penampilan peserta. 

Tiga orang juri dipilih ditetap panitia karena dinilai mengusai cara penilaian lomba ini. Selain M. Rasyid Nur dan Noorfamayani (keduanya dari YDM) juga ditunjuk Ketua Dewan Kesenian Karimun, Mas Aji yang juga pernah menjadi juri puisi berskala Nasional sebagai dewan jurinya. Diharapkan ketiganya menilai secara objektif untuk mendapatkan pemenangnya.

Setelah kurang lebih satu bulan disiarkan dan file videonya juga diberikan kepada juri, akhirnya sebanyak enam orang berhasil menjadi juara terbaik dalam Lomba Cipta Karya Baca Puisi yang digelar YDM ini. Keenam orang itu adalah juara i, 2 dan 3 untuk masing-masing kategori. Keenamnya sudah mendaptkan hadiah diserahkan Senin pagi (9/12020) di Gaha Azam YDM.

Adapun keenam peserta terbaik adalah,  1) untuk kategori usia 6 sampai 12 tahun, juara I diraih Winroland Gempita Alam dari SDN 013 Karimun, juara II diarih Fairuz Fatihah Sari dari SDIT Cendikia, juara III diraih Ghaitsa Salma Khairania dari SDN 001 Karimun, dan juara favorit diraih oleh Raditya PRatama Putra dari SDIT Cendikia.

Sementara untuk pemenang kategori usia 12 sampai 18 tahujn, juara I diraih oleh Amanda Gita Safitri dari SMPN 2 Tebing, juara II diraih oleh Astuti dari Kampus UMRAH asal Kecamatan Moro, juara III diraih oleh Berlin Ramadha Pratama dari SMPN 2 Tebing, dan juara favorit diraih oleh Sharafina Mardhotillah Parciagla dari SMPN 1 Tebing. Demikian diumumkan oleh Ketua Panitia, Egy.

Manager SDM, Pendidikan dan Pengembangan Al-Quran Yayasan Darul Mukmin, Noorfamayani mengatakan, para dewan juri yang terdiri dari pihak Yayasan Darul Mukmin, serta dari Sanggar Kibar Budaya dalam hal ini dihadiri oleh Adjie yang adalah Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Karimun sempat dibuat kebingungan dalam menentukan juara, namun berdasarkan penilaian secara objektif dan sesuai dengan karya puisi dari masing-masing peserta, akhirnya diputuskan para juara atau peserta terbaik yang dinilai layak sebagaimana diumumkan panitia.

Komentar Bu Fama lagi, “Alhamdulillah kami baru saja menyerahkan hadiah untuk para juara, insyaallah Lomba Cipta Karya Baca Puisi sempena HUT Kabupaten Karimun ini, akan kami laksanakan secara rutin tiap tahunnya. Baik itu secara online ataupun secara tatap muka jika kondisi pandemi Covid-19 sudah kembali normal,” sebagaimana dikutip dari website Radioazam.Id (10/10/2020).

Ada pesan tentunya yang ingin disampaikan oleh kegiatan Lomba Cipta Karya Baca Puisi ini. Yaitu, bagaimana memahami dengan baik Kabupaten Karimun yang kita tempati ini. Kabupaten yang baru saja berulang tahun untuk ke-21 tahun, hendaklah menjadi perhatian, kata panitia. Itu sebabnya lomba ini dihelat tepat di Hari Ualng Tahun (HUT) Kabupaten Bumi Berazam tahun ini. Diharapkan juga agar mampu memahami budaya-budaya yang ada di Kabupaten Karimun. Dengan begitu mereka, para peserta khususnya dan kita semua pada umumnya bisa menuangkan didalam bentuk puisi. Menjadi sebuah karya yang indah dan enak didengar masyarakat di Kabupaten Karimun. Untuk saat ini prioritas mengarang puisi hanya untuk peserta.

Bagi YDM, yang saat ini seluruh unit pendidikan dibawah naungan Yayasan Darul Mukmin tengah melaksanakan Pendaftara Peserta Didik Baru (PPDB), maka kegiatan ini sekalian diharapkan menjadi promosi kepada orang tua yang akan menyekolahkan anaknya di YDM. Semoga kegiatan ini menjadi salah satu nilai atau daya tarik untuk masyarakat.

Kata Bu Fama lagi, "Agar ada gaungnya dan ada sesuatu yang dilakukan pada momen HUT Kabupaten Karimun. Apa lagi masih pandemi Covid-19 ini, kami ingin membangkitkan semangat para anak-anak kita, untuk tetap berkreasi melalui kegiatan yang digelar oleh Yayasan Darul Mukmin bersempena hari jadi bumi berazam."

Mewakili pengurus YDM, dia juga mengucapkan terimakasih kepada para peserta yang sangat antusias, sehingga terdapat 42 peserta yang mengikuti lomba tersebut dengan mengirimkan video pembacaan pusi karaya mereka sendiri. Namun hanya enam peserta terbaik yang terpilih, termasuk satu peserta favodit untuk setiap kategori. Kelak, semoga tetap ada kegiatan yang dapat menyemangat anak-anak dalam berkreasi di bidang literasi.***


10 Nov 2020

Guru Penggerak Tidak Berhenti Bergerak (Catatan HGN)

Guru Penggerak Tidak Berhenti Bergerak (Catatan HGN)


Oleh M. Rasyid Nur

MEMPERINGATI Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2019 lalu, Mendikbud, Nadiem Makarim berpidato yang mengawali gerak langkah dan gebrakannya di departemen paling gendut itu. Isi pidatonya viral tahun lalu. Dia memunculkan istilah merdeka belajar dan guru penggerak. Sebagai menteri baru di kabinet baru, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, itu tentu saja ucapannya menjadi perhatian orang banyak. 

Mas Mendikbud menyampaikan isi pidatonya itu beberapa hari sebelum 25 November 2019 sebagai Hari Guru Nasional yang juga menjadi peringatan Hari PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) di Tanah Air ini. Media-media menyiarkan jargon baru Mendkbud. Maka kosa kata 'merdeka belajar' dan 'guru penggerak' seolah menyihir orang. Kata-kata itu pun ada di mana-mana hingga saat ini. Kita sangat mudah menemukannya.

