2 Okt 2023
15 Sep 2023
Menegur Siswa Terlambat Ketika Guru Juga Terlambat
11 Sep 2023
Berada di Sekolah Bukan Masalah Betah Tak Betah
8 Sep 2023
Hati-hati Minum Kopi, Konon Dapat Membuat Mati
6 Sep 2023
Perang Kepentingan Anak (di Rumah dan di Sekolah)
5 Sep 2023
Mengajar atau Salat Sunat Dulu, Usah Pertentangkan
11 Agu 2023
Memperingati Kemerdekaan Memperkuat Keimanan (Catatan Jumat)
28 Jul 2023
Sudahkah Sejajar Salat dan Belajar Kita?
19 Jul 2023
Mengingat Ulang Hikmah Tahun Baru Islam
17 Jul 2023
Presiden RI akan Kunjungi Negeri Berazam
14 Jul 2023
Lain Rencana Lain Agenda
14 Jun 2023
Haruskah Lulus Tak Berkualitas?
7 Jun 2023
Aku Bangga Berbahasa Indonesia
Oleh Junainah
Mari, kita gunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang bagaimana? Apakah Bahasa Indonesia gaul? Atau bahasa sehari-hari? Kenapa tidak mau? Apakah malu? Ets, tunggu dulu. Bahasa Indonesia yang kita gunakan ini untuk di mana? Apakah tempat umum atau di sekolah. Nah, penggunaan bahasa Indonesia yang akan kita gunakan adalah bahasa Indonesia untuk lingkungan sekolah.Dalam penggunaan bahasa Indonesia di sekolah yakni ada
dua. Penggunaan bahasa Indonesia yang
baik dan bahasa Indonesia yang benar. Ayo siapa yang tahu? Apakah bahasa
Indonesia yang baik sama dengan bahasa Indonesia yang benar? Iya, keduanya
tidak sama. Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yang mudah dipahami,
sedangkan bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa Indonesia yang sesuai
dengan kaidah-kaidah/aturan-atauran yang berlaku atau disebut juga dengan
bahasa baku. Biasanya menggunakan KBBI, PEUBI, dan kamus psikolinguistik.
Semakin Panjang bahasa seseorang maka semakin santunlah
orang tersebut. Semakin singkat bahasa seseorang maka semakin tidak santunlah
orang tersebut. Jadi berbahasa tidak hanya berbahasa. Tetapi berbahasa itu
haruslah lihat siapa penuturnya. Berbahasa itu tidak hanya kegiatan berbiacara
tetapi sikap penutur sangat menentukan segalanya dalam berbahasa.
Berbahasa merupakan kegiatan berbicara. Pepatah
mengatakan bukan hanya belajar saja yang butuh belajar. Tetapi berbicarapun
harus belajar. Sebelum berucap, berpikirlah terlebih dahulu. Kesalahan
berbahasa sering kita dapatkan dalam lingkungan sekolah. Penyebab hal tersebut
bisa terjadi yakni adanya pengaruh bahasa daerah, bahasa ibu, dan kebiasaan.
Contoh hal sederhana ucapan kata ”nggak” seharusnya
”tidak” atau ”tak.” Kata ”sepuloh” seharusnya ”sepuluh.” Hal ini terjadi saat
pembelajaran bahasa Indonesia. Masih banyak peserta didik malu-malu menggunakan
bahasa Indonesia. Karena terbiasa menggunakan bahasa daerah atau menggunakan
bahasa ibu. Sehingga peserta didik belum terbiasa menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar dalam pembelajaran.
Berbahasa masih terbata-bata, berbahasa terlalu cepat,
berbahasa tidak jelas, berbahasa dengan suara yang pelan, berbahasa tidak
memperhatikan lawan bicara, berbahasa menggunakan intonasi yang tidak tepat,
salah bersikap dalam menggunakan bahasa. Hal terberat adalah malu berbahasa. Mari,
kita bangga berbahasa Indonesia. Berusahalah untuk meminimalisirkan segala
keburukan dalam berbahasa.
Ayo, coba berbahasa yang tepat. Karena berbahasa
tujuannya adalah untuk menyampaikan informasi. Agar pendengar dapat mengetahui
apa yang disampaikan. Berbahasalah dengan ucapan yang jelas, fasih, mudah
dipahami, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, memiliki sikap yang
baik saat berbahasa. Dengan berbahasa merupakan salah satu wujud cinta kita
kepada tanah air.