Tentu saja konsep merdeka belajar dan guru penggerak, itu menjadi inspirasi, motivasi dan dipuji oleh banyak pihak setelah Mendikbud detail menjelaskan kepada pemburu berita. Sebagai menteri termuda yang sukses di bisnis Go-Jek online, ucapannya selalu ditunggu wartawan. Waktu itu Mas Menteri memberikan penjelasan kepada awak media yang inti dari pidatonya. berfokus pada merdeka belajar dan guru penggerak yang terus viral. 

Sebagai guru, bagian dari unit pendidikan yang menjadi titik fokus dari pidatonya, kita para guru Indonesia merasa tersihir oleh kosa kata merdeka belajar dan guru penggerak yang digaungkannya. Kita tahu yang dia jelaskan tentang merdeka belajar adalah bahwa unit pendidikan (sekolah) yang di dalamnya ada guru-guru dan para siswa hendaklah memiliki kebebasan dalam mengaplikasikan fungsi dan tanggung jawabnya. Kebebasan untuk mengelola pembelajaran bagi guru dan kebebasan dalam menerima pembelajaran bagi siswa. Sementara guru sendiri hendaklah menjadi sosok pemotivasi dalam kebebasan belajar.

Intinya, guru hendaklah memiliki kebebasan untuk berinovasi, berkreasi dan beradaptasi dalam mengelola pembelajaran. Begitu juga bagi peserta didik yang harus memiliki kebebasan untuk belajar dengan mandiri dan kreatif. Di pihak lain, orang tua siswa dan masyarakat juga hendaknya semakin leluasa untuk berkontribusi dalam memajukan pendidikan melalui sekolah di sekitarnya.

Menjelaang HGN (Hari Guru Nasional) Tahun 2020 ini, satu tahun pasca Mas Menteri Nadiem mengumandangkan jargon merdeka belajar dan guru penggerak tentu kita akan bertanya kepada diri kita, sudahkah kita menjadi guru penggerak di satu sisi dan menjadi guru yang mampu memberikan kebebasan belajar kepada siswa di sisi lain. Padahal, situasi yang berkembang sejak covid-19 mendera dunia termasuk Indonesia telah membuat kita kalang-kabut dalam mengelola pembelajaran. Semua yang bertanggung jawab kepada pendidikan telah merasakan betapa program besar yang dikumandangkan Mas Menteri menemukan rintangannya.

Syukurnya, bagi guru-guru yang benar-benar berpredikat Guru Penggerak jauh sebelum Mas Menteri menggaungkannya, tetap bergerak sesuai kemampuan dan kemauan kerasnya. Guru penggerak sesungguhnya tidak akan berhenti bergerak demi kemajuan dan tanggung jawab pendidikan yang dipikul.

Jika Mas Menteri menyatakan bahwa cirri-ciri guru penggerak itu adalah guru yang mengutamakan siswa dari pada diri dan kariernya; guru yang aktif berdiskusi dengan para siswanya; guru yang menganggap siswa sebagai mitra dan sumber belajarnya; guru yang mampu membuat para siswanya rindu kepadanya, percayalah bahwa ada banyak guru yang mampu berkriteria seperti itu sebelum Mas Menteri mengatakan jargon itu.

Guru penggerak benar-benar telah membuktikan tanggung jawab dan integritas dirinya dalam mengemban tugas dan fungsinya sebagai guru. Ketika peraturan mengharuskan guru mengelola pembelajaran dari jarak jauh, terbukti dalam 7-8 bulan terakhir ini para guru mampu tetap melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik. Jika dulu tidak harus menggunakan teknologi canggih, kini semuanya dicoba dan diusahakan demi terkelolanya pembelajaran dengan baik. Jadi, benar bahwa guru penggerak itu tidak akan berhenti bergerak. Tidak akan berhenti berkreasi dan berinovasi dalam memajukan pendidikan.***

Dimuat juga di www.mrasyidnur.gurusiana.id untuk ikut lomba.

3 Nov 2020

Mereka Berulah, Siapa yang Salah

Mereka Berulah, Siapa yang Salah


BEBERAPA kali dishare di medsos, ada anak-anak yang bertingkah sudah melewati batas. Tidak lagi seperti tingkah-laku dan tindakan anak-anak seumur mereka yang mereka lakukan. Misalnya berani merusak tempat umum seperti sekolah.

Saya ingat beberapa waktu lalu, awal Oktober sekitar tanggal 10-an, ada sharing info sekolah yang dirusak. Fasilitas dan beberapa kelengkapan di salah satu SMA Negeri di Kota Tanjungbalai Karimun seperti diobrak-abrik. Informasinya, ketika pihak sekolah --guru, dll-- datang pagi harinya, mereka terkejut menyaksikan pemandangan memilukan. Di ruang musolla dan di beberapa tempat di lingkungan sekolah itu kursi, meja, dan beberapa fasilitas seperti baru saja dirusak. 

Kursi bertumbangan. Pot-pot bunga berserakan tanahnya karena juga bertumbangan tak beraturan. Bayangan kita menyaksikan foto dan video yang beredar, itu pasti perusaknya sangat emosi. Sangatlah mengerikan. Terbayang betapa marahnya orang yang membuat keadaan itu seperti itu. Pasti satu gerombolan orang yang marah. Orang dewasa, tentunya. Dan mesia-media besoknya melaporkan itu.

Kejadian ini sempat viral melalui video yang dishare di medsos waktu itu. Pasti ditonton oleh orang ramai. Semua orang berkomentar 'menyayangkan' atas kejadian itu. Mengapa sekolah yang dirusak. Mengapa fasilitas pendidkan yang akan mendidik mereka atau setidak-tidaknya mendidik orang lain yang dirusak? Berkecamuklah berbagai perasaan di setiap perasaan orang.

Belum lama berselang setelah kejadian, itu muncul lagi informasi yang hampir sama. Salah satu sekolah (kini, SMP Negeri pula) di kota ini juga seperti baru digerayangi orang-orang tidak bertanggung jawab. Orangnya masuk pekarangan sekolah tanpa izin. Karena sekolah ini dilengkapi CCTV, dengan mudah diketahui siapa orang yang masuk ke sekolah dengan 'paksa' itu. 

Herannya ternyata, itu adalah pekerjaan anak-anak usia belia. Bahkan masih anak-anak. Ternyata yang melakukan perbuatan tidak baik, itu adalah anak-anak seusia SD. Paling-paling juga masih setingkat SLTP. Sungguh membuat hati terenyuh. Ini kejadian kedua dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dan tiga yang lalu, saya baru saja mendapat informasi lagi. Kejadian yang mungkin tidak sama, tapi hakiaktnya sama: masuk ke pekarangan sekolah tanpa izin.

Kejadian yang terbaru ini menimpa sekolah swasta. Karena sekolah ini juga melengkapi CCTV di pekarangan dan di dalam ruangannya, dengan mudah juga terdeteksi kejadiannya. Beberapa orang anak seusaia SD (juga) masuk ke pekarangan dan berusaha masuk ke dalam ruangan (kelas dan ruangan lainnya) untuk niat mengambil (baca: mencuri) apa saja yang bisa diambil. Menurut informasinya, anak-anak ini sudah masuk ruang kelas dan mencuri spidol-spidol yang ada di kelas. Juga sudah merusak salah satu ruangan yang menyimpan barang-barang kantin. Grendel pintu sudau dirusak. Tapi segera ketahuan. Kebetulan ada penjaga yang datang.

Dengan kasus seperti itu, bagaimana kita para guru memandangnya? Perbuatan nakal, itu dilakukan oleh anak-anak seumur SD atau SMP. Siapa yang mau disalahkan? Guru? Orang tua? Atau mereka? Haruskah sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka, sementara usianya memang usia orang yang belum bisa bertanggung jawab.

Sebagian malah menyalahkan sekolah. Ada juga yang menimpakan masalahnya ke Pemerintah. Pemerintah yang harus bertanggung jawab, kata salah seorang yang sempat ngobrol bersama. Hadeuh, beginilah jika sudah muncul permasalahan yang berkaitan dengan anak-anak yang masih sekolah. Konon, karena anak-anak sudah begitu lama di 'rumah saja' membuat mereka jenuh dan ingin ke sekolah. Tapi mengapa harus merusak? Artinya argumen ini tidaklah tepat.

Bagaimanapun, kejadian-kejadian seperti ini boleh jadi masih ada. Juga terjadi di tempat lain, barangkali. Jika tidak pun, tiga kejadian ini cukup bagi kita guru untuk prihatin. Apapun alasannya, tidak tepat anak-anak bersikap merusak sekolah. Atau masuk ke pekarangan yang berpagar tanpa izin sekolah. tetap saja itu sebuah kesalahan.

Sudah saatnya untuk melakukan beberapa langkah agar itu tidak terjadi lagi. Selain meningkatkan keamanan sekolah dengan memasang CCTV, penjagaan juga harus ditingkatkan. Diketatkan. Lalu bagi orang tua, jangan menyepelekan anak-anak yang melakukan kenakalan ini, walaupun mereka masih anak-anak. Dan jika mereka sempat dibawa ke Kantor Polisi, semoga itu tidak menjadi pengalaman buruk yang justeru membuat ingin mengulang lagi suatu hari nanti. Mari kita saling berbagi fungsi demi generasi muda ini.***

28 Okt 2020

Peringatan HSP Sebagai Catatan Emas Pemuda di Bulan Pemuda

Peringatan HSP Sebagai Catatan Emas Pemuda di Bulan Pemuda


Catatan M. Rasyid Nur

SETIAP tahun Hari Sumpah Pemuda (HSP) selalu diperingati. Persisnya setiap 28 Oktober seperti hari ini. Menghitung mundur catatan sejarah Pemuda Indonesia sejak peristiwa emas Soempah Pemoeda (Sumpah Pemuda) 28 Oktober 1928 berarti HSP tahun 2020 ini merupakan peringatan ke-92 tahunnya. Sesuai dengan kondisi dan situasinya, setiap tanggal hari ini Bangsa Indonesia memang selalu memperingatinya.

Peringatan hari bersejarah bagi pemuda yang kita kenal dengan Hari Sumpah Pemuda tahun ini memang terasa ada bedanya. Tersebab oleh masih merebaknya covid-19 di Bumi Nusantara maka peringatannya sedikit berbeda berbanding tahun sebelumnya. Dengan  tema ‘Bersatu Dan Bangkit’ pesan yang ingin disampaikan adalah semangat bersatu dengan dibalut harapan akan bangkit. Covid-19 yang telah membuat penurusan drastis di berbagai bidang menyadarkan bangsa perlunya kebangkitan. Dan pemuda sebagai garda terdepan diharapkan mempelopori kebangkitan itu sebagaimana sudah dibuktikan di masa-masa lalu.

Sebagaimana kita ketahui, saat Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, Zainudin Amali me-launching logo Hari Sumpah Pemuda ke-92 Tahun 2020 beberapa waktu lalu, dia mengatakan bahwa bulan Oktober ini disebut juga sebagai Bulan Pemuda. Tujuannya agar para pemuda bangsa meningkatkan motivasi dan inspirasinya, menggelorakan semangat dan daya juangnya dan bersatu untuk bangkit  bersama.

Pesan yang setiap tahun selalu diulangsampaikan oleh para petinggi bangsa kita bagaimana peringatan Hari Sumpah Pemuda mampu memantapkan hati pemuda pada khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya untuk tetap bersatu. Rasa bersatu itulah sesungguhnya yang akan mampu membuat bangsa kita bangkit dengan garda terdepannya para pemuda.

Pesan klasik yang selalu terdengar, dan tahun ini juga diulangingatkan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga saat launching logo itu, “Kita tidak boleh tercerai-berai. Meskipun berbeda-beda, kita harus tetap bersatu.  Semangat persatuan dan kesatuan harus kita pelihara dengan baik. Tanpa persatuan, kita tidak akan bisa bangkit.” Demikian kurang-lebih disampaikannya dan dirilis oleh banyak media sejak beberapa hari yang lalu.