Junainah, SPd adalah Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 1 Meral
5 Jun 2023
Membentengi Harta dengan Zakat Kita
16 Mei 2023
Agar Tanjung Ambat Lebih Hebat
26 Apr 2023
Dua Kematian Satu Peringatan
ADA dua orang yang berpulang kerahmatullah pada hari Rabu (26/04/2023) ini. Keduanya pada alamat yang tidak berjauhan. Salah satu di samping lapangan golf Tanjungbalai Karimun (di belakang kantor Bank Sampah Karimun) dan satunya lagi di samping/ bawah Masjid Agung Kabupaten Karimun atau bengkolan Basarnas Karimun. Keduanya di jalan yang sama, Jalan Jenderal Sudirman atau lebih dikenal dengan nama Jalan Poros.
4 Apr 2023
7 Gejala Sakit Ginjal (Artikel Hajinews)
Foto dari Hajinews.id |
30 Mar 2023
Lapar Saat Puasa adalah Lapar yang Mulia
Catatan M. Rasyid Nur
HARI ini kita sudah memasuki
pekan kedua, tepatnya hari ke-8 melaksanakan puasa sejak dimulainya Ramadan
1444 (2023) pada Kamis (23/03/2023) pekan lalu. Semua kita yang dinyatakan ‘sanggup’ atau merasa sanggup dan tidak dalam satu perjalanan yang jauh saat ini kita melaksanakan puasa di
siang hari. Puasa Ramadan, bulan nan suci.
Dari selepas sahur –sejak batas imsak-- kita menahan untuk tidak makan dan tidak minum sampai batas berbuka sore harinya, itu waktu yang lama. Itu bukanlah waktu yang singkat untuk menahan rasa lapar. Berkisar antara 12-an jam kalau di negeri kita ini. Lama sekali, bukan? Jika bukan karena perintah Yang Maha Memerintah, tidaklah akan sanggup kita lakukan.
Tidak makan dan tidak minum apapun dalam rentang waktu begitu lama otomatis mendatangkan rasa lapar dan haus bagi kita. Jika saat itu tiba-tiba terbayang anak-anak jalanan, anak-anak miskin tak berayah-beribu atau siapa saja yang karena keadaannya tidak bisa makan dan minum sesuai waktu, maka akan ada rasa hiba kita di kalbu. "Oh, beginilah rasa yang dirasakan oleh fakir-miskin yang tidak ada makanan dan minuman bahkan sekadar ikan asin." Boleh jadi kita akan menghayal begitu.
Jika tiba-tiba perasaan kita ikut nelangsa kemana-mana memikirkan dan membayangkan mereka yang tidak bisa makan dan minum itu, sesungguhnya salah satu hikmah puasa bagi orang berada, itu sudah tercapai. Sesungguhnya merasakan lapar dan haus bagi orang-orang berpunya bagaikan perasaan lapar dan haus yang dirasakan oleh orang tidak berpunya adalah hal penting sebagai hikmah puasa itu sendiri.
Tentu saja tidak cukup sampai di situ. Munculnya rasa hiba, itu diharapkan dapat menimbulkan dan mendatangkan keinginan kita untuk berbagi makanan dan minuman itu kepada mereka yang tidak bisa makan dan minum karena tidak adanya makanan dan minuman. Benar, tidak harus berbentuk makanan dan minuman saja yang dapat diberikan. Bisa pula dalam bentuk uang yang oleh penerimanya bisa dia belanjakan ke makanan dan atau minuman yang dia inginkan. Ini juga sudah benar.
Sampai di sini, kita sudah membuktikan bahwa rezeki yang Allah percayakan kepada kita, itu kita yakini memang tidak semata hanya hak kita. Sekurang-kurangnya 2,5 persen dari rezeki itu kita yakinkan diri kita bahwa itu memang hak orang lain yang dititipkan pada kita. Toh, jumlah seper empat puluh itu bukanlah jumlah yang banyak. Kita yakinkan diri kita bahwa jumlah itu tidaklah secara siginifikan akan berpengaruh terhadap jumlah keseluruhan rezeki yang ada pada penguasaan kita.
Inilah hikmah lapar yang diwajibkan
dirasakan oleh semua kita yang di hati kita memang ada imannya. Lapar seperti
inilah yang kita sebut sebagai lapar yang mulia. Lapar yang diharapkan memupuk
rasa empati, rasa kebersamaan, kasih-sayang, toleransi dan tidak rakus dengan
kekayaan sendiri. Indonesia memerlukan terus-menerus memupuk rasa seperti ini.
Mari kita tunjukkan bahwa lapar kita memang mulia di mata-Nya.***