Hari ini, hari yang bersejarah ini sejatinya kita jadikan sebagai momentum terbaik dalam ikhtiar kita untuk mempertahankan dan meningkatkan kebersamaan kita. Dengan kemajemukan yang sangat tinggi dalam Bangsa kita, terasa begitu pentingnya rasa bersatu diantara kita. Logo yang diciptakan untuk peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-92 ini ternyata begitu dalam maknanya, jika kita hayati dengan seksama. Angka 92 yang dibentuk dari dua insan yang saling terhubung menggambarkan adanya  semangat persatuan pemuda Indonesia dan rakyat Indonesia secara keseluruhan untuk menjaga persatuan. Dan di saat Bangsa Indonesia saat ini juga tengah berjuang melawan covid-19, jeaslah betapa pentingnya persatuan ini.

Jika peringatan Hari Sumpah Pemuda diselenggarakan secara nasional di tingkat pusat, atau di provinsi hingga ke kabupaten/ kota se-Indonesia, itu tidak lain tujuannya adalah nilai-nilai dan semangat Sumpah Pemuda itu terus ada di relung hati masyarakat. Jangan pernah rakyat melupakan gerakan pemuda yang begitu hebat pada 28 Oktober 1928 dan di hari dan bulan-bulan yang mengikuti tahun itu.

Bahkan peringatan itu juga dilaksanakan oleh berbagai komponen masyrakat seumpama organisasi kepemudaan, LSM, lembaga pendidikan, badan usaha swasta, BUMN dan elemen lainnya. Intinya, semua kita ingin menjadikan catatan emas para pemuda sebagai penguat langkah dalam menjalankan roda kehidupan bangsa ini.***

Juga di www.mrasyidnur.gurusiana.id

19 Sep 2020

Catatan Webinar XI Media Guru Indonesia (Bag. 5)

Catatan Webinar XI Media Guru Indonesia (Bag. 5)


WEBINAR Media Guru Indonesia (MGI) adalah webinar yang selalu ditunggu warga MGI. Webinar XI yang dilaksanakan pada hari Ahad (13/09/2020) kemarin, itu misalnya selain diikuti langsung oleh 123 orang di ruang zoom juga ada ratusan bahkan ribuan orang lainnya melalui live streming chanel YouTobe MediaGuru. Adalah webinar penting yang dilaksanakan oleh Media Guru seperti webinar-webinar sebelumnya. Sekali lagi, 10 webinar sebelumnya adalah webinar terpenting bagi kita semua, keluarga besar MGI sebagaimana pentingnya webinar XI ini. Dengan temanya yang selalu berbeda-beda setiap kali ada webinar membuat setiap webinar Media Guru menjadi begitu penting.

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa webinar kali ini adalah webinar yang disejalankan dengan lounching buku baru Media Guru berjudul Pejuang Liaterasi. Itu, kita sudah sama-sama tahu juga. Buku antologi dari 123 orang penulis yang dihasilkan bersempena peringatan HUT RI, itu berisi artikel-artikel yang secara khusus membahas perjuangan literasi. Itulah sebabnya judulnya juga berbau perjuangan.

Yang menarik adalah bahwa pada webinar ini, selain kesempatan menyerap ilmu dan informasi penting dari Pak CEO, Muhammad Ihsan --meskipun sekilas—lalu dari Mas Eko, Pimpinan Redaksi Media Guru dan beberapa pejuang literasi lainnya seperti Bu Wiwik (host) dan Bu Sri Subekti (moderator), juga yang utama itu adalah tampilnya empat orang nara sumber yang masing-masing memberikan pencerahan yang begitu penting bagi kita. Tiga orang sudah diulas di halaman ini sebelumnya.

Catatan --kelima-- ini akan menampilkan satu orang lagi dari empat orang narasumber yang tampil itu. Pastinya ini juga sebagai pemotovasi kita dalam memperjuangkan literasi di Negeri kita ini. Kita tahu, keempat nara sumber ini tampil begitu memukau dengan kreasi literasi mereka masing-masing.

Pada tulisan ini saya membuat catatan dari nara sumber hebat yang tampil keempat dari empat orang nara sumber yang ada. Tapi dia adalah orang kedua atau terakhir dari sesi kedua. Siapa dia? Dia adalah Abdurrauf Shaleng, seorang pengawas TK-SD di Kabupaten Shopeng, Sulawesi Selatan. Dia menyampaikan paparannya dengan judul  Sarskodes Strategi Membumikan Literasi. Judulnya saja sudah membuah rasa ingin tahu, khususnya makna ‘sarskodes’ itu apa? Inilah kepanjangannya, Sapu Rata Sekolah Kota dan Sekolah Desa. Makasudnya dalam pembinaannya dia tidak ingin hanya sekolah tertentu –biasanya sekolah di kota—saja yang dibina. Sebagai pengawas sekolah dia ingin semua sekolah itu mendapatkan pembinaan.

Latar belakang pemikiran ini menurut Pak Rauf adalah adanya beberapa permasalahan yang harus diatasi. Setidak-tidaknya Pak Rauf mengemukakan tiga permasalahan sebagai sesuatu yang mendasar untuk pemikiran ini. Ketiga permasalahan itu adalah, 1) Topografi Sekolah; 2) Minat Baca Warga Sekolah yang Rendah; dan 3) Perpustakaan Kurang Difungsikan.  Jadi, jarak dan keadaan sekolah yang jauh membuat pembinaan itu menajdi susah. Hal lainnya, perpustakaan

Ada beberapa langkah dan strategi yang ditempuh Pak Rauf yakni dimulai dari komitmen ke sekolah binaannya. Lalu melangkah ke tim literasi sekolah, sarana prasarana, lalu dibuat jadwal dan target. Terakhir dibuatnya lomba untuk apresiasi dari kegiatannya. Jelasnya begini, pengawas wajib memiliki komitmen awal. Komitmen awal akan membuat rencana akan berhasil.

Lalu dibentuk tim literasi sekolah. Tim ini harus ditetapkan oleh Kepala Sekolah, tentunya. Lalu ada sarana prsarana seperti buku-buku, dll. Dengan adanya jadwal akan dengan mudah memonitor kapan kegiatan literasi akan dilekasanakan. Dari sini akan mudah menetapkan target yang nanatinya akan berlanjut ke rencana apresiasi. Itulah perlunya ada lomba-lomba berkaitan dengan literasi.

Bukan tanpa tantangan, tentunya. Tantangan itu adalah covid-19 ini serta kendala lainnya. Maka perlu, kata Pak Rauf diadakan pendampingan. Ini penting. Pengawas wajib memberikan pendampingan ini kepada sekolah binaan agar kegiatan dapat berjalan maksimal. Selanjutnya dimonitor. Artinya wajib pula ada monitoring.

Hasil Sarskodes ala Pak Rauf adalah, 1) Saran abaca menjadi merata di sekolah binaan; 2) Buku-buku perpusatakaan lebih dimanfaatkan oleh warga sekolah; 3) Peningkatan budaya baca di sekolah binaan; 4) Bertambah jumlah dan variasi bahan bacaan di sekolah binaan; 5) Adanya siswa yang menjadi juara bercerita di tingkat kabupaten. Data ini sebagaimana ditampilkan Pak Rauf melalui slidenya.

Dengan kreasi literasi Sarskodes ala Pak Rauf ini terbukti meningkatnya kegiatan literasi di sekolah-sekolah. Tidak ada lagi dikotomi sekolah kota dengan sekolah desa. Program ini membuat pemerataan yang baik antara semua sekolah, khususnya dalam mengembangan dan pembinaan literasi. Selamat, Pak Abdurrauf. Selamat untuk semua pengawas yang sekaligus ini adalah tantangan juga bagi pengawas di tempat lain. Terima kasih, Pak Rauf.***



18 Sep 2020

Catatan Webinar XI Media Guru Indonesia (Bag. 4)

Catatan Webinar XI Media Guru Indonesia (Bag. 4)

 


Oleh M. Rasyid Nur

WEBINAR Media Guru Indonesia (MGI) adalah webinar yang selalu ditunggu warga MGI. Webinar XI yang dilaksanakan pada hari Ahad (13/09/2020) kemarin, itu misalnya selain diikuti langsung oleh 123 orang di ruang zoom juga ada ratusan bahkan ribuan orang lainnya melalui live streming chanel YouTobe MediaGuru. Adalah webinar penting yang dilaksanakan oleh Media Guru seperti webinar-webinar sebelumnya. Sekali lagi, 10 webinar sebelumnya adalah webinar terpenting bagi kita semua, keluarga besar MGI. Dengan temanya yang selalu berbeda-beda setiap kali ada webinar membuat setiap webinar meniadi begitu penting.

Webinar kali ini adalah webinar yang disejalankan dengan lounching buku baru Media Guru berjudul Pejuang Liaterasi. Itu, kita sudah sama-sama tahu. Buku antologi dari 123 orang penulis yang dihasilkan bersempena peringatan HUT RI, itu berisi artikel yang secara khusus membahas perjuangan literasi. Itulah sebabnya judulnya juga berbau perjuangan.

Yang menarik adalah bahwa pada webinar ini, selain kesempatan menyerap ilmu dan informasi penting dari Pak CEO, Muhammad Ihsan --meskipun sekilas—lalu dari Mas Eko, Pimpinan Redaksi Media Guru dan beberapa pejuang literasi lainnya seperti Bu Wiwik (host) dan Bu Sri Subekti (moderator), juga yang utama itu adalah tampilnya empat orang nara sumber yang masing-masing memberikan pencerahan yang begitu penting bagi kita. Dua orang sudah diulas di halaman ini sebelumnya.

Catatan --keempat-- ini akan menampilkan satu orang lagi dari empat orang narasumber yang tampil itu. Pastinya ini juga sebagai pemotovasi kita dalam memperjuangkan literasi di Bumi Pertiwi bahkan di dunia. Kita tahu, keempat nara sumber ini tampil begitu memukau dengan kreasi literasi mereka.

Pada tulisan ini saya membuat catatan dari nara sumber hebat yang tampil ketiga dari empat orang nara sumber. Tapi dia adalah orang pertama dari sesi kedua yaitu, Fitria Nur Rosyidah, Kepala SMP IT Al-Hanif Cianjur  Dia menyampaikan paparannya dengan judul Menciptakan Taman Syurga Literasi di Pesantren. Nah, lho menciptakan ‘taman syurga’. Tidak sembarang materi yang disampaikannya.

Setelah dipersilakan moderator, Bu Fitria  memulai tentu saja dengan memperkenalkan diri dan tugasnya. Lalu dengan menyatakan betapa besarnya jasa Media Guru bagi dirinya dia membuka dengan salam khas, literasi. Dengan penuh semangat dia menutup perkelanannya dengan ucapan khas, Salam Inspirasi, Salam Litersi, Salam Pejuang Sejati, serunya penuh semangat diiringi menyebutkan sekolah tempat dia mengabdi.

Selanjutnya Bu Fitria menjelaskan latar belakang kreasinya ini. Kata Bu Fitria, menyaksikan kenyataan anak-anak kami yang ditinggal orang tua yang mungkin merantau ke Luar Negeri atau ke Luar Daerah betapa risaunya kami. Kami galau. Dan dalam kenyataan anak-anak juga meninggalkan sekolah (guru) karena covid-19 membuat Bu Fitria bersama teman-temannya berpikir untuk menambah ilmu. “Dalam kegalauan tingkat tinggi dan kesunyian di kompleks karena ditinggal para santri saya memanaatkan waktu ini untuk mencari ilmu,” katanya. Dan atas kehendak Allah, Bu Fitria merasa bersyukur dapat bergabung di Media Guru yang memberinya peluang untuk menambah ilmu itu.

Tampilnya dia di webinar ini adalah bagian keberhasilannya menyerap ilmu melalui Media Guru, katanya. Selanjutnya Bu Fitria memaparkan materi webinarnya yang berjudul Menciptakan Taman Syurga Literasi di Pesantren itu. Para peserta webinar khusyuk menyimak setiap penjelasan dari Kepala Sekolah ini.

Apa saja dan bagaimana strategi Bu Fitria dalam menciptakan ‘taman syurga’ literasinya itu? Pertama, katanya dia menyediakan sarana prasarananya terlebih dahulu. Sebutlah, misalnya menyediakan rak-rak buku, lalu menyediakan buku-bukunya. Terutama buku-buku novel yang terbaru. Dia juga membeli buku-buku untuk anak kandungnya.

Lalu dia memasang dua buah tenda. Satunya untuk tempat memasak (tenda dapur) dan satunya lagi disebut Tenda Peleton yang digunakan untuk berliterasi itu sendiri, seperti membaca, mereviu buku dan lain sebagainya. Terbayang oleh kita bahwa dalam tenda itu begitu akan menyenangkan karena bisa makan, minum dan tentu saja aktifitas literasi itu sendiri. Begitulah keadaan yang diharapkan membuat semua pesrta merasa senang semua anak-anak yang hadir. Satu hal penting yang juga dilaksanakan adalah bahwa di sini adalah program membaca dan menghafal alquran. Tentu saja konotasi membaca ayat-ayat suci adalah pahala yang kelak akan mendapatkan balasan berupa syurga dari Allah.

Ternyata dua tenda ini juga akan menjadi kejutan nantinya ketika para santri kembali ke sekolah. Hal lainnya, Bu Fitria juga membuat banyak program yang berkaitan dengan keliterasian. Dan dengan haru dia mengatakan bahwa Taman Syurga Literasi yang terbangun di pojok pesantrennya itu juga akan mampu menjadi ladang pahala yang kelak di yaumil akhir dapat diterima balasannya. Sungguh membanggakan kita atas apa yang dibuat Bu Fitria ini. Selamat, ya Bu. Semoga kami semua terinspirasi oleh kreasi Ibu. Salam Literasi, Salam Inspirasi, Salam Pejuang Literasi.***

Bisa juga di www.mrasyidnur.gurusiana.id


17 Sep 2020

Catatan Webinar XI Media Guru Indonesia (Bag. 3)

Catatan Webinar XI Media Guru Indonesia (Bag. 3)


Oleh M. Rasyid Nur

WEBINAR XI Media Guru Indonesia yang dilaksanakan pada hari Ahad (13/09/2020) kemarin itu adalah webinar penting yang pernah dilaksanakan oleh Media Guru. Tentu saja 10 webinar sebelumnya adalah webinar terpenting pula bagi kita semua. Temanya memang selalu berbeda-beda setiap kali ada webinar. Makanya terasa selalu penting bagi kita untuk setiap webinar.

Webinar kali ini adalah webinar yang disejalankan dengan lounching buku baru Media Guru berjudul Pejuang Liaterasi. Buku antologi dari 123 orang penulis yang dihasilkan bersempena peringatan HUT RI. Itulah sebabnya judulnya juga berbau perjuangan. Tapi yang menarik juga adalah bahwa pada webinar ini, selain kesempatan menyerap ilmu dan informasi penting dari Pak CEO, Muhammad Ihsan --meskipun sekilas—lalu dari Mas Eko, Pimpinan Redaksi Media Guru dan beberapa pejuang literasi lainnya seperti Bu Wiwik (host) dan Bu Sri Subekti (moderator), juga yang utama itu adalah tampilnya empat orang nara sumber yang masing-masing memberikan pencerahan yang begitu penting bagi kita.

Catatan --ketiga-- ini akan menampilkan satu orang lagi dari empat orang narasumber yang tampil. Pastinya ini sebagai pemotovasi kita dalam memperjuangkan literasi di Bumi Pertiwi bahkan di dunia. Kita tahu, keempat nara sumber ini tampil begitu memukau dengan kreasi literasi mereka. Pada tulisan ini saya membuat catatan dari nara sumber hebat yang tampil kedua yaitu, Ibu Ade Kurniawati, SPd seorang guru BK (Bimbingan dan Konseling) di SMA Negeri 5 Sijunjung, Sumatera Barat.

Guru dan ruangan BK yang konotasinya selalu sebagai guru dan ruangan yang ditakuti atau dijauhi siswa justeru di tangan Bu Ade sebaliknya. Dia membuat ruangannya menjadi ruangan yang disenangi dan diminati oleh para siswa. Dengan judul paparan Merajut Literasi di Ruang BK Bu Ade menetapkan empat latar belakang yang menjadi dasar pemikirannya mengembangkan materi ini, yaitu, 1) Ungkap Isi Hati; 2) Game; 3) Miss Persepsi dan 4) Curhat Lewat Tulisan.

Untuk pemikiran latar belakang , itu kata Bu Ade begini, disebabkan oleh adanya siswa yang tidak bisa mengungkapkan isi hatinya maka kemungkin mereka akan melarikan dirinya ke game. Kemungkinan lainnya adalah miss persepsi yang menyebabkan siswa berbeda dalam memahami atau menafsirkan sesuatu. Menganggap dirinya seperti diasingkan. Maka untuk solusi itu Bu Ade memberikan jalan dengan curhat lewat tulisan berupa tampilan kepustakaan yang dilengkapi dengan buku-buku motivasi dan inspirasi.

 Di sinilah guru BK ini membuktikan langsung dengan perjuangan lierasinya. Setelah menjelaskan bahwa ruang BK adalah ruang yang menyenangkan, anak-anak diajak masuk dan di situ sudah dia sediakan buku-buku. Itulah buku-buku motivasi dan buku inspirasi yang diharapkan mampu mempengaruhi pikiran para siswa. Anak-anak diajaknya mengungkapkan perasaannya melalui tulisan, selain membaca itu sendiri. Inilah awal literasi, membaca dan menulis.

Ada kebebasan lain yang juga diterapkan di sini. Anak-anak bebas memilih buku dan materi yang dia mau untuk dibaca. Tempat membaca juga bisa di dalam ruangan, bisa juga di luar. Anak-anak juga benar-benar diberi keleluasan untuk berpikir, menyampaikan curahan hati (curhat)-nya dan saling memotivasi di antara mereka.

Menurut Ibu Ade, hasil Literasi ala Guru BK ini terbukti, mampu meningkatkan kemampuan literasi siswa, anak-anak mampu menyampaikan gagasan menarik, mampu juga menyampaikan isi buku yang mereka baca, dan yang hebat itu mereka mampu membukukan tulisan mereka. Fakta lain, katanya bahwa dampak dari literasi BK, ini ternyata kemauan membaca para siswa cukup meningkat. “Sekolah saya itu membaca menjadi budaya,” kata Bu Ade dalam paparannya. “Siswa tidak lagi merasa terpaksa membaca,” tambahnya. Nah, ini benar-benar seuatu yang positif di tengah berita rendahnya tingkat minat membaca anak-anak kita.

Ada empat kesimpulan yang disampaikan Bu Ade melalui slidenya, 1) Membaca jadi budaya; 2) Berpikiran positif; 3) Terbitnya buku; dan 4) GLS berkembang. Jika keempat kesimpulan juga ada di sekolah-sekolah lain, di semua sekolah di Tanah Air ini, sungguh literasi itu bukan lagi sesuatu yang aneh. Dan ingat, ini kreasi guru BK. Bagaimana jika guru-guru Mata Pelajaran (MP) lainnya juga mempunyai kreasi dengan cara lainnya lagi, betapa hebatnya budaya literasi bangsa kita. Gerakan Literasi Sekolah,  Gerakan Literasi Keluarga dan Gerakan Literasi Masyarakat yang bahu-membahu akan menajdikan literasi menjadi budaya bangsa.

Terima kasih, Bu Ade atas paparannya yang memberikan penerahan kepada kami semua. Sukses buat Ibu, buat sekolahnya dan buat kita semua. Kita sambut salam bu Ade, “Salam Literasi, Salam Samangek, Salam Rancak Bana,” Untuk pemberi semangat kepada kita semua. Salaamm.***

https://mrasyidnur.gurusiana.id/article/2020/09/catatan-webinar-xi-media-guru-indonesia-bag-3-385236



16 Sep 2020

Catatan Webinar XI Media Guru Indonesia (Bag. 2)

Catatan Webinar XI Media Guru Indonesia (Bag. 2)


Oleh M. Rasyid Nur

MEMANG sayang jika tidak mengikuti Webinar XI Media Guru Indonesia (MGI) yang dihelat pada hari Ahad (13/09/2020) kemarin itu. Selain kesempatan menyerap ilmu dan informasi penting dari Mas Eko, Pimpinan Redaksi Media Guru dan beberapa pejuang literasi lainnya seperti Bu Wiwik (host) dan Bu Sri Subekti (moderator), juga yang utama itu adalah tampilnya empat orang nara sumber yang masing-masing memberikan pencerahan yang begitu penting bagi kita.

Catatan --kedua-- ini akan menampilkan keempat orang tersebut –secara bersambung-- sebagai pemotovasi kita. Mereka tampil begitu memukau dengan kreasi literasi mereka. Wajib untuk diketahui dan harusnya juga diikuti. Dari Pak Supardi, Bu Ade, Pak Rauf hingga Bu Fitria. Secara bergantian dalam sesi mereka tampil sesuai jadwal dari moderator webinar, Ibu Sri. 

Untuk catatan ini, kita mulai saja dari Pak Supardi yang terkenal dengan Pustaka Onthelnya. Apa dan bagaimana Pustaka Onthel kreasi Pak Supardi Harun Arrasyid ini menggiatkan dan memperjuangkan liertasi? Bagaimana Pak Supardi yang mendapat amanah sebagai Kepala Perpustakaan di SMP IT Citra Bangsa berkreasi untuk membuat anak-didiknya tetap menghirup udara literasi di tengah hampir matinya literasi oleh pandemi covid-19. Dia membuat Pustaka Onthel. 

Setelah moderator mempersilakan Pak Supardi untuk menyampaikan paparannya, seperti lazimnya nara sumber, dia memulai dengan menyapa semua peserta. Dari pipmpinan tertinggi MGI, petugas Webinar XI hingga ke semua peserta dia sapa dalam sapaan penghormatannya. Lalu memperkenalkan dirinya dan tentu saja profesinya sebagai guru dan Kepala Perpusatakaan SLTP itu. Kalimat pembukanya saja sudah memberi semangat literasi peserta webinar. 

Selanjutnya dia memulai dengan narasi, betapa beratnya mengelola Perpustakaan di tengah pandemic covid-19 ini. Karena sekolah tidak dihadiri siswa maka otomatis Perpustakaan pun tidak ada pengunjungnya, katanya. “Sebagai Kepala Perpustakaan saya merasa prihatin. Sejak pandemic covid-19 pengunjung Perpustakaan sepi. Program kegiatan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) pun terhenti,” jelasnya dengan menampilkan slide. Karena itulah tim literasi di sekolahnya diajak berdiskusi, bagaiaman menyikapi keadaan ini. Tentu saja dengan minta izin kepada Kepala Sekolah.

Hasil diskusi bersama Tim GLS, itu menghasilkan gagasan membuat Pustaka Onthel. Pustaka dengan menggunakan sepeda ontel berkeliling sambil membawa buku-buku perpustakaan sekolah. Terbayangkan oleh kita bagaimana Pak Supardi berkeliling seperti penjual keliling tapi yang 'dijualnya' adalah buku-buku yang cara membelinya adalah dengan membacanya. Sasarannya tentu saja para siswa atau masyarakat lainnya yang selama pandemi covid ini tidak bisa ke sekolah.

Jadwal disusun. Hari-hari Rabu, Sabtu dan Ahad (Sabtu) adalah hari yang dipilih sebagai hari untuk mengunjungi rumah-rumah siswa yang akan dipinjamkan buku. Rabu dan Sabtu Pustaka Onthel Pak Supardi berkunjung pada sore hari karena paginya anak-anak belajar daring dengan gurunya. Hari Ahad barulah pada sesi paginya. Hebatnya, lokasi singgah Pustaka Keliling ini ternyata tidak hanya ke rumah-rumah siswa tapi juga singgah di musolla, kompleks perumahan.

Bukan tanpa halangan tentunya untuk melaksanakan kreasi Pustaka Onthel ini. Perihal kendala yang ditantangnya tentu banyak, seperti jarak tempuh, cuaca buruk yang terkadang hujan dan koleksi buku yang minim. Untuk mengatasinya, Pak Supardi memberi solusi begini. Jarak tempuh yang jauh dia kunjungi hari Ahad. Waktunya tentu saja lebih panjang. Sedangkan yang jarak dekat dikunjungi pada hari Rabu dan Sabtu. Kalau hujan? Berhenti, tentunya. Sementara untuk kekurangan koleksi, dia berusaha menyampaikan harapan tamabahan koleksi kepada para donator. Alhmdulillah banyak yang memberikan buku-bukunya, katanya. Bahwa dengan bersepeda bisa sehat, itulah salah satu konsepnya mengapa menggunakan sepeda untuk berkeliling membawa buku. 

Satu kelegaan Pak Supardi sekaligus kegembiraan kita adalah bahwa literasi tetap bisa berjalan walaupun tidak harus ke sekolah. Dengan Pustaka Onthel ini malah terjalin juga silaturrahim dan komunikasim sosial lainnya. Peribahasa, "Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampau," benar-benar dibuktikan oleh Pak Supardi.Selamat, Pak Supardi. Selamat Pejuang Literasi. Kami semua pasti terinspirasi.***


6 Sep 2020

Strategi Membangun Budaya Literasi dalam Keluarga

Strategi Membangun Budaya Literasi dalam Keluarga

 


Oleh M. Rasyid Nur

GERAKAN Literasi Nasional lahir lima tahun lalu dengan diawali lahirnya Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Tujuan Permendikbud pengganti Permendikbud No 21 Tahun 2015, itu antara lain untuk menumbuhkembangkan lingkungan kebiasaan baik dan budaya belajar sebagai bentuk pendidikan karakter sejak di keluarga, sekolah dan masyarakat. Latar belakangnya adalah bahwa sekolah seharusnya adalah tempat yang nyaman dan inspiratif bagi siswa, guru dan tenaga kependidikan untuk pendidikan karakter dengan melibatkan Pemerintah dan masyarakat.

Mengutip penjelasan Ahmad Mujib dalam Literasi Keluarga yang dimuat https://matakita.co, 14 Juli 2017, Literasi Keluarga (Family Literacy) merupakan bagian dari literasi secara umum yang landasan filosofinya, orang tua adalah guru pertama bagi anak-anak. Itu berarti keberhasilan gerakan literasi haruslah dimulai dari rumah tangga. Literasi keluargalah yang akan menjadi penentu keberhasilan Gerakan Literasi Sekolah hingga Gerakan Literasi Nasional.

Menurut penelitian keluarga yang sukses dalam gerakan literasi dan memiliki tingkat pendidikan yang mumpuni cenderung menjadi masyarakat yang produktif dengan tingkat ekonomi dan sosial yang baik. Untuk itu perlu strategi perencanaan program literasi keluarga yang mampu melahirkan budaya literasi dalam keluarga itu sendiri.

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang berpengaruh pada pembentukan karakter anak mengingat ikatan emosional dan pertalian darah. Maka pembinaan literasi dan karakter dalam keluarga akan lebih mudah oleh keluarga itu sendiri.

Meskipun era digital telah melahirkan fenomena keluarga yang renggang disebabkan handphone (HP),  (https://news.detik.com/ tanggal 22/06/2019), itu tidak akan mengubah secara signifikan pengaruh keluarga dalam pemberian nilai-nilai kepada keluarga. Lunturnya kebiasaan makan bersama di rumah, hilangnya kebiasaan bersembang duduk bersama, misalnya, itu juga tidak akan menghambat habis kesempatan untuk saling mempengaruhi dalam keluarga.

Untuk itu kemajuan IT mestinya termanfaatkan untuk penguatan kapasitas wawasan dan pendidikan dalam keluarga seperti menciptakan budaya literasi dalam keluarga.  Langkah-langkah menciptakan dan membina budaya literasi keluarga adalah salah satu tujuan yang perlu diwujudkan setiap keluarga.

Peran orangtua dalam budaya literasi tentu sangat menentukan. Ketika orang tua menunjukkan budaya literasi untuk dirinya, otomatis anak dan keluarga akan terbawa. Itulah teladan utama.

Ada beberapa pemikiran yang seharurnya dilakukan setiap keluarga dalam usaha membina dan mengembangakan literasi keluarga, antara lain: Perlunya,

1)    Keluarga Membaca; Sebagai ayah atau ibu di setiap rumah tangga wajib membiasakan membaca. Apakah dengan membuat Perpusatakaan Keluarga atau membuat jadwal rutin (wajib) mengunjungi Perpusatakaan yang sudah ada. Biasanya di setiap daerah (kabupaten/ kecamatan) selalu ada Perpustakaan. Bahkan ada juga Perpustakaan pribadi/ masyarakata yang dikelola secara pribadi oleh seseorang. Silakan kunjungi sebagai usaha budaya baca keluarga.

2)    Keluarga Menulis; Jika budaya membaca dapat diwujudkan, tentu saja sebaiknya ditingkatkan ke budaya menulis sebagai bagian dari budaya literasi dalam keluarga.

3)    Pemberian Hadiah; Penghargaan berupa apa saja sebaiknya diberlakukan dalam usaha menyukseskan program Literasi Keluarga. Hadiah sebaiknya prioritas pemberian buku-buku bacaan sebagai pembinaan lietrasi kelaurga itu. Tidak perlu hadiah uang. Tapi pergi rekreasi ke beberapa tempat untuk berhibur itu lebih baik. Akan lebih baik pula jika tujuan rekreasinya ke perpusatakaan.

4)    Penerapan Disiplin Literasi; Harus dibuat ketentuan dalam menyukseskan program Keluarga Membaca-Menulis. Semacam peraturan. Konsep 1820 yang diterapkan oleh beberapa instansi dalam usaha mengatur jam belajar atau jam membuka HP perlu juga diterapkan. Angka 1820 maksudnya di setiap pukul 18.00 hingga pukul 20.00 ada kesepakatan. Misalnya waktu-waktu membaca, dll. Termasuk disiplin di sini adalah tuntutan melaksanakan peran masing-masing yang sudah ditetapkan sebelumnya dalam program literasi keluarga.

5)    Penyediaan Anggaran Literasi; Sejatinya harus dialokasi dana keluarga untuk pendukung literasi dalam keluarga. Keuangan keluarga perlu disisihkan sesuai kebutuhan untuk mengembangkan budaya literasi dalam keluarga..

Itu hanya sebagian tawaran pemikiran yang dapat dilaksanakan dalam usaha mewujudkan budaya liertasi keluarga. Dari budaya literasi keluarga ini diharapkan akan tumbuh budaya literasi satu daerah untuk menuju Literasi Nasional.***

Diposting juga di www.mrasyidnur.gurusiana.id